Review: Hail, Caesar! (2016)


"Would that it were so simple?"

Hail, Caesar! merupakan sebuah usaha dari Coen Brothers menggabungkan dua keahlian mereka dalam tampilan yang lebih kearah style. Keahlian Coen Brothers bukan hanya menciptakan kisah yang terasa “manusia” dengan menggunakan kesan nihil yang konsisten, mereka juga ahli dalam membuat yang sederhana tampak kompleks, dan yang kompleks tampak sederhana. Berikan sebuah kisah kejahatan di panggung utama, temani dengan berbagai warna lain termasuk lelucon tepat guna, Hail, Caesar! merupakan komedi, melodrama, noir, epic, serta sebuah showbiz yang cepat dan cerdas, nakal dan sinting.

Review: Triple 9 [2016]


"A deadly heist needs a killer distraction."

Sutradara John Hillcoat punya cara main yang unik, dari The Proposition dan Lawless semua mencoba mendorong sisi brutal ke panggung utama untuk mencuri perhatian penonton tapi di sisi lain Hillcoat juga menjaga agar kebrutalan itu terasa kering. Hal tersebut ia lakukan kembali di crime thriller penuh cast ternama ini, namun seperti judulnya yang merupakan kode dengan arti “officer needs help” itu Triple 9 ternyata tampil seperti sebuah rapat dengan agenda yang menarik namun berjalan dengan fokus yang lemah dan kemudian kehilangan arah. 

Review: The Survivalist [2015]


"How long have you been here?"

Pada awalnya saya mengira berdasarkan judulnya yang unik The Survivalist merupakan sajian bertahan hidup dari sekelompok orang dari bahaya yang datang mengancam dari luar. Zombie? Iya, dalam "wujud" manusia. Dengan tampilan minimalis dan lebih menitikberatkan keterlibatan penonton pada paranoia yang dialami oleh karakter, film yang disebut sebagai “Mad Max in the countryside” ini justru berhasil menjadi sebuah studi karakter tentang manusia yang tidak biasa, ia memberi penonton keheningan, ia memberi penonton kejutan yang menyegarkan, dan ketika dua hal itu bersatu tercipta sebuah thriller dengan permainan atmosfer cerita yang manis.

Review: Zootopia [2016]


"No matter what type of animal you are, change starts with you."

Walt Disney pernah berkata seperti ini, bahwa film dapat dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk kehidupan muda untuk menuju cita-cita dan tujuan di kehidupan dewasa, dan animasi merupakan media mendongeng dan hiburan visual yang dapat memberikan kesenangan serta informasi kepada penonton dari segala usia. Zootopia berhasil menjadi film terbaru yang melaksanakan perkataan pendiri Disney itu, sebuah film animasi yang sangat sangat sehat, karya terbaru dari Disney ini berhasil menciptakan arena bagi penonton muda dan penonton dewasa untuk datang, duduk, dan bersenang-senang bersama.

Review: The Witch (2015)


"Wouldst thou like to live deliciously?"

Bukan berarti apa yang mereka lakukan merupakan sesuatu yang salah, bahkan dapat dikatakan itu merupakan tugas mereka yang paling fundamental, tapi mayoritas film horror sekarang ini seperti hanya mengusung misi untuk menjadi film yang menggoda lalu kemudian menakut-nakuti penontonnya. Terdapat satu hal lain yang seharusnya wajib dilakukan oleh film-film horror, ia harus mampu “mengganggu” penontonnya, baik itu ketika ia hadir di layar maupun ketika ia telah berpisah dengan penontonnya. Debut dari sutradara remake Nosferatu ini berhasil melakukan hal tersebut. Not only an extraordinary exorcism, The Witch is a tense and thought-provoking horror who could make your blood run cold and satan cry.

Review: Deadpool [2016]


"I ain't super, and I'm no hero."

Terdapat tiga hal menarik dari kesuksesan Deadpool tidak hanya dalam hal mencuri namun mencengkeram atensi sehingga berhasil meraih berbagai box office records, yaitu: ini energik, ini unik, dan ini licik. Ya, Deadpool ibarat oasis di tengah padang gurun yang gersang di jenis film superhero yang sekarang ini hanya terbagi dalam dua kelas: satu fun dan aman, satu gelap dan aman. Ini fun, ini tidak gelap, dan ini juga tidak memilih untuk bermain aman, penuh “gairah” tampil berani menjadi kemasan superhero yang ia klaim berbeda dengan cita rasa meta. Not bad. Not smart. Not great.

Review: Zoolander 2 (2016)


"You and SpongeBob were my biggest influence ever!"

Berawal dari sinopsis yang terhitung berani dengan menggabungkan Perdana Menteri Malaysia, fashion, dan usaha pembunuhan menjadi satu Zoolander berhasil menjadi sebuah dumb and satire comedies yang menghibur, dan Derek Zoolander berhasil menjadi karakter komedi dengan gaya yang ikonik. Sadar akan keunggulan yang telah dihasilkan oleh pendahulunya itu masih di bawah kendali Ben Stiller dengan tumpukan cameo dari Katy Perry, Justin Bieber, Ariana Grande, Skrillex, Lewis Hamilton, Olivia Munn, Naomi Campbell, Susan Sarandon, hingga Susan Boyle, Zoolander 2 mencoba untuk melakukan hal serupa tapi tak sama. Ya, serupa tapi tak sama.

Review: How to Be Single (2016)


"Welcome to the party."

Philophobia atau rasa takut untuk jatuh cinta dan terlibat ikatan asmara serta emosional secara mendalam sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang aneh, karena tidak semua orang ketika mencoba move on memiliki gejolak emosi yang baik terhadap cinta mereka di masa lalu. Menggunakan konsep “wanita bisa” lalu bermain-main bersama persahabatan serta cinta How to Be Single mencoba untuk menjadi sebuah komedi romantis dengan gaya metropolis.

Review: Tumbledown (2016)


"Turn the page, start a new chapter."

Cinta memang memiliki kekuatan dan kemampuan yang luar biasa, ia tidak hanya mampu membuat kamu menjadi positif dari posisi awal positif, cinta juga mampu mengubah kamu yang awalnya negatif menjadi positif. Fungsi klasik cinta itu yang coba digambarkan oleh film ini, Tumbledown, si wanita terjebak masa lalu, si pria menolong untuk move on, berpadu dengan humor dan hati menjadi sebuah rom-com yang tidak menyengat.

Review: Nina Forever (2016)


“You’re dead!” | “That doesn't mean we're on a break though, does it?”

Memang cinta itu sesuatu yang sangat berbahaya, jadi tidak heran jika banyak kita temukan orang-orang yang bertindak nekat hanya karena rasa cinta. Contohnya move on, ketika rasa cinta kamu kepada seseorang ternyata akhirnya kandas opsi yang kamu miliki hanya dua, melepasnya atau justru memaksa untuk kembali mendapatkan cintanya. Nina Forever menggunakan hal tersebut sebagai dasar, ditinggal mantan kekasih lalu mencoba untuk membangun kisah cinta yang baru, tapi ternyata sang mantan ingin kembali. Klasik bukan? Tapi bagaimana jika ditampilkan dalam dua dunia yang berbeda, satu manusia, dan satu lagi, hantu. Gross, sexy, dan beautiful, Nina Forever is a bloody lovely and fucked up fairy tale about love.

Review: The Choice (2016)


"If you see a man sleeping on a cold floor, there's sure to be a pretty woman nearby."

Dari The Lucky One, kemudian Safe Haven, lalu disusul The Best of Me, dan yang terakhir The Longest Ride yang rilis tahun lalu, setiap tahun sejak 2012 kita selalu bertemu dengan film romance yang merupakan adaptasi dari novel karya Nicholas Sparks dan The Choice mencoba untuk meneruskan baton. Dasar cerita film ini masih punya tipe yang sama dari film-film tadi, dua insan manusia mencoba bertarung dengan perasaan mereka masing-masing, melakukan refleksi untuk memperoleh rasa yakin dan akhirnya melangkah maju bersama cinta. Nah, pertanyaannya adalah dengan konsep yang sama dengan pendahulunya itu apakah hasil akhir yang diberikan oleh The Choice juga sama? 

Review: Pride and Prejudice and Zombies [2016]


"Daughters do not dance well with masticated brains."

Ide dari novel Pride and Prejudice and Zombies yang mencoba menulis ulang kisah klasik karya Jane Austen dengan modifikasi kecil berupa menambahkan zombie ke dalam cerita merupakan sebuah tindakan yang walaupun kamu tidak pernah membacanya pasti akan menimbulkan rasa penasaran yang begitu besar. Apa yang akan dilakukan oleh para zombie di dalam kisah yang berasal dari sebuah novel of manners yang mencoba membawa pembacanya lebih ke arah berpikir serta menghargai isu tentang kelas sosial? Manusia vs zombie? Ya, benar, Pride and Prejudice and Zombies merupakan panggung sandiwara antara zombie dengan manusia.

Review: Southbound (2016)


"Because you cannot undo what's been done."

Film dengan tipe antologi lebih sering meninggalkan perasaan “kurang masak” akibat konsistensi yang lemah dan nada serta kualitas cerita tidak merata, ada segmen yang menarik namun sisanya lebih sering hanya menjadi pelengkap, ada yang mengganggu bahkan merusak excitement jalannya cerita. Bagaimana caranya agar daya tarik baik itu dari cerita, karakter, hingga teknik presentasi dapat terus mengalir dengan baik hingga akhir merupakan hal menarik dari sebuah film antologi.  Southbound sukses menyajikan hal menarik tadi dengan cara yang menarik, sebuah antologi horror, thriller, dan sci-fi yang justru tampak seperti sebuah kesatuan yang mengajak penonton menyaksikan kegilaan di California Selatan.

Review: Jane Got a Gun (2016)


"I will kill you."

Sejak pertama kali diumumkan akan diproduksi pada tahun 2012 yang lalu film ini telah mengalami banyak masalah dengan Natalie Portman sebagai anggota asli yang bertahan di posisi aslinya hingga akhir. Dari Michael Fassbender, lalu Jude Law, hingga Bradley Cooper, kemudian ditinggal oleh sutradara, hingga kasus bangkrut rumah produksi, Relativity Media, akhirnya proyek bermasalah dengan judul Jane Got a Gun ini sukses menemukan senjata yang akan ia gunakan dan berhasil menyapa penonton. Pertanyaan berikutnya adalah apakah senjata itu punya peluru yang cukup atau tidak? Jane masih butuh Thor!

Review: 13 Hours: The Secret Soldiers of Benghazi (2016)


"Payback's a bitch and her stripper name's Karma."

Jika mendengar nama Michael Bay maka yang terlintas di pikiran adalah bombastis. Ya, Michael Bay seolah telah menjadi raja dalam urusan menciptakan adegan bombastis di film action, ia mampu menciptakan sesuatu yang lebih besar, lebih gila, dan lebih berani satu level dari apa yang telah kamu anggap sebagai “momen gila” sebelumnya. Gairah tersebut ternyata masih kental di film terbarunya ini, menggunakan sebuah serangan sebagai kerangka untuk kembali bersenang-senang dengan “kekacauan” andalannya. 13 Hours: The Secret Soldiers of Benghazi adalah ketika Michael Bay kembali “mencoba” untuk bercerita, film terbaiknya sejak Transformers.

Review: All Roads Lead to Rome (2016)


"A woman takes what she wants when she wants it."

Sama seperti belajar tidak ada kata terlambat pula untuk cinta, tidak ada kata terlambat untuk mencintai dan dicintai. Tidak peduli seberapa sering cinta telah menyakiti kamu, tidak peduli pula di usia berapa cinta yang sesungguhnya datang menghampirimu, jika kamu yakin bahwa he or she merupakan the one maka hal yang harus kamu lakukan adalah kejar dan dapatkan. All Roads Lead to Rome berniat menggambarkan hal tersebut, bagaimana cinta yang hilang kini kembali lewat masalah yang juga berawal dari cinta. Sayangnya romance comedy ini menyelesaikan masalah dengan masalah.

Review: The Program [2015]


"Attack without mercy, keep your head down and don't look back."

Dari kesuksesan mengalahkan kanker ganas hingga menjadi juara dunia balap sepeda dengan pencapaian tujuh gelar bergengsi Tour de France secara berturut-turut, sulit untuk tidak mengagumi sosok bernama Lance Armstrong, ikon besar di dunia balap sepeda yang sama seperti Michael Phelps di olahraga renang prestasi yang ia capai begitu mudah meninggalkan impresi “too good to be true” bagi penonton dan mulai mempertanyakan bakat miliknya. The Program mencoba menggambarkan sosok yang berhasil mengubah rasa kagum menjadi shock besar di tahun 2012 yang lalu ini, saint to sinner, sebuah "kecurangan" besar dalam sejarah olahraga.

Review: The Finest Hours (2016)


"We all live or we all die."

Apakah kamu ingin menciptakan sebuah disaster drama? Caranya gampang, masukkan karakter kedalam masalah, berikan mereka tantangan di dalam masalah, up and down sembari tetap ciptakan impresi bahwa ada celah kecil yang harus mereka ubah menjadi besar untuk dapat selamat. Terkesan gampang memang dan faktanya memang gampang jika kamu hanya sebatas ingin menciptakan produk yang formulaic, sebuah produk yang tidak ingin mencoba menjadi sebuah disaster drama yang berbeda dari film-film lain yang telah mencoba melakukan hal serupa. The Finest Hours seperti itu, ia bahagia menjadi kemasan yang biasa.

Review: The Priests [2015]


Menemukan film misteri dan horror yang mampu membuat penontonnya kaget atau terkejut itu sangat mudah, yang tidak mudah adalah menemukan yang tidak cuma sekedar mampu mencengkeram penonton namun juga menyuntikkan rasa realisme sehingga perlahan berhasil membuat penonton merasa yakin bahwa ada hantu atau setan di dalam cerita. Film supernatural thriller asal Korea ini berhasil melakukan hal tersebut, The Priest (Geomeun Sajedeul), sebuah treatment yang manis dan efektif terhadap isu dan genre dengan menggunakan aksi pengusiran setan sebagai senjata utamanya.

Review: Dirty Grandpa (2016)


"Party 'till you're pregnant!"

Jika para aktor dan aktris yang telah berlaga di berbagai penghargaan film, bahkan mereka yang telah berhasil memenangkan posisi tertinggi diberikan pertanyaan apa yang mereka cari dari pekerjaan sebagai aktor dan aktris, maka akan lebih mudah menemukan mereka yang menjawab uang sebagai pilihan utama. Jennifer Lawrence telah menggenggam Oscars namun meraih uang dengan di The Hunger Games serta X-Men, bahkan Leonardo DiCaprio yang mungkin soon-to-be Oscars winner mengatakan “I don’t rule out anything” untuk role di film superhero. Strategi dalam memilih film merupakan sesuatu yang sangat krusial, sayangnya Robert DeNiro kurang tepat dalam mengatur strategi dan memilih tampil di film ini, an autopilot disaster.