07 October 2014

Movie Review: Annabelle (2014)


"I like your dolls."

Apakah anda sebelumnya memang tahu bahwa akan ada film dengan judul Annabelle yang rilis di bioskop? Atau justru anda tahu ketika sedang membeli tiket dan melihat poster bergambarkan boneka yang bisa dibilang menjadi salah satu andalan sutradara bernama James Wan? Aneh memang, meskipun menyandang status sebagai saudara, spin-off, ataupun prekuel dari The Conjuring, namun hype yang film ini hasilkan tidak begitu besar. Upaya setengah hati? Atau hanya memanfaatkan daya jual sang boneka yang memang masih besar itu? Annabelle, an undynamic horror with useless main weapon.

John Gordon (Ward Horton) dan istrinya, Mia Gordon (Annabelle Wallis) mungkin bisa dikatakan sebagai pasangan yang aneh jika tidak ingin disebut unik. Mia meminta sebuah boneka antik yang telah lama ia inginkan sebagai hadiah menjelang kelahiran anak perempuan mereka, Leah, dan John dengan senang hati memenuhi permintaan istrinya tersebut. Masalahnya adalah boneka tersebut bukannya patung plastik berukuran kecil dengan tampang menarik yang manis dan cantik layaknya Barbie dan putri-putri di kartun Disney, melainkan sebuah boneka dengan ekspresi yang mengerikan.

Berawal dari ekspresi, boneka bernama Annabelle itu mulai membawa hal-hal mengerikan bagi keluarga Gordon. Sebuah peristiwa terkait tetangga mereka yang merupakan pemuja setan menjadi penyebabnya, dimana ada sesuatu yang tetangga mereka itu tinggalkan didalam Annabelle, sebuah kutukan. John memang telah membuang Annabelle ke tong sampah atas permintaan Mia, namun ketika mereka telah berada di apartement baru Mia dan John harus kembali bertemu dengan Annabelle, karena ternyata boneka dengan senyuman dan mata yang creepy itu belum mendapatkan apa yang inginkan dari Mia dan John. 


Saya sepakat dengan mereka yang mengatakan bahwa horor merupakan salah satu genre yang penuh intrik ketika ia dibangun. Sulit untuk menemukan sesuatu yang murni baru dari genre ini, cerita yang familiar dari rumah hantu hingga kerasukan setan, momen-momen mengejutkan yang diawali dengan ketenangan, bunyi-bunyi serta sosok-sosok aneh yang seolah malu-malu untuk menunjukkan wujudnya, mereka terasa sempit, dan pada dasarnya para filmmaker di genre horor mayoritas melakukan daur ulang dengan sedikit modifikasi kecil yang bahkan terasa implisit pada karya terbaru mereka, serta memanfaatkan formula klasik yang masih menjadi kegemaran penontonnya. Ya, kegemaran, penonton datang, takut-takuti mereka dengan menggunakan elemen-elemen tadi, mereka takut, filmmaker berhasil.

Hal tersebut yang menjadi masalah dari Annabelle, bukan hanya skala kecil tapi dalam kuantitas yang besar dan merusak. Semuanya ada, dari suasana tenang yang creepy, istri yang lemah, pengusiran setan, hingga aksi bermain hide and seek, tapi ketimbang duduk nyaman dan merasa terombang-ambing bersama cerita dengan terus memasang mode waspada, waktu justru sering saya habiskan untuk mencoba merasa terlibat didalam cerita. Apakah hal tersebut penting? Ya, itu sebuah trik ketika anda mendapatkan film horor yang sudah sangat lemah dari segi cerita. Bukan mengatakan ia harus tidak klasik dan basi, tapi cara John R. Leonetti menggunakan kisah yang ditulis oleh Gary Dauberman untuk menarik masuk penonton kedalam cerita tidak halus, anda tahu ada boneka mengerikan, anda tahu ia akan menghantui karakter manusia, dan anda tahu bencana akan tiba di akhir cerita, cukup sampai disitu.


Yap, tentu saja kita akan dengan mudahnya memasang ekspektasi pada boneka tersebut, yang juga menjadi alasan lahirnya rasa kecewa ketika pada akhirnya kita tahu bahwa ia tidak lebih seperti tempelan tanpa guna dan tanpa makna. Annabelle adalah alasan utama penonton datang ke teater, Annabelle adalah senjata utama, tapi disini ia hanya duduk manis tanpa pernah menebar sensasi yang mumpuni, menyibukkan kita dengan berbagai hal-hal aneh yang terjadi pada karakter lain, bahkan hanya sebatas menebak dan menanti apakah ia akan mengedipkan matanya. Ini yang terasa sangat mengecewakan, karena ketika tahu cerita tidak lebih dari mix-up dari berbagai materi klasik film horor, kemudian gagal terjebak didalam atmosfir cerita, harapan terakhir terletak pada Annabelle itu sendiri yang sayangnya juga tidak mampu memberikan terror yang menarik.

Tidak mengharapkan ia bergerak untuk kemudian membunuh layaknya Chucky, ini bahkan lebih terasa seperti permainan psikologis, tapi mengapa menciptakan sebuah film khusus bagi karakter yang mereka harapkan dapat menjadi ikonik tapi tidak menaruh upaya menjadikan karakter itu tampak menarik sebagai prioritas utama? Dramatisasi yang terlalu over, kejutan-kejutan yang terlalu murahan dan tidak efektif, closeup berantakan, sensasi yang miskin, ini adalah kemasan yang dipaksakan eksistensinya, lebih sebagai ajang uji coba sembari memanfaatkan kesuksesan The Conjuring tahun lalu, copy paste sana-sini dengan sedikit modifikasi, kemudian taruh sebuah boneka sebagai fokus utama yang akan mengalihkan atensi penonton dari betapa kasar dan tidak menariknya alur cerita yang ia sajikan.


Apakah Annabelle tidak punya hal positif? Sepuluh menit pertama ia menarik, dan sebuah scene dengan menggunakan elevator itu harus diakui berhasil memberikan paranoia baru yang kuat, selebihnya adalah petualangan ibarat sebuah mobil yang bermasalah di sistem pembakaran, terkadang ia berjalan, berhenti, berjalan lagi, dan berhenti lagi, terasa kasar dan tidak mengalir untuk memanfaatkan permainan suasana yang ia punya, tidak mampu menggenggam kuat atensi penonton dan menjauhkan mereka dari rasa monoton, dan celakanya itu hadir dalam penceritaan yang seperti mencoba untuk terbakar secara perlahan. Hal positif lainnya mungkin penampilan cukup mumpuni dari Annabelle Wallis, yang memang faktanya tidak punya saingan yang mumpuni dalam mendominasi cerita setelah Annabelle yang menjadi senjata utama ditempatkan sebagai rest area bagi penonton setelah disibukkan dengan berbagai masalah yang menimpa Mia.


Overall, Annabelle adalah film yang tidak memuaskan. Bukan sesuatu yang salah mencoba memanfaatkan kesempatan yang tersedia setelah The Conjuring yang sukses itu, tapi bukan berarti itu hanya sebatas melemparkan sebuah boneka dengan tampang menakutkan untuk menghibur penontonnya bersama berbagai elemen klasik yang dibentuk tidak dinamis dan terasa setengah hati sehingga tidak memberikan sensasi yang menarik akibat eksekusi yang terasa sangat kasar itu. Jangan heran ketika telah merasa bosan selama satu jam lebih anda mungkin akan merasa tertipu setelah tahu Annabelle ternyata adalah boneka yang berperan sebagai “boneka” pemanis dalam cerita. Before The Conjuring might be a better title.






0 komentar :

Post a Comment