Review: Kumiko, the Treasure Hunter (2014)


Joel Coen dan Ethan Coen memulai Fargo hampir dua dekade yang lalu dengan sebuah pemberitahuan bahwa film yang akan penonton saksikan didasarkan pada sebuah kisah nyata meskipun nama-nama telah di ubah sebagai upaya melindungi mereka yang tidak bersalah. Sebuah tindakan yang licik memang karena kemudian terungkap bahwa “based on true story” yang Coen Brothers pakai itu tidak benar. Lantas apakah dengan begitu semua penonton akan menilai Fargo sebagai film dengan kisah fiktif? Tidak, dan Kumiko, the Treasure Hunter akan mencoba membawa kamu menyaksikan obsesi dari seorang wanita yang mencoba mencari uang tebusan yang terkubur di salju pada bagian akhir FargoHaunting and hilarious lost in Minnesota. 

Review: While We're Young (2015)


"Life never gets old."

Wes Anderson, Noah Baumbach, dan Spike Jonze, tiga pria tadi lahir di tahun yang sama tapi ternyata kesamaan mereka tidak hanya sampai di situ saja. Anderson, Baumbach, dan Jonze akan mengingatkan kamu pada beberapa kata serupa di setiap karya mereka: unik, ringan, charming, dan thoughtful. Film terbaru dari Noah Baumbach ini masih bermain-main di kata-kata tadi, tidak lagi bermain di black and white seperti Frances Ha namun melalui While We're Young ia kembali memberikan sebuah drama komedi yang akan menjadi sebuah kenangan yang menarik bagi penontonnya. Insightful and joyful dramedy.

Review: Spring (2015)


"Are you a vampire, werewolf, zombie, witch or alien?"

Horror, sci-fi, hingga romance, Spring mungkin merupakan hiburan langka dimana kamu dapat menemukan tiga elemen tadi dalam kualitas dan kuantitas yang sama menariknya. Kesan misterius akan membuat kamu terus merasa waspada tapi disisi lain ia akan memberikan kamu sebuah hal yang sulit dilakukan oleh kebanyakan film horror, keintiman yang menyenangkan, hal yang juga membawa kejutan menarik lainnya pada elemen romance yang pada awalnya seperti malu-malu ketika drama masih berbicara namun akan meninggalkan memori yang kuat ketika ia berakhir.

Review: Buzzard (2015)


Terkadang hal yang membuat kita gagal adalah tidak mampunya kita sadar bahwa kegagalan tersebut datang dari kita sendiri. Ada orang yang punya ambisi yang besar tapi tidak pernah berhenti bermimpi sambil bermalas ria, ada pula yang merasa tidak bahagia dan menganggap semua orang selain dirinya adalah sosok yang berengsek padahal tanpa ia sadari alasan utama dari rasa tidak bahagia yang ia alami adalah dirinya sendiri. Buzzard memberikan observasi yang menarik terkait hal tersebut.

Review: The Gunman (2015)


Apakah Sean Penn mencoba memanfaatkan ruang kosong yang ditinggalkan Liam Neeson setelah menyatakan akan pensiun dari Taken bahkan film action? The Gunman seperti sengaja di ciptakan khusus buat Penn agar ia dapat menunjukkan kepada kamu tampilan badass yang ia miliki, tapi celakanya sudahlah memilih menggunakan formula yang tidak lagi segar yang ia lakukan justru terjebak didalam arena bermain yang ia ciptakan sendiri. An impotent action.

Review: Insurgent (2015)



"Once a stiff, always a stiff."

Ketika saya hendak menonton film ini saya bertanya pada teman yang sudah terlebih dahulu menyaksikan Insurgent dan juga sebelumnya juga telah membaca novel karya Veronica Roth itu. Jawaban darinya adalah: “apakah layak berharap banyak dari Insurgent?”  Sebuah jawaban yang sederhana memang namun bukan hanya 50 atau 70 persen namun saya setuju sepenuhnya dengan pernyataannya teman saya tadi. Insurgent, baik itu dari sisi novel maupun film, merupakan korban dari masalah yang bukan hanya sekarang namun mungkin akan kita saksikan beberapa tahun kedepan, sebuah trilogi dengan bagian kedua yang hanya menjadi sebuah jembatan penghubung dengan daya tarik yang lemah.

Review: ’71 (2014)


Salah satu hal paling menyakitkan jika berbicara tentang kekerasan atau hal-hal brutal adalah ketika mereka di tampilkan kepada kita secara tenang, rasa sakit yang dihasilkan kerap lebih besar ketimbang jika kekerasan tersebut di kemas dengan cepat dan kemudian berlalu. Yann Demange seperti mencoba menerapkan konsep tersebut dalam film debutnya ini, '71, mencoba mengurung penonton bersama karakter yang sedang dalam kondisi terkurun untuk kemudian berjuang hingga merasakan sakit yang ia alami. Well, itu cukup berhasil.

Review: Wild Canaries (2014)


Banyak film yang mencoba menggabungkan beberapa genre kedalam satu wadah bermain kerap menerima boomerang akibat tidak mampunya ia mengolah warna-warni materi yang ia punya. Faktor penyebabnya beragam, dari yang kewalahan mengatur susunan antar genre hingga mereka yang tidak mampu mempertahankan daya tarik masing-masing bagian. Film berjudul Wild Canaries ini dengan berani mencoba menggabungkan drama bersama komedi, romance, hingga misteri, dan meskipun ia tidak memberikan penontonnya kemasan penuh aksi boom-boom-boom setidaknya ia mampu menghindar dari hantaman boomerang yang telah ia lempar.

Hot This Week - 032915


PnM Music Chart - 032815


Komentar "siluman" dari rorypnm


Pada awalnya saya beranggapan hal ini merupakan sesuatu yang tidak akan menjadi begitu besar ketika mengetahui bahwa ada satu akun yang “mengatasnamakan” dirinya sebagai rorypnm untuk kemudian memberikan komentar yang “menyerang” dan “menyudutkan” penulis di sebuah tulisan dengan judul “Bisakah Senyap Dipercaya?” pada website bernama cinemapoetica.com. Namun ketika saya kembali ke tulisan tersebut satu hari (28/3) setelah mengetahui “kasus” tersebut saya terkejut karena menemukan dua hal: yang pertama image buruk terhadap rorypnm telah terbentuk, berikutnya ada akun baru yang kali ini menggunakan nama saya dan kemudian tanpa tahu malu justru mencoba meminta maaf atas komentar dari rorypnm di bagian awal. Oh my God!!! 

Review: Tracers (2015)


"It's not a crime if they can't catch you."

Ketika dua rekannya sesama jebolan “Akademi Twilight” perlahan namun pasti mulai membuka mata dunia bahwa mereka tidak menarik di film vampire tersebut bukan berarti kualitas akting mereka yang buruk, Taylor Lautner justru masih terus berusaha untuk menemukan jalan agar dapat mengikuti jejak serupa dengan Robert Pattinson dan Kristen Stewart. Masalah utama bagi Lautner adalah ia belum memperoleh proyek yang menantang, jika tidak mengandalkan fisik (Valentine's Day, Grown Ups 2) karakter yang ia mainkan selalu berlari, dari Abduction, kemudian yang terbaru ini Tracers, bahkan proyek selanjutnya punya potensi tampil serupa. Good luck for you Taylor Lautner.

Review: Kidnapping Mr. Heineken (2015)


"It was the perfect crime until they got away with it."

Semua genre film memiliki sesuatu yang sensitif dimana jika hal tersebut tidak dapat ia olah dengan baik dan benar maka dampak yang akan ia peroleh akan besar. Apakah dampaknya seburuk itu? Memang jika hal sensitif tadi bersifat minor ia bisa saja tidak akan menghasilkan masalah yang begitu berarti, namun bagaimana jika bersifat major? Contoh terbarunya adalah film Kidnapping Mr. Heineken, karya terbaru dari sutradara The Girl Who Played with Fire dan The Girl Who Kicked the Hornets' Nest, sebuah film yang seharusnya memberikan penonton sajian crime drama namun justru berubah menjadi sebuah piknik atau tamasya yang dilakukan sekelompok pria. The boys who rob like a picnic. 

Review: The Cobbler (2015)

 

"Leave your life in someone else's shoes.”

Mungkin teka-teki apakah Adam Sandler masih punya starpower sekarang sama menariknya dengan misteri apakah segitiga Bermuda benar-benar punya kekuatan magis, bahkan jika harus dibandingkan dengan pertanyaan apakah alien itu ada? Alasannya adalah karena Adam Sandler seperti perahu yang terombang-ambing di lautan lepas dan terus berhadapan dengan terjangan ombak besar tapi anehnya ia masih tetap bisa berlayar. Hal pertama yang terlintas setiap kali hendak menyaksikan film terbarunya (termasuk The Cobbler) adalah apakah film tersebut mampu membawa Adam Sandler keluar filmography monoton miliknya yang semakin lesu dalam hal kualitas? Impresi awal yang sangat menyedihkan.

Review: It Follows (2015)


“It could look like someone you know, or it could be a stranger in a crowd, whatever helps it get close to you.”

Hype itu sebenarnya sebuah kata yang manis tapi juga pahit dalam movie experience dan dampak yang ia hasilkan kerap begitu besar terutama pada genre horror dimana range antara ekspektasi dan hasil dilapangan yang tercipta dapat dengan mudah tampil begitu ekstrim. Contohnya seperti Insidious, dan saya juga semakin waspada apakah Sinister 2 dapat mencapai level yang sama dengan pendahulunya. Horor Indie berjudul "It Follows" ini juga punya potensi besar untuk membuat kamu terjebak kedalam hype, they even called it “one of the most striking American horror films in years.” Apakah itu benar? Absolutely yes. It Follows is one of the “sweetest” horror in a decade who can still be delicious one maybe even two or more decades from now. This thing, it's going to follow you!!

Hot This Week - 032215


PnM Music Chart - 032115


Review: Cymbeline (2015)


“Where is our daughter?”

Membentuk kembali Shakespeare's plays kedalam tampilan baru merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah apalagi ketika ia tidak hanya dibentuk ulang namun diterjemahkan dan di modifikasi kedalam bentuk yang sedikit berbeda. Perlu sensitifitas yang begitu tinggi untuk dapat berhasil melakukan hal tersebut dengan baik, Kenneth Branagh berhasil melakukan itu di Henry V dan Hamlet, Joss Whedon dengan Much Ado About Nothing, serta Ralph Fiennes juga oke membentuk kembali Coriolanus, meskipun disisi lain tidak sedikit pula yang gagal atau kurang berhasil salah satunya play Romeo and Juliet, dan yang terbaru, Cymbeline.

Movie Review: Run All Night (2015)


“One night, and you’ll never have to see me again.”

Film action terbaru dari Liam Neeson setelah menyatakan pensiun sebagai pria yang berulang kali kehilangan anggota keluarganya ini merupakan kemasan yang ambigu. Diawal ia akan mampu menaikkan ekspektasi anda padanya, membuat anda bergumam “wah, ternyata cukup menarik,” sebuah perpaduan berbagai elemen klasik action thriller dan membentuk kekacauan yang cukup menyenangkan, a good enough mess. Namun sayangnya perlahan ia justru berubah dan menampilkan hasil yang kontradiktif sajian di bagian pembuka itu. Run All Night: like Joker trying to look thoughtful but ends quite dull. 

Movie Review: The Divergent Series: Insurgent (2015)


“Mankind wait for you, with hope, beyond the wall.”

Tahun lalu saya menyebut Divergent sebagai film tentang pemberontakan yang terlalu lembut, kurang bergairah, monoton, dan sedikit membosankan. Tidak hanya itu ia juga tidak memiliki petualangan dalam gerak cekatan sehingga tampak seperti membangun drama dengan bumbu adegan sci-fi dan action, ketimbang menjadi kodratnya sebagai sebuah film sci-fi action dengan dukungan drama. Well, hal tersebut yang kemudian meninggalkan saya speechless ketika melangkah keluar sesaat setelah kejutan dari Naomi Watts yang berdiri dibelakang Kate Winslet. The Divergent Series: Insurgent: when kids from Nickelodeon start a rebellion.

Review: Cinderella (2015)


"My name is...Cinderella."

Ada satu kalimat dari Lady Tremaine yang sepertinya sudah cukup untuk dapat mewakili cara film ini membawa kamu berpetualang kedalam kisah yang sangat familiar ini. Bunyinya adalah: this thing is so old-fashioned. Ya, semoga film ini dapat menjadi awal untuk membuat para filmmaker di Hollywood sana untuk berpikir ulang dalam mengubah sebuah dongeng klasik kedalam bentuk live-action, perlahan mengurangi modifikasi sana-sini yang lebih sering menciptakan kesan kurang impresif dan mulai mencoba membentuk kembali dongeng tersebut dengan treat yang lebih lembut untuk membawa penonton merasakan kekuatan utama dari sebuah dongeng: magic. Please welcome, Cinderella: Or (The Virtue of Have Courage And Be Kind).

Hot This Week - 031515


Movie Review: Cinderella (2015)


“A dream is a wish your heart makes.”

Salah satu trend modern di industri perfilman yang sesungguhnya tidak pula dapat dikatakan sebagai sesuatu yang selalu pasti akan memberikan hasil positif adalah ketika sebuah film yang menggunakan materi “lama” wajib memberikan presentasi dengan sedikit sentuhan yang berbeda, dari upaya menunjukkan keberanian visi hingga menghasilkan sebuah “true refreshing”. Tapi disamping itu ada kisah tradisional dan klasik yang tidak perlu hal-hal semacam itu, tanpa perlu menawarkan sebuah sentuhan dan perubahan eksplisit yang berlebihan dan berpotensi mengganggu. Film ini punya keberanian untuk menjadi kemasan yang taat pada sumber aslinya namun tetap berhasil menampilkan kembali dongeng populer itu kedalam sebuah presentasi lembut dan kokoh yang modest, thoughtful, funny, playful, charming, and magical. Cinderella: beauty fairy story when Shakespeare meet Disney.

Movie Review: Chappie (2015)


"You’re my maker. Why did you make me so I could die?"

Sebuah kalimat klasik mengatakan bahwa mempertahankan sesuatu yang telah berhasil anda dapatkan akan selalu lebih sulit ketimbang perjuangan ketika anda sedang berupaya untuk meraihnya. Hal tersebut yang kini sedang dialami oleh Neill Blomkamp ketika enam tahun lalu pria asal Afrika Selatan itu berhasil mencuri perhatian skala besar lewat District 9 (empat nominasi Oscars) yang merupakan debut feature film Blomkamp, namun empat tahun kemudian kualitasnya mulai dipertanyakan ketika Elysium hanya sebatas menjadi sebuah sci-fi standard yang kurang dinamis. So, bagaimana dengan film ketiganya ini? Chappie: charming and pall pandemonium pie.

Review: The Second Best Exotic Marigold Hotel (2015)


The Best Exotic Marigold Hotel dapat dikatakan merupakan sebuah kejutan ketika ia muncul tahun 2012 yang lalu, di prediksi hanya akan menjadi ajang kumpul bagi aktor dan aktris kawakan British namun pada akhirnya berhasil menciptakan hit dengan pencapaian box-office 13 kali lipat dari budget awal dan berujung meraih nominasi Golden Globes kategori Best Picture dan Best Actress. Tapi salah satu hal yang kala itu saya rasakan ketika film tersebut berakhir adalah ia tidak akan memperoleh sekuel karena komposisi dan hasil akhir yang ia hasilkan telah sangat tepat. Well, please welcome The Second Best Exotic Marigold Hotel.

Hot This Week - 030815


Review: The Lazarus Effect (2015)


"Evil is lurking within her."

Bercerita itu bukanlah sesuatu yang mudah bagi semua orang, kamu bisa ambil contoh merangkai kata dalam menulis sebuah review misalnya, atau contohnya lainnya seperti sedang memberikan sebuah presentasi. Masalah utama yang sering kita hadapi adalah hadirnya sebuah dinding yang kemudian membuat alur yang telah kita bangun seketika stuck, dan semakin kacau ketika kita sudah terjebak kita juga mulai bingung dan akhirnya kewalahan bagaimana cara melewati dinding tersebut. The Lazarus Effect adalah sebuah film horror yang mengalami hal tersebut, doesn't have much but trying so hard to looks smart.

Review: Unfinished Business (2015)


Sebagai informasi awal bahwa ini merupakan film komedi, tapi setelah selesai menonton hal pertama yang berhasil membuat saya tertawa justru bagaimana judul yang ia gunakan seperti cerminan secara langsung kualitas yang ia miliki. Unfinished Business sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi komedi bodoh berisikan pria-pria melakukan petualangan yang menyenangkan, tapi ternyata hasil yang ia berikan benar-benar terasa seperti sebuah bisnis yang belum selesai. Unfinished Business is an unfinished business.

Movie Review: The Con Artists (2014)


"Turning fake into real or turning real into fake?"

Tugas sebuah film memang sederhana, mampu menghibur penonton dengan berbagai metode sepanjang durasi yang ia miliki, tapi ada hal lain yang sesungguhnya juga inginkan dicapai oleh semua film, mampu meninggalkan penonton dengan impresi yang kuat ketika mereka berpisah dengan karakter dan juga cerita. Anda pasti pernah menyaksikan film yang mampu menghibur anda meskipun dalam kualitas yang sebatas cukup namun ketika ia telah berakhir anda hanya bergumam kecil, “oh, begitu, okay.” Hal tersebut yang terjadi pada film Korea yang meraup kesuksesan box-office di negeri asalnya tahun lalu ini. The Con Artists (Gisooljadeul): just a show-off arena for Kim Woo-Bin.

PnM Music Chart - 030715


Movie Review: Focus (2015)


“Congratulations, you’re a criminal.”

Tema yang ia bawa memang tidak begitu istimewa terlebih dengan sokongan sinopsis yang dapat dikatakan cukup sulit untuk dengan mudah menarik atensi penonton, namun dibalik itu justru ada fokus lain yang terasa lebih menarik dari film terkait dua bintang utamanya. Apakah Will Smith dapat kembali kedalam trek yang “sehat”? Apakah Margot Robbie berhasil memanfaatkan kesempatan yang ia miliki untuk terus bergerak maju setelah The Wolf of Wall Street? Uniknya fokus yang kurang fokus tadi ternyata tidak hanya menjadi sajian pembuka bagi film ini. Focus: an undynamic trick picnic.

Review: The SpongeBob Movie: Sponge Out of Water (2015)


"Welcome to the apocalypse, Mr. Squidward. I hope you like leather."

Tidak bisa dipungkiri memang hal utama yang menjadikan film ini berhasil meraih atensi yang sangat besar adalah pilihannya untuk menghadirkan karakter-karakter yang sudah sangat familiar itu kedalam bentuk live action, memberikan penonton kesempatan untuk menyaksikan SpongeBob, Patrick, Squidward, Mr. Krabs, hingga Plankton tidak hanya melakukan aksi gila mereka di Bikini Bottom namun masuk ke dunia di atas mereka, menciptakan kekacauan yang lebih besar dengan wujud yang juga lebih besar. The SpongeBob Movie: Sponge Out of Water is a good entertainment with crazy good explosion. "Hilarious".