Review: Mistress America (2015)


"Your tragedy is your armor."

Hidup ini adalah sebuah eksistensi yang unik dan aneh, semuanya akan terus mengalami perubahan seiring berjalannya waktu yang beberapa diantaranya terkadang memaksa kita untuk berubah dan menyesuaikan diri dan tidak sedikit pula yang menghasilkan tekanan yang berlebihan. Namun tahukah kamu bahwa ada satu cara termudah untuk menghindari kemungkinan buruk tadi? Menjadi diri sendiri, menikmati hidup dengan melakukan apa yang kamu inginkan, bersama orang-orang yang kamu inginkan. Itu isi Mistress America, film terbaru dari Noah Baumbach (Frances Ha, While We're Young) yang kembali berisikan komedi serta hati menyenangkan.

TV Series Review: Oh My Ghost - Part 3 (Final)


Sinopsis: Kang Sun-Woo (Cho Jung-Seok), pria yang walaupun masih belum mampu melupakan sang mantan pacar berkat sikap percaya diri dan tentu saja wajah tampannya memperoleh status sebagai seorang koki populer. Salah satu fansnya adalah Na Bong-Sun (Park Bo-Young), wanita introvert yang sangat pemalu dan rendah diri, seorang sous chef di restoran milik Kang Sun-Woo. Hubungan diantara mereka mendadak berubah ketika Na Bong-Sun kerasukan roh bernama Shin Soon-ae (Kim Seul-gie), hantu perawan yang penuh nafsu.    

Review: Battle of Surabaya [2015]


“There is no glory in war!”

Coba kamu sebutkan nama film animasi apa asal Indonesia yang kamu ketahui! Mayoritas diantara kita pasti akan mengenal film yang sama, film animasi yang berada dibawah bendera salah satu produk ice cream itu, tapi selain itu? Film animasi Indonesia masih sangat miskin, dan alasan paling klasik adalah dengan mengatakan karena pekerja animasi di industri perfilman Indonesia masih sulit untuk ditemukan. Tidak, itu karena pemain di dalam industri itu sendiri tidak berani bermain di genre animasi, lebih memilih menciptakan film-film horror yang bahkan untuk tayang di televisi saja masih sangat menggelikan jika dilihat dari segi kualitas. Ini buktinya, film animasi, Battle of Surabaya, tidak mewah memang tapi tetap mampu menjadi kemasan yang menghibur.

TV Series Review: Yong-pal - Part 1


Sinopsis: Kim Tae-Hyun (Joo Won) merupakan seorang dokter ahli bedah yang sangat bertalenta, namun tuntutan biaya medis adiknya yang sangat besar menyebabkan Tae-Hyun mencoba untuk mengambil jalan pintas yang kotor. Dengan memakai inisial Yong-pal ia menemui secara pribadi seluruh pasien yang siap membayar jasanya, termasuk para penjahat atau gangster. Tindakan tersebut membawa Kim Tae-Hyun kedalam masalah yang lebih besar, bertemu dengan Han Yeo Jin (Kim Tae-Hee) yang sedang berada dalam kondisi “sleeping beauty” di lantai duabelas, seorang wanita pewaris tahta yang menjadi target banyak pihak.

Movie Review: Inside Out (2015)


"Take her to the moon for me, Joy!"

Salah satu ciri dari sebuah film pada kategori “sangat mengagumkan” adalah ketika telah berakhir ia mampu membuat penontonnya menggumamkan kalimat sederhana: “OMG”, dan itu bukan hanya dikarenakan ending kuat yang ia berikan tapi juga berasal dari sengatan yang penonton rasakan dari presentasi keseluruhan yang menyenangkan, ketika melangkah pergi juga meninggalkan sesuatu yang menarik untuk tinggal dan bermain-main di pikiran penontonnya. Hal tersebut dilakukan oleh Inside Out, sebuah animasi yang mampu meninggalkan penonton dengan perasaan “bahagia” ketika telah selesai menyaksikan sebuah petualangan loveable yang imajinatif. Inside Out: an elegant magic!

Review: Sinister 2 (2015)


"Beware, children at play."

Sinister adalah salah satu film horror yang memorable bagi saya, bagaimana ia membawa kita penonton seolah berada disamping karakter Ellison Oswalt untuk menyaksikan hal-hal buruk yang kemudian terjadi. Dampak yang ia tinggalkan terhitung besar, Sinister bukan hanya menjadi sebuah film horror yang menakut-nakuti penonton saat hadir di layar, mereka meninggalkan penonton dengan teror yang mengasyikkan. Pertanyaan disini adalah pada Sinister dari segi cerita kita sudah bertemu dengan garis finish, lalu apa lagi yang hendak Sinister 2 ini coba lakukan, ceritakan, dan gambarkan?

Review: Assassination (2015)


Kita semua tahu bahwa semenjak hallyu mulai menjadi gelombang besar industri Korea semakin giat menciptakan gebrakan baru yang mencoba membawa industri terus naik ke level selanjutnya, meskipun harus diakui terkadang sangat mudah pula menemukan hasil yang terasa biasa saja karena di paksakan. Itu kesan pertama yang muncul dari Assassination ini, ia mencoba untuk menjadi sebuah kemasan yang megah bahkan menggunakan lineup cast yang di negara asalnya bahkan disebut The Avengers terbaru dari Korea itu untuk menggelitik isu nasionalis tapi beban memberikan kejutan berbeda.

Review: Vacation (2015)


"If Vin Diesel can do it, so can I!"

Film yang menjadi instalasi kelima dari National Lampoon's Vacation film series ini berada di bawah kendali dua pria, John Francis Daley serta Jonathan M. Goldstein, dua sosok yang mungkin belum begitu kamu kenal. John dan Jonathan selama ini telah menjadi aktor di balik layar film-film seperti Cloudy with a Chance of Meatballs 2, Horrible Bosses, The Incredible Burt Wonderstone, dan Horrible Bosses 2 sebagai penulis. Tidak semua film yang disebutkan tadi memiliki kualitas yang baik bahkan kamu bisa dengan mudah menemukan kesamaan diantara mereka. Begitupula dengan Vacation ini, sebuah komedi yang mencoba terlalu keras menjadi sebuah komedi. 

Review: Hitman: Agent 47 (2015)


"Be careful, little girl, the world is a dangerous place."

Sebut saja Hitman: Agent 47 ini sebagai wujud keras kepala ataupun usaha menuntaskan rasa penasaran dari 20th Century Fox atas hak yang telah mereka beli satu dekade yang lalu: Hitman. Sebelum reboot ini lahir film pertamanya sendiri dapat dikatakan seperti butiran pasir di tepi pantai yang berhasil dibentuk menjadi sebuah istana tapi dalam waktu singkat hilang ditelan ombak, usaha latah yang walaupun sukses di segi finansial tapi tidak berhasil mengikuti jejak sesama film yang bersumber dari video games seperti Resident Evil untuk menjadi sesuatu yang memorable. Hitman: Agent 47 ini sama saja, seperti makan popcorn dengan wasabi. Ew!

Review: Return to Sender (2015)


Return to Sender sebenarnya bukan hanya berhasil tampak menarik di awal karena sinopsis sederhana yang mengundang rasa penasaran itu, tapi disisi lain ini juga menjadi film pertama dari seorang Rosamund Pike setelah tahun lalu ia sukses mengaduk-aduk penonton dengan hubungan hate to love dan love to hate ketika berperan sebagai Amy Elliott-Dunne di Gone Girl. Mereka serupa, Return to Sender juga mencoba menjadi sebuah thriller yang di membuat penontonnya bermain-main dengan misteri, tapi sangat jauh untuk mengatakan mereka berada di kualitas yang sama.

Review: Straight Outta Compton (2015)


"People are scared of you guys. They think you're dangerous, but the world needs to hear it."

Straight Outta Compton adalah bintang yang tak terduga di box-office tahun ini, enam hari sejak rilis berhasil meraih $67 juta dollar, berhasil meraih hati dan cinta bukan hanya dari penonton umum namun juga para pengamat film. Apa yang menyebabkan film ini mendadak menjadi hit yang mencuri atensi skala besar? Strategi marketing serta pengaruh sosok ternama seperti Dr. Dre dan Ice Cube di balik layar? Mungkin saja, namun dibawah kendali sutradara The Italian Job film yang menyandang status sebagai sebuah biopic ini layak mendapatkan cinta tersebut.

Review: Love You.. Love You Not [2015]


Walaupun tetap saja tricky melakukan remake pada sebuah karya yang sebelumnya tidak begitu sukses atau berada di level yang biasa-biasa saja mungkin akan meninggalkan pertanyaan yang lebih sedikit ketimbang jika sumber asalnya itu telah berhasil mencetak kesuksesan. Tidak berhenti sampai disana saja karena Love You Love You Not yang merupakan adaptasi film asal Thailand, I Fine... Thank You Love You, juga mencoba menghadirkan kembali romansa manis tersebut hanya selang delapan bulan dari tanggal rilis sumber bahan di negeri asalnya. Ya, kesuksesan tidak hanya datang dari semangat yang besar saja karena terkadang strategi punya peran penting didalamnya.

Review: The Man from U.N.C.L.E. (2015)


"And remember, take it like a pussy."

Setelah Kingsman: The Secret Service memberikan petualangan energik yang mempesona penonton dengan aksi “kurang ajar” yang ia miliki, Spy dengan segala kekonyolannya yang mampu memberikan tawa konstan, serta Mission: Impossible – Rogue Nation yang terus mencoba membawa penontonnya ke dalam ketegangan, mari sambut satu lagi film bertemakan mata-mata di tahun 2015 sebelum akhirnya di tutup oleh film James Bond terbaru, Spectre, di akhir tahun nanti. The Man from U.N.C.L.E., punya action dalam visual menyenangkan yang coba ia gabungkan bersama komedi, kombinasi antara James Bond dan Austin Powers yang, tidak buruk.

TV Series Review: Oh My Ghost - Part 2


Sinopsis: Kang Sun-Woo (Cho Jung-Seok), pria yang walaupun masih belum mampu melupakan sang mantan pacar berkat sikap percaya diri dan tentu saja wajah tampannya memperoleh status sebagai seorang koki populer. Salah satu fansnya adalah Na Bong-Sun (Park Bo-Young), wanita introvert yang sangat pemalu dan rendah diri, seorang sous chef di restoran milik Kang Sun-Woo. Hubungan diantara mereka mendadak berubah ketika Na Bong-Sun kerasukan roh bernama Shin Soon-ae (Kim Seul-gie), hantu perawan yang penuh nafsu.    

Review: Cop Car (2015)


“You don't.., steal.., a cop car!”

Film-film seperti Cop Car ini sangat mudah meninggalkan impresi yang baik pada penontonnya, mereka yang awalnya tidak memperoleh ekspektasi tinggi tapi berhasil memberikan senyuman puas ketika penonton melangkah keluar studio. Mayoritas penonton mungkin dengan mudah akan mengatakan film ini berada di kelas B bahkan C jika hanya melihat komposisi tim yang ia miliki, tapi hasil yang Cop Car berikan lebih dari itu. Ini seperti coming-of-age yang didampingi oleh Coen brothers, mencampur thriller dan komedi dengan sedikit balutan horror, dan ia akan membuatmu mengerti mengapa Marvel memilih Jon Watts untuk memegang kendali reboot Spider-Man.    

Review: Dark Places (2015)


"The truly frightening flaw in humanity is our capacity for cruelty - we all have it."

Jika kamu tahu bahwa Dark Places di angkat dari novel dengan judul yang sama karya Gillian Flynn, wanita yang notabene juga merupakan penulis Gone Girl, maka tidak ada salahnya untuk sedikit menarik ekspektasi kamu. Secara basic dua novel tersebut punya sentuhan yang sama dari Gillian Flynn, ia mampu memutar-mutar pembaca dengan misteri dan alur non-linear tapi ketika telah di pindahkan kedalam bentuk film hasil dari keduanya juga berbeda. Tahun lalu saya menyebut Gone Girl sebagai salah satu film thriller terlezat di 2014, tapi jika Gone Girl ibarat spaghetti dengan saus yang begitu lezat maka Dark Places ibarat sebuah mie instan yang masih mampu membuat kenyang.    

Review: The Gift (2015)


"You think you've done with the past, but the past did not done with you. "

Tentu saja ada alasan kenapa saat persidangan pengacara selalu mencoba menyerang saksi kubu lawan dengan berbagai pertanyaan secara bertubi-tubi, karena ketika berada di medan perang salah satu cara mudah untuk menang adalah dengan mengganggu bahkan merusak kestabilan emosi sang lawan. Emosi itu sangat sensitif, kamu bisa menjadikan sosok idaman kamu jatuh cinta padamu dengan mengaduk-aduk emosinya lewat persembahan indah, tapi disisi lain kamu juga dapat membuat tetanggamu cemas hingga takut dengan menebar terror psikologis seperti misalnya memberikan hadiah misterius secara periodik. The Gift menggambarkan hal tersebut, sebuah psychological thriller efektif yang “mengganggu”.

Review: The Diary of a Teenage Girl (2015)


"I had sex today. Holy shit."

Apakah kamu pernah merasa takut untuk menjadi dewasa? Meninggalkan masa muda kamu yang identik dengan jiwa bebas untuk kemudian melangkah maju ke jenjang yang lebih tinggi dimana kamu akan menemukan tuntutan pada tanggung jawab yang lebih besar pada kehidupan kamu. The Diary of a Teenage Girl ingin menggambarkan hal tersebut, bagaimana coming of age memang menjadi periode atau proses yang tidak akan otomatis berjalan dengan mudah tapi di sana kita akan menentukan siapa diri kita yang sebenarnya, merasakan aksi memberontak, cinta, kecewa, cemas, tanggung jawab, pesta, hingga seks.

Review: Ricki and the Flash (2015)


"No, mom, I am sick, that's why I'm in therapy."

Berbicara tentang potensi sulit untuk tidak memasukkan Ricki and the Flash kedalam list film paling diantisipasi tahun ini jika menilik tim yang ia miliki. Jonathan Demme (The Silence of the Lambs) memegang kendali di bangku sutradara, cerita di tulis oleh Diablo Cody (Juno, Young Adult), dan senjata utama mereka juga tidak sembarangan, Meryl Streep (kamu bisa isi dalam kurung ini sesuka hatimu). Ricki dan Flash pada akhirnya dengan baik memang mampu menyelesaikan kisah menarik tentang keluarga yang telah retak, namun dengan kombinasi seperti di atas tadi ia seharusnya berada di posisi yang lebih tinggi.

Review: Detective Conan: Sunflowers of Inferno [2015]


Ketika formula atau strategi yang kamu gunakan sekarang masih mampu bekerja dan memberikan hasil yang memuaskan, mengapa mencoba untuk melakukan perubahan? Konsep tadi mungkin menjadi andalan dari banyak film animasi dari Jepang, bahkan telah populer pada level tertinggi seperti Doraemon dan Studio Ghibli, mereka menggunakan formula klasik dalam hal struktur cerita tapi tetap mampu membuat penonton setia bersamanya hingga akhir dengan menggali salah satu keahlian mereka: memancarkan pesona dari karakter utamanya. Detective Conan punya pesona tersebut.

Review: Fantastic Four (2015)


"You've opened a door you don't know how to close. You don't know anything about what's coming."

Cukup sulit untuk sebuah film sci-fi apalagi jika ia membawa tema superhero sebagai jualan utamanya untuk mendapatkan respon negatif baik itu dari para pengamat film maupun penonton umum. Fantastic Four telah memperoleh buzz negatif jauh sebelum ia menyapa penontonnya akibat masalah internal, bahkan sebuah berita mengatakan bahwa para cast utamanya belum menyaksikan Fantastic Four satu minggu sebelum ia di rilis. Apakah buzz negatif itu benar adanya? Apakah Fantastic Four benar-benar sekacau itu? Change is (not) coming.

Review: Pixels [2015]


"He's a loser, and he'll always be a loser." 

Apakah sebuah film yang mengandung “Adam Sandler” didalamnya masih layak mendapat atensi dari kamu? Apakah film dengan pemain utama seorang pria berekspresi lesu bernama “Adam Sandler” masih membuat kamu yakin ia akan memberi hiburan yang membuat waktu dan uang yang kamu gunakan terasa worthed? Pertanyaan mungkin dua dari sekian banyak pertanyaan lain yang ada di benak calon penonton pada film “Adam Sandler”, tapi saya punya satu trick yang sudah lama saya terapkan pada film “Adam Sandler”, mencoba mengerti kelemahan klasik yang ia punya dan nikmati hal lain di luar kelemahan klasik tadi. Itu yang menjadikan Pixels terasa cukup oke.

Review: Phoenix (2014)


"It’s late, darling it’s late, the curtain descends, everything ends too soon, too soon."

Selalu menyenangkan memang saat menyaksikan sebuah film yang mampu membuat penontonnya bukan hanya sekedar mengamati apa yang terjadi di hadapan mereka tapi juga seolah terlibat didalam cerita, masuk dan dikunci untuk kemudian dilepaskan kembali dengan rasa gembira ketika film tersebut telah selesai. Christian Petzold berhasil melakukan itu di Barbara, dan di film terbarunya ini ia mengulang kesuksesan tersebut dengan Phoenix, sebuah drama post-Holocaust dengan power kuat yang meninggalkan penonton dengan horror emosi dan psikologi.

Review: Samba (2014)


Setelah memperoleh kesuksesan besar lewat karya mereka The Intouchables yang berhasil menarik penonton hampir 30% dari jumlah populasi negara asalnya, Perancis, dan di tahun 2012 sukses menjadi the highest-grossing movie French film dan film non-English dalam cakupan worldwide, beban dan tugas yang di miliki oleh Olivier Nakache & Éric Toledano pada karya mereka selanjutnya tentu saja tidak kecil, sejarah yang mereka ciptakan telah membawa status baru pada mereka. Alih-alih meneruskan The Intouchables, disini, Samba, mereka kembali dengan resep perpaduan komedi dan romance berlatarkan drama sosial.

Review: Southpaw (2015)


"Billy Hope knows how to take a punch, but he also drops bombs."

Terkadang masalah itu punya maksud lain dibalik kehadirannya di dalam kehidupan kamu, seperti kehilangan misalnya yang bisa saja punya tujuan untuk menjadikan kamu lebih giat lagi untuk mendapatkannya kembali atau bukan tidak mungkin memperoleh yang lebih baik dari sebelumnya. Southpaw adalah sebuah film tentang tinju yang menariknya tidak sekedar ingin membuat kamu menikmati pukulan di sana dan di sini, dengan formula standard ia ingin memberikan penggambaran tentang percaya pada harapan dengan menggunakan drama di luar dan di dalam arena tinju yang, oke.