Review: The Fault in Our Stars (2014)


"I'm in love with you, and I'm not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things."

Ada sebuah rasa takjub ketika saya menutup lembaran terakhir novel karya John Green kala itu, bagaimana ketika sebuah hal sempit dan sederhana yang dimanipulasi sedemikian rupa membawa pembacanya hanyut kedalam sebuah kisah cinta serta perjuangan penyakit kronis yang mampu bermain-main dengan manis bersama realitas antara kehidupan serta kematian. Film ini berhasil mentransfer kenikmatan tadi ke dunia nyata, The Fault in Our Stars, a sweet and sour story about some infinities are bigger than other infinities. Pain demands to be felt. Always.

Movie Review: Transformers: Age of Extinction (2014)


"A new era has begun. The age of the Transformers is over."

Menjelaskan film ini secara sederhana sebenarnya sungguh mudah: kaboom, boom, and boo. Kehadiran kalimat “its Transformers, so what the ding dong do you expect?” tentu terasa wajar, tapi bukankah penerus harus lebih baik dari pendahulunya, dan yang menyebabkan film ke empat ini tampak menjanjikan adalah janji dari Michael Bay bahwa ini akan membawa sesuatu yang berbeda. So, is it a game changer for Transformers? Well, well. Transformers: Age of Extinction, a still-soulless-plus-fun-action-sequence-nearly-three-hours-adventure with a bunch of robot-who-can-turn-into-a-car-and-reverse. This is not extinction, it’s (just the same) war.

Review: Under the Skin (2014)


Setiap penonton pasti punya persepsi yang berbeda, dan bagi saya menonton film itu adalah hiburan dimana kita datang, duduk, kemudian terjebak dalam cerita, dan pulang dengan rasa kesal atau gembira. Sederhana, tidak penting dia memakai konsep menemukan jawaban dari pertanyaan atau justru meninggalkan pertanyaan itu dengan pertanyaan baru lainnya, karena yang terakhir tadi justru lebih sering membekas di hati. Contohnya? Holy Motors, seni eksperimental yang abstrak serta berdiri di antara art house dan mainstream, love it or hate it. Under the Skin juga begitu, hipnotis yang manis. 

PnM Music Chart - 062114


Review: A Million Ways to Die in the West (2014)


"My worst fear is to OD on a recreational drug."

Seth MacFarlane merupakan sosok yang kreatif dalam hal imajinasi, dari Family Guy, American Dad!, dan The Cleveland Show semuanya berhasil ia bentuk menjadi show yang menyenangkan, dan kesuksesan penuh kejutan yang diberikan oleh Ted dua tahun lalu semakin memperluas karirnya menjadi penulis dan sutradara bukan hanya sebatas pengisi suara. But success can make you blind, uncontrolled ambition and obsession can give you a bad thing. 

Movie Review: The Target (Pyojeok) (2014)


"I'll kill him no matter what it takes." 

Pertama, ini adalah remake dari film Perancis Point Blank (2010), dan itu merupakan sebuah hal yang menarik karena cukup jarang mendengar Korea melakukan remake, sisi sebaliknya yang lebih sering terjadi. Menarik memang, Point Blank, fast pace, boom-boom-boom, tapi hey jangan bilang anda tidak tahu film Korea, harus ada drama didalamnya, dan itu yang menjadi masalah film ini. The Target (Pyojeok), just another okay thriller and action movie from Korea. Too greedy.

Review: Draft Day (2014)


"The greatest victories don't always happen on the field. "

Kalau seorang fans Real Madrid ditanya siapa sosok penting dibalik kesuksesan klub kesayangannya menjadi juara Liga Champions yang lalu pasti mereka akan mengatakan sang pelatih Carlo Ancelotti dan juga para pemain seperti trio BBC (Gareth Bale, Karim Benzema, Cristiano Ronaldo). Jumlahnya mungkin akan sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan mereka yang akan memilih sosok yang berada dibelakang layar sebagai pahlawan, sosok yang mampu merebut Ancelotti dan para pemain dari tim lain. Draft Day menggambarkan kembali peran mereka dengan cara yang menyenangkan.     

Review: Words And Pictures (2014)


"Is a man worth more than his words, a woman worth more than her pictures?"

Kalimat “If you can't make it good, make it 3D” sebenarnya bukan satu-satunya “sarkasme” di dunia film, ada solusi lain yaitu dengan menggunakan aktor dan aktris yang punya sejarah baik dan telah mendapatkan pengakuan di bidang akting untuk menjadikan kemasan standard tampak menjanjikan. Saya adalah salah satu korban dari solusi terakhir itu, murni tertarik pada Words and Pictures karena ada nama Juliette Binoche dan Clive Owen didalamnya. Dan, well, well. 

Review: How to Train Your Dragon 2 (2014)


"We are the voice of peace, and bit by bit we will change this world."

Dapat dengan mudah menemukan jawaban “ingin melakukan yang lebih baik lagi dari pencapaian sekarang” pada pertanyaan “apa yang ingin kamu lakukan selanjutnya?” dari orang-orang yang berhasil menuai kesuksesan. DreamWorks juga ingin melakukan hal yang sama dan sukses melindungi andalan terbaru mereka empat tahun lalu ini untuk tidak jatuh seperti penerus Madagascar dan menyulapnya menjadi serupa dengan Sherk 2, sekuel yang lebih baik dari pendahulunya. How to Train Your Dragon 2, when The Empire Strikes Back, Avatar, and Game of Thrones blended in enchanting and engaging beautiful young adults animation world. Summer 2014 real deal so far.

Movie Review: 22 Jump Street (2014)


"So, they want the same shit, here we go."

Ketimbang menyebutnya sebagai penerus kesuksesan film pertama yang rilis dua tahun lalu, 22 Jump Street mungkin terasa lebih layak menyandang status sebagai silliness recycle yang berhasil menjalankan tugas beratnya tanpa harus mengorbankan “image” yang ia punya. Dengan budget hampir dua kali lebih besar tidak ada hal baru yang menonjol disini, tapi apakah itu sebuah keharusan dari sebuah sekuel? Tidak, karena hal tadi mampu ia tutup dengan sebuah hiburan identik yang masih sama menyenangkannya. 22 Jump Street, real-world version of The Lego Movie, random fun.

Movie Review: The Fault in Our Stars (2014)


"Some infinites are bigger than other infinites."

I’m in love with you, and I’m not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I’m in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable, and that we’re all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we’ll ever have, and I am in love with you. Okay? Okay. Bring your tissues!  

Movie Review: How to Train Your Dragon 2 (2014)



"And with Vikings on the backs of dragons, the world just got a whole lot bigger.

Standard yang diciptakan How to Train Your Dragon empat tahun lalu itu tergolong tinggi buat DreamWorks, memberikan karakter lucu yang dengan mudah langsung menjadi favorit bahkan pahlawan bagi penontonnya, kemudian ada petualangan penuh nada gembira dengan kisah persahabatan dan juga unsur keluarga yang hangat. Itu yang menjadi sumber kemunculan satu-satunya rasa cemas dari How to Train Your Dragon 2, apakah mereka akan mampu untuk minimal menyamai pencapaian film pertamanya? 

Movie Review: Chef (2014)


"Starting from scratch never tasted so good."

Meskipun kecil Chef bukan sebuah langkah mundur dari Jon Favreau setelah sebelumnya menjadi sutradara film dengan budget besar seperti Iron Man dan Cowboys & Aliens, serta menjadi bagian dari tim produksi The Avengers. Dapat dikatakan Chef menjadi tempat bagi Jon Favreau untuk sejenak mencari udara segar dari gegap gempita hubungannya dengan Marvel, mengambil tema makanan serta permasalahan utama pada koki untuk menciptakan perjalanan bersenang-senang bersama makanan yang terasa hangat dan santai, tapi juga memiliki isi yang menarik sehingga tidak sekedar menjadi sebuah food eye candy.   
 

Movie Review: Blended (2014)


"Because alone time can sometime take a long time."

Nicolas Cage bukan satu-satunya aktor yang dapat menjadi wakil dari istilah kehidupan seperti sebuah roda yang berputar di Hollywood sana, mereka masih punya Adam Sandler, aktor dan komedian yang di era 90-an berhasil membangun karir tapi beberapa tahun ini mulai kehilangan pesona dan murni mengandalkan kekuatan fanbase dan image lamanya itu untuk menarik perhatian pada film terbarunya. Mengapa Sandler masih berada di bawah? Karena ia juga masih menolak untuk berubah.

Movie Review: Maleficent (2014)


"But if I know you, I know what you’ll do."

Lupakan sejenak keberadaan Angelina Jolie di posisi terdepan, pertanyaan pertama yang hadir dari Maleficent adalah apa yang ia ingin gambarkan mengingat statusnya sendiri yang merupakan seorang villain? Kejahatan? Ternyata tidak, ini bukan film dimana penjahat murni hanya menjalankan tugasnya sebagai penjahat di panggung utama, karena secara mengejutkan ia punya kehangatan sederhana sebuah cinta pada dongeng yang telah mendapat sedikit perputaran kecil itu. Maleficent, a good enough brave and modern fairytale reimagining.

Movie Review: The Normal Heart (2014)


"You can't stop fighting for the ones you love."

Sometimes, what you call good movies is the ones that can touch and playing with your emotions. Ya, sederhana, hal tadi sering kali mampu mencuri fokus kita sebagai penonton yang kemudian akan tidak begitu mempermasalahkan beberapa kekurangan atau ketidakseimbangan yang ia punya disisi lainnya. Film ini secara mengejutkan punya hal tadi, kombinasi antara plague, love, dan humanity, The Normal Heart, awfully good in terms of frustration drama.