26 October 2014

Review: St. Vincent (2014)


"Some people get better with age. Vincent is not one of them."

Dari judulnya saja film ini mungkin telah berhasil memberikan kesan aneh dan unik pada penontonnya, St. Vincent, Vincent sosok yang suci? Celakanya hal tersebut seperti sebuah sentilan manis yang sejak kehadirannya di bagian awal tidak pernah berhenti membuat penontonnya tersenyum hingga akhir, kemasan yang tidak mencoba terlalu kuat untuk terasa pintar namun dengan cara yang pintar berhasil memberikan sebuah hiburan komedi yang kuat. Another Golden Globe nomination for Peter Venkman? I gotta feeling.

Vincent MacKenna (Bill Murray) adalah pria tua kesepian yang seolah membenci gegap gempita dunia diluar rumahnya. Rumahnya adalah surganya, dan ia keluar hanya untuk keperluan yang “penting”, seperti berkunjung ke bar, klub striptease, hingga arena pacuan kuda untuk ikut bertaruh. Orang yang akrab dengannya adalah bandar alcohol Zucko (Terrence Howard), dan seorang pelacur, Daka (Naomi Watts). Suatu ketika Vincent mendapatkan tetangga baru, Maggie (Melissa McCarthy), wanita yang baru saja bercerai dan berniat untuk menambah jam kerjanya. Maggie memerlukan seorang babysitter bagi anaknya Oliver (Jaeden Lieberher), dan dengan Vincent datang menawarkan bantuan, here comes troubles. 



Dari tampilan luarnya film ini mungkin akan terkesan sebagai sebuah hiburan komedi yang ringan dan mudah dinikmati, tipikal film yang mampu menjangkau semua lapisan penonton, tapi ternyata kisah yang ditulis oleh sang sutradara Theodore Melfi ini merupakan kemasan yang segmented. Ya, kemungkinan ia hit atau miss pada penontonnya bahkan bisa dibilang sama besarnya, semua sangat tergantung pada apakah penonton tertarik dan mulai klik dengan masalah utama dan juga karakter utama, jika iya maka St. Vincent akan menjadi sebuah satire yang selalu mampu membuat kamu tersenyum, tapi jika tidak dengan segala kekonyolan yang berasal dari materi standard dan tidak begitu besar ini bisa saja terasa seperti kisah hidup pria tua yang membosankan, bahkan terasa seperti pointless. 


Saya adalah penonton tipe pertama, penonton yang berhasil klik, dan akhirnya memperoleh salah satu rasa bahagia terbesar setelah menyaksikan film di tahun ini. Bagaimana tidak, pertama adalah misi yang Theodore Melfi tentang penggambaran terkait pria kesepian yang dipenuhi rasa kecewa dalam kehidupannya itu langsung berhasil mencuri atensi di bagian awal, setelah itu kita diberikan karakter-karakter menarik yang semakin memperbesar cerita dengan cara menyenangkan, bahkan sesekali hadir rollercoaster emosi yang baik dengan perpaduan sedih dan lucu yang baik, sisi drama punya komposisi yang pas, terasa hangat tanpa harus menjadi mellow secara berlebihan, dan ia ditemani dengan komedi yang dibalik formula klasik itu selalu memberikan rasa liar yang segar, tapi tidak menghancurkan unsur tragis yang menjadi fokus utama. 


Kombinasi dua hal tadi yang membuat St. Vincent terasa menarik, seperti Bad Grandpa yang lebih lebih rapi, terkendali, dan berwarna. Ceritanya biasa-biasa saja, ia seperti ingin memberikan penonton sebuah satire lewat penggambaran manusia penuh masalah, eksekusi yang tidak berlebihan juga banyak membantu materi kuat dan lemah yang ia miliki, sebut saja hubungan antara Vincent dan Oliver yang punya kompleksitas yang baik, dan subplot seperti kehadiran Daka yang terasa lemah itu juga akhirnya tidak begitu terasa mengganggu. Yang menarik adalah naskah tadi justru menciptakan jalan bagi karakter untuk benar-benar menguasai panggung pertunjukkan, terasa natural, dan itu berhasil dimanfaatkan oleh para pemeran, terutama Bill Murray dan Jaeden Lieberher, untuk membuat penonton terus terpaku pada perjuangan hidup mereka bersama soundtrack yang manis itu. 



Bill Murray adalah alasan utama mengapa film ini termasuk sayang jika harus dilewatkan. Ia memang tidak menciptakan level baru, tapi apa yang ia lakukan pada Vincent akan mengobati rasa rindu kamu pada dirinya yang bermain sebagai pemeran utama. Proses awalnya mungkin tidak mudah, tapi ketika penonton telah klik bersamanya, ia tidak akan berhenti membuat kamu tersenyum hingga akhir dengan gaya eksentrik miliknya yang lucu itu. Naomi Watts dan Melissa McCarthy seperti bertukar peran, Melissa McCarthy tampil sedikit serius dan memberikan penampilan terbaiknya setelah Bridesmaids, dan Naomi Watts justru memainkan peran yang tidak serius, dan ia kurang mampu menjadikan Daka tampak menarik. Yang mengejutkan adalah Jaeden Lieberher, penampilan yang terasa natural, ia memberikan karakter anak-anak yang diperlukan oleh cerita. 



Seperti yang saya sebut tadi, ia punya nilai minus, dan itu bisa menjadi besar tergantung bagaimana penonton memberikan perlakuan pada apa yang St. Vincent coba sajikan, karena ia seperti berada di zona ambigu, ia punya kelemahan untuk benar-benar menjadi drama komedi yang kuat, tapi ia juga punya banyak kelebihan yang membuat ia tidak layak di nilai sebagai sebuah hiburan yang membosankan. Cerita yang ia punya tidak istimewa, begitupula dengan cara ia di bentuk, tapi ada pesona yang kuat didalam cerita dan juga karakter, sehingga ketika penonton telah tertarik dan terjebak yang mereka dapatkan adalah kisah satire dari isu menjengkelkan dengan cara menyenangkan. Salah satu komedi terbaik tahun ini.












0 komentar :

Post a Comment