13 December 2014

Movie Review: Why Don't You Play in Hell? (2013)


"Movie God, if I can make a hell of a movie, I don't mind dying now."

Ia bisa membuat anda menangis sedih, ia bisa membuat anda tertawa bahagia, ia bisa membuat anda menutup mata, ia juga dapat menjadikan anda bertepuk tangan bahagia. Banyak hal yang dapat diberikan oleh sebuah film kepada penontonnya, baik itu dengan mengandalkan narasi yang kuat dan rapi, atau justru menggunakan style lewat sebuah permainan visual, tapi ada satu hal yang paling penting yang wajib diberikan oleh sebuah film kepada penontonnya, sebuah pengalaman dengan sensasi yang memuaskan dan menyenangkan. Need a fun time? Let’s play with this hell. Why Don't You Play in Hell?, a holy-shit loveletter to filmmaking from Sion Sono. (Warning: review contains strong language and image).

Saat mereka masih muda dulu Hirata (Hiroki Hasegawa) bersama dua temannya yang bertugas sebagai cameramen, serta seorang pria dengan baju kuning yang mereka sebut Bruce Lee dari Jepang, bersama-sama mendirikan sebuah klub film bernama The Fuck Bombers, klub kecil yang celakanya punya mimpi sangat besar. Mereka bahkan meminta kepada sosok yang mereka sebut Movie God sebuah kesempatan untuk menciptakan satu film yang luar biasa, dan setelah itu tercapai mereka bahkan bersedia jika harus mati. Ternyata keinginan itu datang dengan cara yang sangat aneh, melalui pria bernama Koji Hashimoto (Gen Hoshino). 

Koji terjebak dalam sebuah perangkap yang melibatkan Michiko (Fumi Nikaido), wanita yang dahulu punya iklan pasta gigi dengan jingle mengasyikkan yang sangat mudah untuk di ikuti. Ia meminta bantuan Hirata untuk memenuhi perintah dari ayah Michiko, Muto (Jun Kunimura), yang ingin mewujudkan mimpi sang istri, Shizue (Tomochika), pada sebuah film dimana anak mereka menjadi bintang utamanya. Celakanya Hirata punya ide yang gila, ia ingin melibatkan musuh Muto didalamnya, Ikegami (Shinichi Tsutsumi) bersama pasukannya yang telah memilih bergaya ala samurai. Masalah terbesarnya adalah Muto dan Ikegami bukan sekedar musuh biasa, mereka pemimpin dua klan Yakuza yang sangat ditakuti.


Anda pasti pernah mengalami situasi seperti ini, kondisi dimana anda sedang asyik mengamati sebuah film menjabarkan cerita yang ia miliki namun perlahan presentasi yang ia tampilkan justru menjadikan anda merasakan apa yang ia berikan tidak lagi tampak menarik. Banyak film menderita karena hal tersebut bahkan pada mereka yang pada dasarnya hanya membawa sesuatu yang sangat sederhana untuk disampaikan pada penontonnya, perjuangan untuk tidak hanya membangun tapi juga menjaga hal-hal yang berputar dalam cerita terus menerus mencengkeram atensi penontonnya. Lantas apa hubungannya hal tadi dengan film ini? Kesuksesan film ini menghadirkan sebuah hiburan yang menyenangkan berasal dari kemampuannya mengatasi kesulitan tadi,  ia punya sebuah pesan utama, ia punya banyak masalah yang terjadi dalam cerita, dan sejak awal hingga akhir terangkai dengan manis.

Ya, meskipun punya judul yang sangat jauh dari kesan lembut, kemudian hal-hal yang ia berikan juga tidak pernah jauh dari tumpahan darah hasil permainan pistol dan katana, karya dari sutradara kenamaan Jepang bernama Sion Sono ini sukses memberikan penonton sebuah movie experience yang terasa manis. Why Don't You Play in Hell? ibarat Love Exposure dengan durasi yang dipangkas setengah namun kadar kegembiraan dan kegilaan yang ia miliki tidak dikurangi oleh Sion Sono sehingga hasil yang tercipta jauh lebih menyesakkan, kumpulan kekerasan brutal yang tanpa malu-malu tampil dengan cita rasa kartun, dengan berani menggunakan style over-the-top yang terbukti tak pernah berhenti memberikan ledakan untuk menemani plot yang terus di jaga tampak penuh kegelisahan, menyajikan mereka dengan humor-humor yang keren, tapi disisi lain tidak pernah menghapus fokus kita pada inti utama yang ingin isa sampaikan.


Why Don't You Play in Hell? adalah film pintar yang memilih tampil dengan wajah yang bodoh. Kita punya sekelompok anak muda yang hanya bisa menunggu rejeki datang menghampiri mereka, kita punya seorang wanita gila yang perkasa yang memiliki hobby menindas para pria, dan yang lebih menghebohkan kita punya dua kelompok Yakuza, mereka kemudian dijahit dengan baik oleh Sion Sono kedalam sebuah alur yang bebas, bijak, dan lembut meskipun penuh kesan meta yang terasa absurd. Tidak ada pertanyaan disini sehingga kita tidak punya tugas untuk mencari jawaban, ini hanyalah sebuah puzzle yang dirangkai dengan santai namun ketika gambar akhir itu muncul tercipta sebuah hook yang kuat dari semua kekacauan yang baru saja kita saksikan, sebuah sentilan manis pada budaya industri perfilman serta semangat atau pengingat bagi pada filmmaker pada makna sesungguhnya dari pekerjaan membuat film yang mereka lakukan.

Bagian paling akhir mungkin menjadi kunci penting bagi film ini setelah membawa penontonnya keluar dari petualangan penuh aksi mondar-mandir dengan bumbu pertarungan yang tampil gila dan lucu secara bersamaan itu, apakah ini akan miss atau hit bagi mereka. Tidak akan heran jika ada penonton yang merasakan ini kurang bahkan tidak menghibur, atau mungkin akan ada yang menilai ini sebagai sebuah nonsense serta omong kosong ketika kejutan di akhir itu muncul, namun bagi mereka yang sejak awal telah klik dengan sistem mockudrama yang kemudian memutar-mutar obsesi dan ambisi dengan cekatan dan eksentrik itu, kata-kata seperti sialan, wth, wtf, hingga bajingan mungkin frekuensi kehadirannya akan besar. Ya, bagaimana tidak ketika api dan air dicampur bersama dengan bensin, ada kamera genggam 8mm, sepatu roda, sedikit drama terkait keluarga, teriakan disana-sini, kepanikan diselimuti aksi slapstick, hingga obedient Yakuza.


Tapi selain kepiawaian Sion Sono dalam merangkai kombinasi genre yang ia miliki itu kinerja yang diberikan oleh para aktor juga memiliki kontribusi yang terbilang tidak kecil. Banyak karakter disini namun anehnya masing-masing dari mereka berhasil tampak menarik. Ada tiga bagian besar, klub film, Michiko problem, dan gesekan dua Yakuza, dan tiga bagian itu tidak pernah terasa membosankan hingga akhir. Para aktor mampu menampilkan keunikan dari karakter mereka sehingga penonton mudah dalam menerima apa yang mereka berikan, dan dampaknya tidak hanya sampai disana karena alur provokatif diserta berbagai benturan yang cepat itu menjadi semakin mudah dan menarik untuk di ikuti. Aktor yang bersinar lebih terang tidak hanya satu namun lima, dari Shinichi Tsutsumi, Jun Kunimura, Hiroki Hasegawa, Gen Hoshino, hingga Fumi Nikaido yang terasa sangat kickass itu.



Overall, Why Don't You Play in Hell? adalah film yang memuaskan. Terakhir kali saya merasakan pengalaman seperti ini adalah ketika menyaksikan Holy Motors, petualangan yang “kacau”, random, tapi adiktif dan terus menarik, meskipun ia sedikit lebih unggul pada faktor misteri. Why Don't You Play in Hell? berhasil menyegarkan pengalaman dengan tipe tersebut, sajian drama, komedi, action, bahkan sedikit sentuhan romance yang tampil cepat, tepat, dan cekatan, penuh dengan kegilaan over-the-top, penuh darah, penuh tawa, tapi dengan visi yang kuat berhasil meninggalkan sebuah inspirasi terkait filmmaking dengan cara yang menyenangkan. Segmented.








0 komentar :

Post a Comment