Jika kamu tanya Google berapa banyak film Tarzan yang telah diproduksi maka kamu
akan menemukan jumlah yang terhitung besar, dari fitur layar lebar, film animasi,
hingga parodi. Pertanyaannya bukan apakah penting atau tidak untuk memproduksi
kembali film pahlawan hutan yang dibesarkan oleh para kera yang sudah dilakukan
berulang kali namun apakah produk yang dihasilkan tersebut mampu memberikan
penonton pengalaman berpetualang bersama Tarzan yang terasa menyenangkan. Ya,
sesederhana itu. The Legend of Tarzan,
the most recent edition of the apeman adventure with hazy and gloomy swing.
First Half of 2016: Top Films
Waktu
berhembus begitu kencang, bulan berganti bulan, kini tahun 2016 sudah melakukan
setengah perjalanan. So, bagaimana dengan pengalaman menonton anda di paruh
pertama tahun ini? Melangkah menuju bioskop dengan gembira dan hati senang sama
seperti tahun-tahun sebelumnya terdapat perbedaan yang cukup tipis antara yang
berakhir dengan dan tidak dengan senyuman di wajah ketika kami pulang. Film
dengan kualitas kurang memuaskan hingga film yang sukses tampil menjengkelkan,
mereka eksis di babak pertama tahun 2016. Namun yang membuat paruh pertama yang
telah berlalu terasa indah kami juga bertemu dengan film-film berkualitas
memuaskan hingga sangat memuaskan. Berikut film-film terbaik di paruh pertama
tahun 2016 pilihan rorypnm.
Review: The Lobster (2015)
"How much do you love her, on a scale of 1 to 15?"
Tentu saja kamu akan
menemukan berbagai jawaban yang beragam ketika menanyakan apa arti dari cinta
pada setiap orang yang kamu temui. Hal tersebut lahir dari konsep terhadap
cinta yang tidak sama pada setiap manusia, ada mereka yang percaya menikah itu
karena sudah saling mencintai, ada mereka yang percaya saling mencintai itu
karena sudah menikah, dan lain sebagainya. Konsep tentang cinta itu yang coba
digambarkan oleh The Lobster dengan
menggunakan sebuah visi yang aneh bahkan mungkin gila: bagaimana jika suatu
saat nanti orang dewasa diwajibkan tidak melajang, harus menemukan pasangan
mereka dalam kurun waktu 45 hari, bagi mereka yang gagal dan masih melajang
akan berubah menjadi binatang. Sounds
crazy? Yeah, it’s a crazy play about life and love.
Review: Finding Dory [2016]
"I have to find my family."
Semenjak kemunculan fitur pertama mereka ‘Toy Story’ pada tahun 1995 Pixar Animation Studios perlahan namun pasti tumbuh besar dan kini menjadi one-to-beat di genre animasi. Karya Pixar mayoritas selalu sukses menciptakan impresi yang sangat kuat di standar yang tinggi dan itu memberi tugas yang berat bagi “penerus” atau sekuel di mana sejauh ini tidak semua dari mereka berhasil tampil di level pendahulunya. Banyak kalimat positif yang dapat digunakan untuk menggambarkannya dan jika disimpulkan pada satu kalimat sederhana: Finding Nemo merupakan salah satu film animasi anak-anak yang paling dicintai sepanjang masa. Apakah penerusnya ini berada di level yang sama tingginya? Finding Dory is another good animation from Pixar.
Review: The Neon Demon (2016)
Setelah berhasil meraih
atensi penonton luas lewat sebuah kemarahan yang dikemas ramping, Drive, lalu kemudian memperoleh track
sedikit menurun lewat Only God Forgives,
sutradara Nicolas Winding Refn
kembali mencoba bermain nakal dengan sinematik ekstrim di fitur terbarunya ini,
The Neon Demon. Ini seperti usaha
yang "lebih gila" dan sedikit lebih besar, mencoba menampilkan
berbagai ide lewat obsesi seksual dan dunia modelling
dalam sebuah psychological horror yang abstrak. Apakah ini
melanjutkan baton dari Drive, atau baton dari Only God Forgives? Sadistic
"pleasure" under the guise of art, The Neon Demon is an underbaked,
flimsy, but glossy nonsense. It's like "confused Malick" have fun at discotheque.
Review: Swiss Army Man (2016)
Ketika premier di 2016 Sundance Film Festival ‘Swiss Army Man’ berhasil menjadi salah
satu film yang mencuri perhatian karena cerita yang ia bawa mengandalkan salah
satu hal yang lekat dengan stigma
negatif di banyak budaya, yaitu kentut. Tidak hanya itu, karena kentut tadi
tidak hadir dari manusia melainkan dari mayat hidup, farting corpse yang menjadi multipurporse tool. Tidak heran respon
yang ia peroleh mixed karena dengan
mencoba menggabungkan fantasi gila ala Michel
Gondry yang bergerak seperti sebuah petualangan abstrak dengan gaya Stephen Chow ini tipe “not for everyone” movie, hit or miss. Swiss Army Man bukan film terbaik di
tahun 2016, but this wild, weird, and
wacky fantasy adventure is one to be remembered movie this year. I can hear Lord Voldemort laughing out loud.
Review: The Shallows (2016)
"I’m not dying here."
Semenjak Jaws berhasil mengguncang moviegoers
dengan menjadi summer blockbuster
skala besar lebih dari empat dekade yang lalu banyak bermunculan killer shark
movies yang mencoba melakukan apa yang Jaws
lakukan, dari yang serius hingga yang tampil konyol. Mencoba mengawinkan “Jaws” dengan “Cast Away” dan dibintangi oleh wanita cantik dari “Gossip Girl,” The Shallows mencoba
peruntungannya dengan menggunakan ikan hiu sebagai karakter antagonis. Namun
dibalik “kesederhanaan” yang ia tampilkan The
Shallows berhasil menjadi killer
shark movies dengan kualitas di atas film-film yang
"berpura-pura" menjadi Jaws itu.
It’s a shallow but good survival horror
thriller. Viva Steven Seagull.
Review: The Secret Life of Pets [2016]
Ini mungkin akan
terasa aneh tapi jika kamu memiliki hewan peliharaan pernahkan terlintas di
pikiranmu apa yang mereka lakukan ketika kamu meninggalkannya untuk pergi bekerja.
Jika ia seekor anjing apakah ketika tidak ada manusia di sekitarnya ia akan
berbicara bahasa hewan dengan kucing tetangga atau tikus yang bersembunyi di
bawah tempat tidurmu? Apakah ia hanya duduk di ruang tamu menunggu kamu pulang
atau justru bergembira dengan dengan musik rock, menonton televisi, hingga memeriksa isi kulkas?
Konsep tersebut digunakan oleh The Secret
Life of Pets, karya studio animasi yang telah menghadirkan Despicable Me, The Lorax, dan Minions, sebuah animasi keluarga yang
mencoba mengangkat ide kehidupan rahasia dari hewan peliharaan dengan rasa Looney Tunes. It’s cute but charmless
animation.
Review: Popstar: Never Stop Never Stopping (2016)
“Sometimes you’re up,
sometimes you’re down.”
Saya tidak tahu
bagaimana kehidupan seorang bintang besar lengkap dengan power dan tekanan yang
mereka punya namun berdasarkan berbagai berita yang beredar sangat mudah untuk
memahami bahwa kehidupan seorang superstar tidak selamanya indah. Kehidupan seperti
roda yang berputar dan usaha mempertahankan sesuatu lebih sulit jika
dibandingkan dengan usaha ketika kamu hendak meraihnya. Dibantu oleh Judd Apatow hal tersebut coba
ditampilkan oleh The Lonely Island di
Popstar: Never Stop Never Stopping,
sebuah mockumentary comedy dengan
nafas musical dan parodi, sebuah satir terhadap budaya modern yang tampil
dengan energi menular. Breaking News from
CMZ: Taylor Swift was arrested for murder. Beware, Bieber.
Review: Genius (2016)
"We really making books better, or just making them different."
Sebagai seorang penulis
pemula di blog ini (and not superbly good
on “playing” with bahasa) saya merasakan banyak manfaat ketika tulisan saya
(yang saya inginkan) menjalani proses editing terlebih dahulu sebelum
dipublikasikan. Awalnya memang terasa kurang rela ketika tulisan saya di “modifikasi”
sedemikian rupa meskipun skalanya sangat kecil, namun ternyata dampaknya sangat
besar, tulisan saya menjadi lebih padat dengan ide dan point yang ingin disampaikan tetap eksis pula. Hubungan antara
penulis dan editor itu yang coba diceritakan oleh film ini lengkap dengan
berbagai gesekan di dalamnya, Genius, a
good enough biographical drama even though did not live up its title.
Movie Review: Independence Day: Resurgence [2016]
“We’re gonna kick some
serious alien ass.”
Begitu mudah untuk
memasukkan Independence Day ke dalam
list disaster film favorit, sebuah sci-fi yang tidak hanya sekedar mampu
menjadi sajian yang cukup intens dan fun dibalik kekurangan yang ia miliki saja
tapi berhasil menjadi one to be
remembered kinda movie. Sudah 20 tahun tertidur dengan lelap kini kita coba
dibawa kembali bertemu dengan “bencana” yang serupa namun tidak sama, babak
kedua yang kembali mencoba mempertemukan manusia dan alien dalam sebuah
pertarungan penuh kehancuran skala besar. Siapa yang akan menjadi pemenang
bukan pertanyaan paling menarik dari film ini namun apakah ia mampu menyamai
atau bahkan menjadi kemasan action sci-fi
yang lebih baik dari pendahulunya? A
dreadful waffle, Independence Day: Resurgence is a war without a wow.
Review: Maggie’s Plan (2016)
Siapa yang tidak
bahagia ketika rencana yang telah ia susun dan lakukan berhasil memberinya
kehidupan di zona yang aman dan nyaman. Mayoritas dari penduduk bumi pasti
memimpikan hal tersebut untuk terjadi pada mereka, namun pasti ada pula yang
lebih mencintai tantangan dalam kehidupannya, satu rencana tercapai lalu ia
merasa bosan maka ia mulai menyusun rencana baru. Tapi setiap rencana punya
“cara” untuk memberimu kejutan yang tidak semuanya dapat kamu kendalikan.
Menggunakan usaha mencari kebahagiaan Maggie's
Plan coba menggambarkan hal tadi, sebuah romance comedy yang lucu dan
manis.
Movie Review: The Handmaiden [2016]
Menjadi bagian dari Festival Film Cannes 2016, The Handmaiden (Agassi) dikabarkan sukses mencuri
perhatian dengan adegan seks yang "berani" dan itu menarik mengingat
film ini berasal dari Korea Selatan, negara yang masih tertutup pada LGBT. Dipenuhi dengan kerumitan dan
keintiman bersama sexual tension yang menarik, The Handmaiden ternyata merupakan sebuah media yang digunakan oleh Park Chan-wook untuk bercerita tentang
isu hierarki gender dan kebebasan bersama berbagai ledakan keinginan dan nafsu
di dalamnya. It's a
tantalizes erotic drama.
TV Series Review: Another Oh Hae-Young - Part 3
Frenemy di antara dua
wanita dengan nama yang sama kembali muncul ketika mereka bertemu lagi setelah
lulus dari high school. Dilema di antara mereka kini berasal dari seorang pria
dengan short-term indera keenam yang memiliki keterkaitan terhadap masa lalu
kelam yang mereka berdua alami. Dua wanita tersebut menjadi bagian dari
“vision” yang selalu muncul di dalam pikiran si pria, satu di masa lalu dan
satu lagi pada apa yang akan terjadi di masa depan.
Review: The Conjuring 2 [2016]
Harapan dari semua penikmat film dari sebuah sekuel mayoritas sama, kita ingin sebuah kelanjutan yang lebih ambisius dari pendahulunya dan tentu saja menawarkan sesuatu yang lebih segar di dalamnya. Dua musim panas telah berlalu dan kali ini pria yang on-the-right-way to be master of modern horror, James Wan, mencoba untuk kembali “menghangatkan” summertime kita dengan jeritan dan paranoia. Ini tidak lebih ambisius dari The Conjuring, namun dengan cermat dalam menerapkan aturan dasar genre horror The Conjuring 2 berhasil memberikan pengalaman “mulanya biasa saja, akhirnya datang juga” seperti “haunted house" di taman bermain. Its good plays with your fears.
Review: Central Intelligence (2016)
“We're like a power
couple dude, like Taylor Swift and whoever she is date right now.”
Film seperti Central Intelligence ini rumit namun
mudah untuk dinilai, ia tidak jelas berada di kelas apa dan jualan utamanya
juga terkadang campur aduk, banyak pula yang ingin tampil ringan tapi mencoba
memasukkan misteri yang tidak ditangani dengan baik. Karena formula sama yang
sudah sering digunakan itu sangat mudah menemukan film dengan tipe seperti ini
yang jatuh menjadi sajian menjengkelkan. Menariknya di tangan sutradara Dodgeball dan We're the Millers formula tadi tampil sebagai action komedi tidak
terasa menjengkelkan. It’s a stupid but
pretty fun action comedy with not enough hart, and quite enough johnson.
Review: Me Before You (2016)
"I can make you happy."
Loving
can hurt, loving can hurt sometimes. But, loving can heal, loving can mend your
soul. Bukankah dengan begitu cinta tampak seperti sesuatu
yang licik dan manipulatif? Itu alasan mengapa “cinta” terasa menyenangkan, it can make you smile, it can make you cry,
that's the thrill we love from love. Kekuatan yang dimiliki oleh cinta itu
coba ditampilkan oleh film ini, Me Before
You, sebuah drama romance dengan
formula klasik dan klise yang mencoba memberikan sebuah manipulasi emosi
standar namun tepat sasaran. It’s cute
and charming.
Fresh Fifteen: May
15. OneRepublic - Wherever I Go
Untuk klik dengan perpaduan pop-rock bersama indie-pop-electronic ini tidak semudah dibandingkan dengan single-single OneRepublic sebelumnya, but the hook so tasty dan rasa segar tidak luntur ketika mendengarkannya berulang kali. Dengan builds up yang seolah meminjam sedikit nafas EDM dalam kuantitas yang tepat OneRepublic berhasil menghadirkan something “fresh” meskipun tetap menggunakan formula andalan mereka.
Movie Review: The Wailing [2016]
Coba cermati pertanyaan
berikut ini, mana yang jauh lebih menakutkan dan berbahaya apakah ketika kamu
melihat hantu atau ketika hantu yang tidak terlihat olehmu sedang melihat kamu?
Saya ulangi, mana yang lebih menakutkan dan berbahaya, kamu melihat hantu dan
akhirnya tahu “mereka” ada di sana, atau kamu tidak melihat hantu tapi kamu
merasa ragu bahwa di sana “mereka” sedang mengamati kamu? Hal tersebut
merupakan dasar dari kombinasi drama, misteri, thriller, dan horror asal Korea
Selatan ini, The Wailing (Goksung),
dari kisah kasih sayang seorang ayah hingga keterlibatan mayat hidup yang
mengguncang kedamaian sebuah desa. Delicious cake for mystery, thriller, and horror fan. Top notch.
Review: Now You See Me 2 (2016)
“The greatest magic
trick ever created.”
Anggapan bahwa sebuah
sajian yang thrilling harus memiliki "kehebohan" dalam presentasi
yang bergerak cepat tidak sepenuhnya salah, namun tanpa “konteks” yang menarik
di dalamnya tidak peduli seberapa heboh dan cepat gerak yang ia hasilkan sajian
tersebut akan begitu mudah pula untuk terasa kosong. Mereka yang telah
menyaksikan Now You See Me tentu akan
paham atau mengerti bahwa Now You See Me
2 in the end punya potensi akan kembali berakhir sebagai sebuah rencana “cheat” atau manipulasi dengan
menggunakan magic yang mencoba tampak luar biasa. Hal tersebut memang kembali
terjadi di sini, namun kali ini in a bad
way. Now You See Me 2 adalah another bullshit yang lebih “heboh” dan arogan.
Review: Alice Through the Looking Glass (2016)
"I will help my friends, no matter what."
Di tahun 2010 Tim Burton menciptakan versinya dari
kisah klasik karya Lewis Carroll yang
telah berulang kali diadaptasi ke dalam bentuk hiburan visual, Alice in Wonderland, sebuah petualangan
fantasi dengan presentasi visual dan kostum yang begitu memikat meskipun terasa
"biasa" di bagian cerita. Menghasilkan lebih dari $1 Milyar yang
sempat membawanya menempati peringkat kelima highest-grossing film of all time kehadiran sekuel bukan merupakan
sebuah kejutan. Pertanyaannya kembali sama, apakah ini mampu mengulangi
kesuksesan sembari memperbaiki minus yang dihasilkan oleh film pertamanya? Visually enchanting, Alice Through the
Looking Glass is a needless sequel, a tasteless candy.
Movie Review: The Conjuring 2 [2016]
“This one still haunts me.”
Tiga tahun lalu James Wan berhasil menciptakan salah
satu film horror yang memiliki kualitas pengarahan serta teknik bercerita lewat
narasi dan visual yang terasa cantik, tidak hanya sebagai satuan elemen namun ketika
bergabung menjadi sebuah kemasan mereka terasa padat dan menyeramkan. The Conjuring, mencetak kesuksesan di box office sehingga kehadiran sekuel
tentu menjadi hal yang lumrah, namun pertanyaannya adalah apakah penerusnya ini
mampu membawa penonton ke level yang lebih tinggi atau setidaknya mampu memberikan
sebuah petualangan supernatural yang sama menyeramkan seperti yang dilakukan
pendahulunya? The Conjuring 2, a haunting
but ain't terrific supernatural horror.
Movie Review: Equals [2016]
Dunia ini semakin
kejam, segala perkembangan teknologi tidak hanya membantu kemampuan setiap
manusia untuk berkembang tapi juga membuat sikap “manusiawi” kita semakin
berkurang. Manusia berjiwa sosial semakin sulit ditemukan, sikap individualisme
semakin populer. Apakah peradaban manusia perlahan akan berubah menjadi
layaknya robot dengan segala program yang ditanamkan padanya? Bagaimana jika di
masa depan untuk menciptakan dunia yang damai seluruh manusia dipaksa hidup
dengan jiwa individualis di mana emosi dan rasa cinta dianggap sebagai sebuah
penyakit? Itu isi film ini, ketika “zombie” ingin tetap menjadi manusia, Equals is a dystopian version of Romeo &
Juliet when the only crime is, love.
Review: Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows [2016]
"Keep the team unified and you shall always succeed."
Penggunaan CGI dalam
film blockbuster perlahan mulai sama
seperti basic melody dan tipikal builds up yang digunakan di Electonic Music Dance, all sounds the
same, all feels the same. Pemain di industri harus semakin cermat dalam
menggunakan CGI, mereka harus
menciptakan sebuah gebrakan yang luar biasa dari segi kualitas jika murni ingin
“menjual” CGI, atau melakukan cara sederhana dengan menciptakan kombinasi
antara CGI dan cerita yang saling melengkapi satu sama lain. Dua hal tersebut
kurang berhasil dilakukan dengan baik oleh film ini, Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows, another forgettable
boom-boom-bang-bang project from the producer of Transformers.
Review: Money Monster (2016)
Di fitur layar lebar
ketika tampil sebagai seorang aktris di depan kamera Jodie Foster merupakan salah satu ahli dalam hal berbicara kepada
penonton melalui karakternya, namun ketika ia mencoba duduk di depan layar
monitor sebagai sutradara fitur yang ia hasilkan biasa-biasa saja. Home for the Holidays, The Beaver,
mereka tidak buruk namun sulit pula untuk dikatakan sebagai kemasan yang
benar-benar kuat. Mampir sejenak ke layar televisi dengan menyutradarai Orange Is the New Black serta House of Cards kini Jodie Foster kembali mencoba untuk berbicara sebagai sutradara
lewat Money Monster, berkisah tentang
praktek bisnis di Wall Street yang ternyata bukan merupakan kemasan drama thriller kelas monster.
Movie Review: Warcraft [2016]
"Our hope is destroyed, there is nothing to go back to. Is war the only answer?"
Apakah kamu tahu salah
satu hal paling berbahaya di dunia ini? Merasa sepi di tengah keramaian. Hal tersebut
yang berhasil diberikan oleh film ini, Warcraft:
The Beginning, film adaptasi dari video game online populer. Film yang
mengambil dasar dari video game punya sejarah yang kurang manis namun hype cukup tinggi diperoleh Warcraft
dengan harapan untuk akhirnya mampu mematahkan apa yang mereka sebut sebagai
“kutukan” bagi film yang diadaptasi dari video game. Hasilnya? Kutukan itu
masih berlanjut. Warcraft: The Beginning
adalah sebuah perang yang ompong.
TV Series Review: Another Oh Hae-Young - Part 2
Frenemy di antara dua wanita dengan nama yang sama kembali muncul ketika mereka bertemu lagi setelah lulus dari high school. Dilema di antara mereka kini berasal dari seorang pria dengan short-term indera keenam yang memiliki keterkaitan terhadap masa lalu kelam yang mereka berdua alami. Dua wanita tersebut menjadi bagian dari “vision” yang selalu muncul di dalam pikiran si pria, satu di masa lalu dan satu lagi pada apa yang akan terjadi di masa depan.
TV Series Review: Another Oh Hae-Young - Part 1
Frenemy di antara dua
wanita dengan nama yang sama kembali muncul ketika mereka bertemu lagi setelah
lulus dari high school. Dilema di antara mereka kini berasal dari seorang pria
dengan short-term indera keenam yang memiliki keterkaitan terhadap masa lalu
kelam yang mereka berdua alami. Dua wanita tersebut menjadi bagian dari
“vision” yang selalu muncul di dalam pikiran si pria, satu di masa lalu dan
satu lagi pada apa yang akan terjadi di masa depan.