Review: The Hateful Eight (2015)


“My pistol plays a tune.”

Film Quentin Tarantino? Well, itu sudah cukup menjadi alasan untuk melangkahkan kaki menuju bioskop. Diproduksi dalam format 70 mm yang yang otomatis akan memberikan penonton komposisi layar pada aspek rasio super lebar? Well, kombinasi di antara keduanya menjadikan The Hateful Eight tampak semakin menarik. Quentin Tarantino merupakan sutradara dengan visi yang besar, seolah ingin melanjutkan Django Unchained ia kembali membawa kamu ke dunia western berisikan keributan antara delapan orang yang dipenuhi dengan rasa benci. Pertanyaannya adalah apakah The Hateful Eight berhasil memenuhi hype dan menampilkan misteri dengan rasa retro yang menarik?

Laurawidy’s 20 Favorite Movies of 2015


Berawal dari pria sayang istri yang kemudian tenggelam dalam kekuasaan, berlanjut menuju dua wanita yang menaruh rasa saling suka, kemudian bertemu dengan wanita yang cintanya terbagi oleh samudera, disambung oleh pria yang berjuang sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar antara Tom dan Jerry, lalu menyaksikan gadis muda yang berubah bersama diary, mengamati pria keras kepala yang penuh ambisi pada karyanya, mengikuti lima pria dan satu wanita berusaha mengungkap fakta, hingga menyaksikan dunia yang telah hancur berusaha menjatuhkan penguasa dengan cara gila. Hi, saya Laurawidy, dan berikut adalah 20 film favorit saya di tahun 2015.

Review: Regression [2015]


"Evil always finds its victim."

Sebuah film horror yang baik mampu membuat penontonnya takut ketika ia hadir di hadapan mereka dan meninggalkan memori yang “baik” ketika penonton berpisah dengannya. Sebuah film thriller yang baik sangat sederhana, ia harus memberikan thrill yang oke. Sebuah film misteri yang baik bukan hanya harus mampu memberikan masalah rumit tapi menjadikan kerumitan itu jadi menarik untuk diikuti. Tiga hal tadi coba dilakukan oleh film ini, Regression, sebuah upaya regresi menggunakan topeng satanisme yang sangat mini.

Review: Youth (2015)


"Intellectuals have no taste."

Meskipun memakai judul yang memiliki arti muda jangan kaget jika yang akan kamu temukan dari film ini justru sebuah observasi terhadap subjek yang tidak lagi muda. Niat Paolo Sorrentino di sini sangat menarik, baton dari The Great Beauty yang berhasil meraih Oscars dilanjutkan dengan baik oleh Youth dengan menjadi sebuah sajian studi karakter yang indah mencoba membawa kamu kedalam sebuah meditasi tentang menjadi tua dengan mencampur proses penuaan itu dengan persahabatan, kehilangan, rasa kecewa, rasa sakit, kebijaksanaan, hingga cinta.

Review: Concussion (2015)


"Repetitive head trauma chokes the brain! And turns man into something else."

Concussion ini seperti seorang karyawan yang suatu ketika menemukan “noda” di tempat kerjanya yang dapat ia gunakan untuk naik ke jabatan yang jauh lebih tinggi, namun bukan bukannya memilih memanfaatkan keuntungan tersebut semaksimal mungkin ia pada akhirnya justru memilih kembali merahasiakan noda tersebut setelah puas dengan negosiasi dari pihak yang menciptakan noda tadi. Punya potensi yang menarik Concussion adalah sebuah provokasi tanpa touchdown.

Review: 45 Years (2015)


Pemanasan global hingga perang nuklir, begitu banyak bencana di luar sana yang dapat memusnahkan jiwa dan raga umat manusia. Tapi apakah kamu tahu bahwa cinta juga memiliki kekuatan yang sama dalam hal menghancurkan jiwa dan raga manusia? Apa yang akan kamu lakukan jika empat dekade dari sekarang kamu mengetahui bahwa sosok yang selama ini sangat kamu cintai dan juga begitu mencintai kamu justru menyimpan rasa ragu pada rasa cintanya padamu? Sederhana, tapi itu ditampilkan 45 Years dengan cantik, dari sutradara Weekend hadir horror dengan menggunakan drama dan romance.

Review: Alvin and The Chipmunks: The Road Chip (2015)


"You drive like my grandmother! Whoooo-hoooo! This is awesome!"

Mengapa aksi Alvin, Simon, dan Theodore yang tergabung dalam kelompok pecinta musik The Chipmunks masih bisa berhasil menjaga eksistensinya sejak pertama kali muncul tahun 2007 yang lalu? Jawabannya karena mereka telah menjadi karakter yang ikonik untuk “menghabiskan” satu setengah jam kosong milikmu, dan tentu saja karena mereka masih sukses menjadi mesin pencetak uang yang mampu meraih penghasilan empat hingga enam kali dari budget yang digunakan. Alvin and the Chipmunks: The Road Chip masih percaya bahwa kotoran dan kentut dapat menghibur selama 84 menit, lebih baik dari film ketiga, masih kalah dari film pertama, dan berada di level yang serupa dengan dua pendahulunya.

Review: Sisters (2015)


"Dear diary, today I tried a tampon. No thanks Tom Hanks."

Ketika telah diciptakan Tina Fey dulu mungkin Tuhan merasa bahwa ada sesuatu yang kurang, maka satu tahun kemudian Ia ciptakan Amy Poehler. Dua wanita yang pasti tidak asing lagi bagi penikmat program TV dari USA seperti 30 Rock, Parks and Recreation, dan tentu saja Saturday Night Live ini menjadi idola banyak penonton berkat chemistry yang unik di antara mereka, punya banter yang tajam dan on point. Hal tersebut mereka tampilkan di film ini, Sisters, meskipun kamu juga pasti tahu bahwa kesuksesan sebuah film juga bergantung pada banyak elemen penunjang lain yang ia miliki. Teen movie for adult.

Review: Joy (2015)


"She brought the hammer down."

“I’ll do anything with you until you die,” begitu kata Jennifer Lawrence kepada David O. Russell yang dikutip dari sesi tanya jawab saat screening Joy pada akhir november yang lalu. Sutradara dan aktris ini perlahan memang tampak seperti duet yang mulai sulit untuk dipisahkan, Joy merupakan kolaborasi ketiga mereka setelah Silver Linings Playbook dan American Hustle. Namun tidak seperti dua film tadi ternyata Joy memberikan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sayangnya membuat saya berharap agar mereka memilih untuk “berpisah" sejenak.  A forced package from start to finish, that’s Joy.

Review: The Lady in The Van (2015)


"The Virgin Mary. I spoke to her yesterday. She was outside the post office."

Dengan menyandang status makhluk sosial setiap manusia memerlukan sosok lain di sekitar mereka untuk belajar dan terus bertumbuh sebagai individu, tidak peduli berada di usia berapa mereka. Hal tersebut yang coba digambarkan oleh The Lady in the Van, mencoba melakukan eksplorasi terhadap hubungan antar dua individu dengan menggunakan dua senjata utama yang berhasil tampil menarik, pertama adalah komedi, dan kedua adalah Dame Maggie Smith.

Review: Son of Saul (2015)


Sebuah drama, begitu impresi yang diberikan oleh Son of Saul (Saul fia) pada awalnya, namun dengan menggunakan Holocaust sebagai pusat cerita, lalu Kubrickian, debut dari László Nemes ini berhasil menjadi sebuah pengalaman horror yang menakutkan, sebuah provokasi indah dengan menggunakan salah satu kejahatan dunia yang pernah eksis ketika Perang Dunia II yang lalu. The Pianist dan Schindler's List kini dapat beristirahat dengan tenang karena film tentang Holocaust di era millennium dengan keindahan yang serupa dengan mereka telah hadir.

rorypnm’s 20 Favorite Movies of 2015


Sama seperti tahun lalu, Christmas Eve menandakan saatnya untuk merilis daftar film favorit yang saya tonton di tahun 2015. Tidak seperti tahun lalu pada edisi kali ini daftar film yang saya tonton ditutup per tanggal 24 desember. Dari Birdman dan Whiplash di awal tahun hingga record-breaking movie di akhir tahun, dari film yang bermain dengan robot dan fantasi hingga film yang mengajak penonton berpetualang di dalam pikiran, tiga buah film survival story dan satu stoner mystery, berikut adalah 20 film favorit yang saya tonton dari awal januari hingga akhir desember tahun 2015.

Review: The Big Short (2015)


Tell me the difference between stupid and illegal and I'll have my wife's brother arrested.”

Saya merasa tertipu oleh The Big Short, hasil akhir yang ia berikan tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Apakah saya yang salah menaruh ekspektasi? Mungkin, sebelum menonton saya tahu ini merupakan sebuah drama komedi namun hasil akhir yang ia berikan ternyata jauh lebih menghibur dari apa yang saya harapkan terhadap sebuah film dengan krisis finansial sebagai konflik utamanya. The Big Short merupakan salah satu film komedi terlucu tahun ini, The Wolf dari Wall Street bertemu dengan Margin Call, seperti Spotlight dengan bumbu komedi, cocky but funny.

Review: Krampus [2015]


"Saint Nicholas is not coming this year. Instead, a much darker, ancient spirit."

Krampus ini seperti sebuah biscuit berbentuk bola yang tampak biasa namun setelah kamu mengunyahnya ternyata terdapat cokelat di bagian dalamnya yang akan meledak di dalam mulut. Ide yang digunakan sederhana, sebuah mitologi, keluarga disfungsional, lalu terjebak dan bertahan hidup, namun lewat kepanikan yang memadukan horror, komedi, drama, dan fantasi, Krampus berhasil menjadi sebuah sajian yang klise, standar, namun efektif dalam menyampaikan pesan kasih yang dibawa dalam setiap perayaan natal.

Review: Dheepan [2015]


Film terbaru dari sutradara A Prophet serta Rust and Bone ini menciptakan kejutan pada Cannes Film Festival bulan mei yang lalu dengan sukses meraih penghargaan tertinggi Palme d'Or. Dheepan memang baik, dengan struktur yang berani serta dipenuhi kejutan ia berhasil menggabungkan drama keluarga bersama sebuah aksi balas dendam dengan bumbu thriller. Tapi ibarat sedang travelling menggunakan pesawat terbang, Dheepan memberikan take off yang mulus, kondisi yang nyaman ketika berada di atas awan, namun pendaratan yang terasa kasar menjadi noda pada penilaian penonton terhadap experience yang ia berikan.

Review: Macbeth (2015)


"All hail Macbeth that shall be king"

Kehidupan yang semakin “brutal” sekarang ini telah menerapkan sistem di mana yang kuat yang bertahan, sementara yang lemah akan berantakan. Apakah hal tersebut sesuatu yang salah? Tidak, namun jika kamu tidak mampu menangani konsekuensi yang selalu ada di balik setiap aksi maka yang kuat bisa saja juga berakhir berantakan. Hal tersebut merupakan inti dari film ini, Macbeth, sebuah war drama berisikan kebrutalan yang menawan, menghidupkan karya William Shakespeare kedalam bentuk tragedi berdarah yang indah. Bold, brutal, bloody, and beauty.

Review: James White (2015)


Terkadang sebuah bencana baru dapat mengubah seorang yang jahat menjadi baik. Itu yang coba digambarkan oleh film ini, James White, film sulit yang terasa manis. Ini merupakan sebuah drama yang sederhana, namun dengan mengusung konsep di mana seorang pemuda menolak untuk tumbuh dan menganggap dunia memiliki hutang padanya, dibantu dengan dua kinerja akting yang memukau, James White berhasil meninggalkan penonton dengan pukulan yang begitu kuat, dan itu dicapai dengan menggunakan pecundang sebagai tokoh utamanya. Honest and brutal. 

Review: Life (2015)


Hidup merupakan petualangan yang “menyenangkan”, seperti perpaduan antara manisnya gula, asinnya garam, dan asamnya lemon. Fakta itu yang coba digambarkan oleh film terbaru dari Anton Corbijn, menggunakan sorot terhadap kehidupan aktor James Dean sebagai jalan dalam sebuah perjalanan bersama seorang fotografer beberapa bulan sebelum kematiannya. Sayangnya kata dasar dari kata terakhir tadi menjadi bagian penting dari Life, karena Life tidak mampu dengan mudah untuk hidup, ada mati yang hadir di sampingnya.

The 4th Anniversary of rorypnm


OMG!!! We missed it!! lol. Akibat terlalu seringnya ia “pergi” selama periode januari hingga desember ini kami jadi lupa bahwa tanggal 15 desember yang lalu merupakan hari special buat blog ini, 4th anniversary of rorypnm. Thank you, thank you, dan thank you kepada semua pengunjung yang telah menunjukkan rasa sayangnya kepada rorypnm dengan melakukan kunjungan, baik itu anda yang merupakan pengunjung setia, stalker, hingga mereka yang terdampar di rorypnm setelah diarahkan oleh mesin pencari. Sangat senang pendapat kami masih menjadi sajian yang oke untuk dinikmati oleh banyak orang.

Review: In The Heart Of The Sea (2015)


"The tragedy of the Essex is the story of men. And a Demon."

In the Heart of the Sea merupakan sebuah film yang mengejutkan, dan sumbernya adalah sang sutradara Ron Howard. Salah satu keahlian dari Ron Howard sebagai seorang sutradara adalah ia akan membawa kamu sebagai penonton untuk tidak hanya sebatas berkenalan dan tahu terhadap konflik dan karakter, kamu dibawa masuk kedalam cerita dan merasa dekat dengan karakter, paham dengan taruhan dari konflik dan semakin menarik karena merasa ikut terjebak bersama karakter di dalam konflik. Hal positif tadi menjadi sumber dari kejutan yang diberikan oleh film ini, maksi di aksi, mini di hati.

Review: The Danish Girl (2015)


"And it was the strangest thing. It was like kissing myself."

Jika harus digambarkan dengan menggunakan pengandaian, The Danish Girl ibarat sebuah daging kualitas sangat baik yang dapat dimasak hingga matang namun akhirnya disajikan kepada konsumen dalam kondisi setengah matang. Bukan, bukan karena ia tidak punya api untuk memasak daging tersebut hingga matang tapi karena koki yang merasa ragu atau cemas daging menjadi gosong dan memilih bermain aman. Seperti itu The Danish Girl, sama seperti Trumbo ini merupakan sebuah film biografi yang understated, tapi hasil akhirnya membuat penonton bergumam I like it, but I don’t love it.

PnM Awards 2016 Early Lists: Cinematography, Foreign, Score, & TV (Drama)


Pada edisi ketiga early list tahun ini kami akan memperkenalkan daftar calon terbaik dari kategori sinematografi, score, dan foreign di bagian film, serta aktor, aktris, dan tv-series terbaik di bagian televisi. Michael Giacchino menjadi bintang pada kesempatan kali ini dengan empat buah film di sektor score, di sektor sinematografi terdapat dua kandidat calon yang memperoleh dua slot, sedangkan Korea menjadi negara dengan kandidat calon terbanyak di kategori film non-english. Di kategori televisi terdapat 22 buah tv-series baru yang menemukan jalan untuk menjadi yang terbaik di sektor drama. Downtown Abbey meraih enam slot, sejajar dengan dua kejutan tahun ini The Last Kingdom dan Sense8. Namun yang paling menarik bukan itu melainkan pertanyaan apakah tahun ini akhirnya Game of Thrones berhasil menjadi yang terbaik di PnM Awards