Movie Review: Iron Man 3 (2013)


Selain menciptakan sebuah standar baru bagi film yang mengusung tema super hero, kesuksesan yang diraih The Avengers tahun lalu ikut memberikan dampak positif bagi beberapa karakter yang ia miliki yang menurut saya kurang begitu megah ketika ia berdiri sendiri, seperti Captain America dan Hulk. Namun timbul satu pertanyaan, bagaimana nasib dari karakter yang telah terkenal, apakah mereka masih mampu tampil memikat ketika kembali menjalankan tugasnya masing-masing? Salah satunya adalah leader The Avengers dalam hal popularitas, Iron Man

Movie Review: In the House (Dans la maison) (2012)

 

Imajinasi punya dua warna yang berbeda. Ia seperti sebuah wahana bermain yang sangat indah bagi manusia, dimana mereka bebas merangkai semua hal yang mereka inginkan, dari apa yang mereka pikirkan, lihat, dan juga apa yang mereka dengar. Namun tiga elemen tadi juga dapat menjadi sumber masalah, yang bahkan mampu membuat kita tersesat dan terjebak dalam imajinasi yang kita ciptakan, dan perlahan membawa kita menuju sebuah kehancuran.  

Movie Review: Beautiful Creatures (2013)

 

Everything has a price. Ketika anda mencoba untuk mengikuti cara dari sesuatu yang pernah menuai sukses, maka di sisi lain anda juga harus siap menerima resiko bahwa hal yang akan anda lakukan itu mungkin akan tidak menuai sukses seperti apa yang anda harapkan, apalagi jika anda menggunakan formula yang sama tanpa memberikan sebuah “warna” baru yang memikat sebagai pembeda. Beautiful Creatures? Ciptaan yang indah?

PnM Music Chart - 042013


Movie Review: A Late Quartet (2012)

 

Everything has a limit. Ada saat dimana semua karya gemilang yang telah anda bangun selama puluhan tahun lamanya dengan disertai usaha yang begitu keras pada akhirnya memaksa anda untuk melepaskan mereka. Pada awalnya mungkin akan menjadi hal yang sulit untuk diterima, namun terus memaksakan tentu bukan pula sebuah keputusan yang baik. A Late Quartet, mungkin terkesan kecil dan sangat jauh dari kesan megah, namun mampu menjadikan konflik yang ia bawa menjadi sebuah bahan renungan yang menarik bagi penontonnya.

Movie Review: No (2012)

 

Believe has an ultimate power. Kalimat singkat tadi adalah rangkuman dari banyak quote panjang yang mungkin pernah anda dengar yang berintikan anda bisa melakukan apapun jika anda percaya, tidak ada yang mustahil jika anda percaya anda bisa, dan bla bla bla. No sukses meninggalkan penontonnya dengan sebuah semangat baru ketika ia perlahan menghilang dari hadapan mereka.

Movie Review: After Lucia (Después de Lucía) (2012)

 

Sebuah pukulan keras dan telak yang mendarat di wajah anda pasti akan terasa sangat menyakitkan, awalnya. Namun luka itu punya batasan waktu dalam kehadirannya menemani anda, yang dengan teknologi terkini bahkan mungkin dapat hilang tanpa meninggalkan jejak kehancuran sama sekali. Tapi itu tidak akan terjadi pada sebuah pukulan keras dan telak yang menghujam sisi psikologis anda, karena ia akan menetap di memori yang tidak bisa dihapus semudah menekan Ctrl+D dan tombol delete.

Movie Review: To The Wonder (2012)

 

Bagi saya, sebuah film yang mengandalkan bahasa visual adalah sebuah film yang egois. Bukan berarti ia punya tingkat kesulitan dalam cara pemahaman yang berbeda dari film pada umumnya (menurut saya itu sama saja), meskipun ketimbang dipadati dengan dialog-dialog untuk membawa penontonnya masuk dan berpetualang kedalam cerita, ia justru didominasi tampilan visual disertai dialog yang minim. Dampaknya, ia sangat sangat menuntut para penontonnya untuk harus berada dalam kondisi dimana mood mereka sedang baik agar dapat ikut menikmati semua pesan yang ia usung. Menyenangkan, sometimes.

Movie Review: Promised Land (2012)


Jangan memberikan hadiah ulang tahun yang memiliki nilai terlalu tinggi pada lawan jenis anda jika maksud dan tujuan utama anda hanyalah sebatas sebagai ucapan selamat, karena jika dia salah dalam melakukan persepsi dari apa yang anda berikan hasilnya bisa saja justru akan menjadi boomerang bagi anda. Apa hubungannya dengan Promised Land? Yak, itu yang dialami oleh film ini, sebuah film drama dengan coba menghadirkan sebuah konflik dan pesan yang cukup serius.

[Special Feature] Akdong Musician, when harmony meet quality, and melody married with identity


Tidak semua pencipta lagu bisa bernyanyi, begitupula sebaliknya, tidak semua penyanyi dapat menciptakan lagu. Saya pernah mencoba menciptakan lagu (hampir lima tahun yang lalu, itupun cuma empat buah) yang merupakan bentuk ungkapan emosi dan perasaan saya. Hal paling sulit yang saya rasakan kala itu bukan dalam menyusun kata demi kata menjadi kesatuan lirik yang memuaskan, namun ketika menyatukan lirik tersebut dengan nada dan irama, dimana saya ingin menciptakan melodi yang sesuai dengan identitas dan pesan yang saya bawa, namun juga harus memiliki harmoni yang berkualitas. Itu alasan dipilihnya judul post ini, karena empat variabel tadi menyatu dengan apik dalam diri dua orang kakak beradik, Akdong Musician, juara K-Pop Star 2.

PnM Music Chart - 041313


Movie Review: Oblivion (2013)


Berbeda genre, beda pula perlakuan yang harus anda berikan dalam menilai baik dan buruknya paket yang ditawarkan oleh sebuah film. Jika saya menilai komedi dilihat dari sukses tidaknya ia membuat saya tertawa, dan siap dengan hal bodoh dan konyol, horror diukur dari tingkat keberhasilannya dalam menakut-nakuti saya, lain pula dengan Sci-fi, dimana saya secara khusus selalu menarik peran cerita sedikit lebih kebelakang, dan lebih mengharapkan sebuah inovasi baru yang mampu membawa saya ikut berimajinasi dalam konteks yang lebih ilmiah ketimbang sebuah fantasi.

Movie Review: Pee Mak Phra Khanong (2013)


Masih dengan kegemarannya, Banjong Pisanthanakun kembali dengan sebuah cerita yang punya premis sempit dan sederhana. Setelah bermain dengan foto, hantu kembar siam, di karya terbarunya Banjong seolah masih terus percaya bahwa horror klasik tetap dapat tampil menarik. Pee Mak Phra Khanong, seperti versi terbaru dari dua karya pendek Banjong di 4bia dan Phobia 2, bukan karena kembali hadirnya quartet gila Ter, Puak, Shin and Aey, namun karena nafas identik yang ia miliki, berjalan dengan satu pertanyaan kuat sejak awal hingga akhir.

Movie Review: The Berlin File (2013)


Apa hal yang believe it or not mungkin telah menjadi hal paling menakutkan bagi mayoritas penduduk bumi saat ini? Jawabnya adalah pecahnya perang di semenanjung Korea, yang punya kemungkinan juga akan menjadi pertanda di mulainya perang nuklir. Gesekan antara kedua negara ini coba digambarkan kembali oleh Ryu Seung-wan (meskipun sudah pernah dilakukan lebih dari satu dekade yang lalu), dengan tema yang lebih aman namun tetap mampu memberikan pengalaman menonton yang menarik, konspirasi internasional.

Movie Review: Dead Man Down (2013)


Puluhan, bahkan mungkin ratusan kebaikan skala kecil yang anda ciptakan akan dengan mudah terlupakan ketika anda melakukan sebuah kesalahan dalam skala besar yang celakanya juga akan sangat memorable. Itu yang akan anda dapatkan dari Dead Man Down, karya berbahasa inggris pertama dari Niels Arden Oplev, sutradara The Girl With Dragon Tattoo (Män som hatar kvinnor), sebuah thriller dengan cita rasa eropa.

Movie Review: Identity Thief (2013)


Sepertinya kali ini tidak menjadi hal yang begitu penting untuk mencoba menyampaikan pada paragraf pembuka salah satu dari sekian banyak pesan menarik yang diemban sebuah film, seperti yang selama ini saya coba terapkan. Dia punya Jason Bateman dan Melissa McCarthy dengan keunikan yang khas, dan juga Seth Gordon yang sukses mengubah premis dangkal yang dimiliki Horrible Bosses menjadi sebuah kemasan yang cukup menghibur.

PnM Music Chart - 040613


[Special Feature] Bates Motel, a new tv-series you should be anticipated


Tv series merupakan bagian dari seorang pecinta film. Well, memang tidak lantas menunjukkan bahwa seorang penikmat film pasti juga akan menonton tv series, tapi saya yakin mayoritas dari mereka akan melakukan hal tersebut, termasuk salah satunya adalah saya. Tv series seolah menjadi tempat pelarian sejenak ketika saya mulai sedikit jenuh dengan film, dan sejauh ini hal tersebut sangatlah efektif, sama halnya dengan menonton film ketika saya mulai jenuh dengan semua pelajaran kuliah.

Movie Review: The Company You Keep (2012)


Untuk meraih kebahagiaan memang di perlukan sebuah perjuangan yang tidak kecil. Mengelilingi negara, mencari sahabat lama yang sudah terpisah puluhan tahun lamanya, hingga harus terus waspada dari kejaran polisi, semua dilakukan oleh Jim Grant (Robert Redford) dalam upaya membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dari sebuah kejadian yang terjadi 30 tahun lalu, bukan karena materi ataupun harga diri, namun demi kebahagiaan anak perempuan tercintanya.

Movie Review: The Girl Who Kicked the Hornet's Nest (2009)


Seperti judulnya, The Girl Who Kicked the Hornet's Nest adalah sebuah hasil dari dampak domino yang harus dialami oleh Lisbeth Salander (Noomi Rapace) akibat semua kekacauan di dua film sebelumnya yang berpusat pada dirinya. Langsung menyambung cerita dari film kedua, Lisbeth seperti berada dalam sebuah sarang berisikan banyak madu yang terus dijaga oleh lebah-lebah yang punya dua tujuan yang berbeda, ingin melindunginya, dan disisi lain ingin menjatuhkannya untuk melindungi sebuah rahasia besar yang telah tersimpan puluhan tahun lamanya.

Movie Review: Stoker (2013)


Seseorang pernah berkata kepada saya, “selalu persiapkan dirimu dalam setiap detik yang kau lalui, karena kau tidak tahu apa yang mungkin terjadi padamu satu jam, satu menit, bahkan satu detik kemudian”. Well, sangat sangat benar. Jika anda ingin mencari pembuktian termudah, maka Stoker adalah pilihan yang sangat tepat, film berbahasa inggris pertama dari sutradara korea yang pernah menelurkan salah satu film asia terbaik yang pernah saya tonton, Oldboy.

Movie Review: First Love (A Little Thing Called Love) (2010)


Sebenarnya film ini merupakan satu paket bersama You Are the Apple of My Eye, namun sayangnya harus dirilis sehari lebih lama karena berbagai pertimbangan yang cukup aneh yang saya alami. Well, film Thailand adalah film horror, dan itu telah sejak lama menjadi pandangan saya terhadap film dari negeri gajah putih itu. Hal tersebut menjadikan adaptasi saya yang cukup sulit, terlebih First Love (A Little Thing Called Love/Crazy Little Thing Called Love) punya hype yang cukup besar dengan genre rom-com untuk menceritakan kisah coming-of-age yang ia miliki.

Movie Review: You Are the Apple of My Eye (2011)


"The cruelest part in “growing up” is that girls are always more mature than guys of the same age. No one guys can handle girls at their age."


Perlu waktu yang sedikit lebih lama bagi saya untuk dapat beradaptasi dengan film Asia, bahkan jika di bandingkan dengan film Scandinavia yang secara logika lebih strange dalam hal bahasa. Setelah mulai berhasil menyatu dengan film Korea, dan Jepang (meskipun kuantitas post sangat sedikit), saya ingin mencoba memperdalam film berbahasa non-english dari negara lain, dan kali ini pilihannya adalah Mandarin dan Thailand. Kembali, ini adalah film yang di rekomendasikan oleh teman saya, orang yang juga menjadikan Architecture 101 sebagai film asia pertama di blog ini. Hasilnya ternyata tidak jauh berbeda.

Movie Review: The Hunt (Jagten) (2012)


Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Well, saya tidak pernah membunuh, dan saya tidak tahu pula apa yang dirasakan seorang pembunuh setelah melakukan tindakannya itu. Tapi saya tahu rasanya difitnah, dan itu memang benar menyakitkan, dimana anda dituduh melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak pernah sama sekali anda lakukan. The Hunt (Jagten), sebuah film yang akan membawa anda merasakan bahwa fitnah sangat sangat jauh lebih sakit ketimbang tusukan sebuah pisau, bahkan tetesan darah dari tubuh anda.