11 January 2015

Review: Inherent Vice (2014)


"Chotto, Kenichiro, Dozo! Motto panukeiku. Motto panukeiku!!"

Inherent Vice ini secara keseluruhan kurang lebih seperti karakter Freddie Quell di film Paul Thomas Anderson dua tahun lalu, The Master, berjalan dengan kesan penuh kebingungan, ada misteri dengan karakter yang terus mencari, terasa liar dan juga aneh, tapi ketika ia selesai ada klimaks yang memikat yang ia tinggalkan buat penontonnya. Celakanya Inherent Vice melakukan hal tersebut dengan level yang setingkat diatas, rasa bingung kental, kesan aneh dan liar juga kental, dan celakanya ini seperti berjalan-jalan bersama seorang teman dalam kondisi mabuk, unik dan lucu.

Larry "Doc" Sportello (Joaquin Phoenix) suatu ketika dikunjungi oleh mantan kekasihnya, Shasta Fay Hepworth (Katherine Waterston) yang ingin meminta bantuan padanya. Shasta ingin agar Doc dapat menggagalkan rencana milik kekasihnya, Michael Wolfmann (Eric Roberts), namun jadi kacau karena apa yang Doc lakukan setelah itu tidak berjalan sesuai rencana, dari tak sadarkan diri hingga bertemu dengan banyak orang, dari detektif Bjornsen (Josh Brolin), hingga masuk kedalam kasus kedua tentang kematian suami Hope Harlingen (Jena Malone), hingga bertemu dengan musisi bernama Coy Harlingen (Owen Wilson), seorang infoman yang memiliki informasi terkait masalah Shasta dan Michael. Celakanya masalah tidak hanya datang dari mereka. 



Inherent Vice adalah sebuah film yang kasar namun menyenangkan. Kesan pertama ini seolah sebuah film detektif yang mencoba memecahkan masalah, dan memang dasar itu tidak begitu melenceng terlalu jauh tapi menariknya adalah ia berisikan kekaacuan yang sangat licik mempermainkan penontonnya. Paul Thomas Anderson seperti sengaja menjadikan agar narasi yang ia susun dari novel dengan judul yang sama karya Thomas Pynchon agar dapat membuat penonton terus menerus merasa bingung dengan apa yang terjadi tapi tidak berhenti terkejut seiring berjalannya durasi. Sebuah niat aneh yang ia tampilkan dengan cara yang juga tidak kalah anehnya, bersama gambar-gambar yang manis ikut menyaksikan karakter utama berjalan-jalan untuk kemudian bertemu dengan karakter baru serta masalah baru.



Kamu tidak perlu merasa aneh jika kamu merasakan kalau yang kamu saksikan terasa aneh, saya dan banyak penonton lainnya juga merasakan hal tersebut. Itu mengapa Inherent Vice sangat berpotensi jadi hiburan yang hit or miss, karena ada kesan misterius yang celakanya dihadirkan dengan kesan bermalas-malasan. Dari monolog, karakter mengoceh, karakter kemudian bertemu karakter lain, interaksi terbangun, kemudian mereka kembali mengoceh, berputar-putar untuk membuat semua tampak rumit dan sulit di mengerti. Tapi seperti yang saya sebut di awal tadi ini ibarat hangout dengan teman yang sedang mabuk, dan celakanya disini mereka mabuk kelas berat, banyak yang mereka katakan terkadang melantur dan terasa random bahkan tidak jarang kita mendapatkan slapstick yang mengundang tawa, dan semua seperti berada diantara dunia nyata atau hanya sekedar fantasi belaka.



Tapi apa yang pada akhirnya menjadikan Inherent Vice terasa menarik adalah karena dengan segala kekurangan terutama pada cerita tadi ia berhasil memberikan saya salah satu pengalaman menonton film yang menyenangkan. Yang saya sebutkan tadi hanya slapstick tapi jika kamu bertanya apakah ini lucu, ya ini berhasil tampil lucu meskipun memang komedi yang ia berikan terasa segmented, apalagi jika dengan ditemani lagu-lagu rock klasik itu sempat tersirat di pikiran kamu bahwa Paul Thomas Anderson ingin membawa kita menertawakan peran budaya yang bukan hanya terjadi di tahun 70-an seperti setting yang digunakan oleh film ini, tapi bahkan masih eksis sampai sekarang. Dan satu yang tak boleh terlupakan adalah Joaquin Phoenix, ia berhasil memanfaatkan keuntungan baik itu dari karakteristik dan ruang bermain yang tersedia untuk tampil memikat, mudah untuk menaruh atensi pada Doc sejak awal hingga akhir.



Inherent Vice adalah aksi tipu-tipu yang menyenangkan dari seorang Paul Thomas Anderson, ia seperti tampak menjanjikan sesuatu yang serius dan membuat penonton sejak awal sudah menaruh ekspektasi yang serius, yang celakanya juga akan menjadi sumber gelombang kekecewaan saat yang mereka dapatkan justru sebuah parade gerak lambat dengan irama yang kasar namun terus menerus menyuntikkan pesona di setiap bagian yang mereka tawarkan bersama narasi yang terus bergerak dalam arah yang tak terduga. Lucu. Segmented.






0 komentar :

Post a Comment