12 March 2015

Movie Review: Cinderella (2015)


“A dream is a wish your heart makes.”

Salah satu trend modern di industri perfilman yang sesungguhnya tidak pula dapat dikatakan sebagai sesuatu yang selalu pasti akan memberikan hasil positif adalah ketika sebuah film yang menggunakan materi “lama” wajib memberikan presentasi dengan sedikit sentuhan yang berbeda, dari upaya menunjukkan keberanian visi hingga menghasilkan sebuah “true refreshing”. Tapi disamping itu ada kisah tradisional dan klasik yang tidak perlu hal-hal semacam itu, tanpa perlu menawarkan sebuah sentuhan dan perubahan eksplisit yang berlebihan dan berpotensi mengganggu. Film ini punya keberanian untuk menjadi kemasan yang taat pada sumber aslinya namun tetap berhasil menampilkan kembali dongeng populer itu kedalam sebuah presentasi lembut dan kokoh yang modest, thoughtful, funny, playful, charming, and magical. Cinderella: beauty fairy story when Shakespeare meet Disney.

Setiap kali ayahnya (Ben Chaplin) pergi bekerja Ella (Eloise Webb) selalu melepasnya dengan rasa bahagia karena dengan begitu ada momen lain yang tidak kalah menarik bagi Ella untuk dinantikan, momen ketika ayahnya pulang bekerja yang kemudian akan mereka isi dengan bersenda gurau bersama hal sederhana seperti berlatih dansa misalnya. Suatu ketika kebahagiaan itu mendapat cobaan yang berasal dari ibu (Hayley Atwell) Ella yang meninggal dunia, tapi ternyata masalah bagi Ella tidak berhenti sampai disana karena ketika Ella (Lily James) telah dewasa sang ayah memutuskan untuk kembali menikah dan kali ini ia memilih seorang janda bernama Lady Tremaine (Cate Blanchett), wanita yang celakanya bukan merupakan sosok ibu yang “biasa”. 

Bersama dengan dua anak perempuannya, Anastasia (Holliday Grainger) dan Drizella (Sophie McShera), Lady Tremaine memperlakukan Ella tidak seperti anggota keluarga, dan itu semakin kacau ketika sebuah bencana menimpa ayah Ella. Namun meskipun perlahan mulai diposisikan sebagai seorang pembantu Ella selalu ingat pada pesan dari orangtuanya, “have courage, be kind”, pesan yang selalu ia pegang teguh hingga akhirnya sebuah keajaiban menghampiri Ella. The Fairy Godmother (Helena Bonham Carter), seorang peri baik hati datang menghampiri Ella ketika ia hendak menghadiri undangan pesta bagi rakyat kerajaan dari Prince Charming (Richard Madden), pangeran yang diminta untuk harus secepatnya segera menikah, pria yang telah jatuh hati pada Ella sejak pertemuan tak sengaja mereka di hutan belantara sebelumnya.


Sama seperti mayoritas penduduk di bumi kisah tentang putri baik hati yang selalu sabar meskipun ditindas namun suatu ketika kemudian di ubah kehidupannya oleh sebuah kekuatan magis ini merupakan bagian dari masa kecil saya, hal yang lantas menciptakan dua kondisi yang menariknya berhasil memberikan sebuah senyum penuh rasa puas sembari tepuk tangan ketika Cinderella melambaikan tangan dari atas balkon itu. Yang pertama adalah dengan kondisi telah hafal pada cerita yang ia miliki penonton akan memperoleh situasi dimana mereka seperti bergerak secara bertahap sembari di temani dengan rasa penasaran pada bagaimana presentasi yang diberikan oleh tahap selanjutnya, yang notabene sejak awal sinopsis sudah mereka ketahui. Yeah, itu pencapaian yang memikat, dan disini kondisi kedua karena kuantitas serta kualitas dimana anda akan terpesona dengan Cinderella secara keseluruhan dapat semakin besar jika sejak awal anda tidak mengharapkan sesuatu yang berbeda pada penggambaran yang ia berikan.

Jangan kira dengan materi yang sudah sangat familiar di kantungnya itu tugas Kenneth Branagh juga akan semakin mudah, justru tugasnya semakin sulit, memberikan sebuah presentasi yang menyenangkan namun juga meninggalkan kesan segar tanpa harus menciptakan luka lewat modifikasi berlebihan. Disini Kenneth Branagh dan screenwriter Chris Weitz sepakat untuk memilih setia pada sumber asli yang mereka pinjam itu, sebuah keputusan yang sesungguhnya menciptakan impresi yang sangat berani karena dengan tetap menerapkan fundamental tradisional berarti ruang bermain yang mereka miliki otomatis tidak akan seluas jika dibandingkan apabila mereka memilih memberikan sesuatu yang berbeda dari sumber aslinya, sebuah kekurangan yang seperti tidak pernah eksis didalam eksekusi yang diberikan oleh Kenneth Branagh. Sejak awal hingga akhir Cinderella berhasil menjadi sebuah rollercoaster yang ramah dibalik gerak lincah.


Salah satu keunggulan terbesar dari film ini adalah bagaimana Kenneth Branagh bukan hanya berhasil menciptakan dunia Cinderella didalam layar namun juga membawa masuk penonton kedalam dunia fantasy tersebut. Bagian awal memang sedikit goyah namun semakin jauh durasi berlari semakin halus dan kokoh hiburan yang kita peroleh, intimitas tampil sangat lembut tanpa harus menyingkirkan intensitas pada konflik antara protagonist dan antagonis, begitupula dengan eksposisi cerita yang sangat rinci tapi disokong dengan ketukan irama mampu membuatnya terus terbangun dengan harmonis. Perpaduan dua hal tadi itu yang menjadikan Cinderella terus terasa menggoda, ada semacam energi atau mungkin magic yang menciptakan kesan variatif sehingga penonton bukan hanya merasa terhipnotis dengan pesona yang ia punya tapi juga tetap tertarik dilempar kesana kemari karena selalu dipertemukan dengan elemen yang kokoh dan menarik.

Sepertinya ada alasan lain mengapa Walt Disney Pictures menempatkan short film Frozen Fever (cuteness overload! Frozen 2!!) sebagai sajian pembuka Cinderella, karena cara mereka “bermain” dengan penonton terasa identik. Narasi bergerak penuh kebebasan, berbagai lelucon juga seperti tidak malu-malu ketika tampil, begitupula dengan romance yang bersahaja tapi ketika hadir akan membuat senyum menghiasi wajah anda, namun dibalik itu ada sebuah pusat atau inti yang kuat di tengah cerita. Kalimat "have courage, and be kind" berulang kali hadir di dalam dialog sehingga tidak peduli ketika comedy, romance, maupun drama  yang sangat efektif itu sedang tampil anda akan dibawa kembali menuju kehangatan pesan moral utama yang berhasil terasa halus dan tulus karena tidak pernah di push terlalu jauh sepanjang cerita, sukses datang dari keberanian, kebaikan, sikap percaya diri, dan jujur pada diri sendiri, mereka mudah dinikmati oleh penonton muda hingga dewasa.


Namun setelah modest, thoughtful, funny, playful, dan charming, Cinderella juga punya magical power yang begitu besar, dan itu bukan hanya datang dari eksekusi sutradara dan juga cerita, namun juga sisi teknis dan performa para pemeran utama yang sukses mengangkut penonton masuk kedalam dunia fantasi mereka. Cinderella memberikan komposisi visual yang sangat cantik, terasa mewah dan mampu menunjang upaya Kenneth Branagh untuk menyuntikkan taste Shakespeare andalannya. Tapi yang menjadikan mereka unggul adalah ada keseimbangan yang tepat, setiap bagian punya momen untuk membuat penonton terpukau dari cinematography yang menghasilkan transisi halus saat berpindah dari terang, gelap, terang, dan seterusnya, kemudian score yang pintar mempermainkan mood cerita, costume design yang sangat memukau (FYC), desain produksi seperti detail set bangunan yang manis (temukan lampu berbentuk angsa yang tampak seperti es), hingga visual effect yang bukan hanya mempesona tapi juga menjaga kehidupan alur cerita terutama pada empat ekor tikus yang lucu itu.

Dan last but not least adalah penampilan dari divisi akting. Yang pertama kali menarik untuk disorot adalah penampilan Helena Bonham Carter yang punya momen singkat namun sangat berkesan, serta Cate Blanchett yang berhasil memanfaatkan setiap momen yang dimiliki oleh karakternya untuk mengingatkan anda akan kejahatan yang eksis didalam cerita. Yang saya suka dari dua aktris ini adalah mereka digunakan Kenneth Branagh sebagai senjata tersembunyi terutama Blanchett sehingga Cinderella dapat berdiri nyaman di posisi terdepan. Itu pula yang menjadikan Lily James berhasil membentuk Cinderella sebagai karakter yang indah untuk diamati, perpaduan down to earth dan elegan (Downton Abbey) hidup di dalam Cinderella, dan kemudian akan membuat anda menjadi another Prince Charming yang kagum pada sosok Cinderella. Chemistry Lily James bersama Richard “Robb Stark”Madden juga manis, ada nyawa didalam gelora cinta mereka yang terasa bersahaja.



Overall, Cinderella adalah film yang memuaskan. Seperti kalimat "have courage, and be kind" yang berulang kali ia tampilkan, seperti isu utama terkait keberanian dan kebaikan yang ia usung, dibawah kendali Kenneth Branagh dan disokong kinerja memikat dari departemen akting, teknis, dan juga produksi, Cinderella sukses menjadi sebuah perpaduan antara klasik dan modern yang mempesona. Menggunakan narasi klasik untuk menyokong keberanian tampil rendah hati tanpa memberikan modifikasi yang berlebihan, film ini memberikan hal paling utama yang kita harapkan dari Cinderella: magical power. Bijaksana dalam mengemas isu, tidak malu tampil lucu, memiliki tahapan dengan daya tarik yang menggoda, menarik masuk penonton kedalam rollercoaster yang menyenangkan dalam gerak lincah namun tetap menjadikan materi terasa ramah, Cinderella akan menyihir anda sejak awal hingga akhir. It's super enchanting!! I called it magic.




0 komentar :

Post a Comment