27 December 2014

Movie Review: The Hobbit: The Battle of the Five Armies (2014)


"Will you follow me, one last time?"

Sebelum bercerita terlalu jauh sebagai informasi awal yang mungkin juga akan terkesan telat bahwa The Hobbit merupakan adaptasi dari novel dengan judul sama yang memiliki ketebalan sebesar 320 halaman untuk versi English, dan 340 something untuk terjemahan Bahasa Indonesia. Jika informasi tadi merupakan sesuatu yang baru bagi anda maka anda tidak perlu merasa aneh pada keterkejutan yang bisa saja anda alami, karena dahulu saya juga mengalami hal yang sama. Benar, 320 lembar tadi coba diterjemahkan oleh Peter Jackson menjadi film yang ia pecah menjadi tiga bagian, dan dengan materi yang terbilang tipis hasilnya adalah: film pertama okay, film kedua kurang okay, dan finale terasa kering. The Hobbit: The Battle of the Five Armies, a dry and drudgery entertainment from an “ambitious” effort.

Kedatangan Bilbo Baggins (Martin Freeman) beserta 13 kurcaci yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) menyebabkan Smaug (Benedict Cumberbatch) yang kala itu sudah menduduki Gunung Erebor marah dan menghancurkan sebuah kota dekat danau menggunakan kekuatannya. Namun ternyata seorang pria bernama Bard (Lukas Evans) berhasil menemukan kelemahan Smaug dan kemudian mengalahkan naga tersebut untuk menjadi pahlawan kotanya, status yang anehnya justru ia tolak. Ketimbang menjadi seorang pemimpin Brad lebih tertarik untuk bersama-sama mengamankan tempat penampungan serta negoisasi yang telah mereka buat dengan Thorin terkait harta di didalam gunung tadi. 

Celakanya Thorin ternyata tidak berniat untuk memenuhi janjinya, sikap yang menjadikan Bilbo dan kurcaci lain merasa bahwa mereka harus melakukan sesuatu terhadap kondisi tersebut. Situasi semakin rumit dengan kehadiran kaum elf dibawah pimpinan Thranduil (Lee Pace) yang juga menginginkan harta didalam Gunung Erebor, dan telah membentuk aliansi. Begitupula dengan keberadaan Orc di bawah komando Azog (Manu Bennett) yang berniat mengejar Thorin untuk membalaskan dendam, begitupula dengan Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lilly) yang mengetahui bahwa ada tentara kegelapan lain yang siap untuk menyerang.


Setelah ia selesai ada perasaan ambigu yang saya rasakan, kondisi dimana saya sadar bahwa ini adalah sebuah kemasan mengecewakan jika menilik prestasi luar biasa yang pernah Peter Jackson ciptakan satu dekade lebih yang lalu dengan kombinasi visual dan cerita yang memikat, namun disisi lain ada rasa kurang rela untuk mengatakan ini sebagai sebuah bencana. The Hobbit: The Battle of the Five Armies punya unsur fun yang cukup baik terutama pada elemen action yang ia tampilkan tapi yang menjadi masalah adalah harapan awal yang tercipta berada jauh lebih tinggi dari apa yang film ini berikan, bukan sebuah hiburan penuh visual yang menyibukkan penonton dengan berbagai gerak cepat untuk melindungi nilai minus dari konflik dan karakter yang membosankan melainkan sebuah finale yang mampu melengkapi kekurangan yang telah diciptakan dua film pertama serta menutup semuanya dengan megah. Sayangnya film ini gagal menjalankan tugasnya tersebut.

Jika harus menggambarkan apa yang menarik dari film ini mungkin jawabannya adalah bagian pembuka yang memberikan kita kenikmatan yang terbilang cukup baik untuk klik dengan karakter dan juga masalah, dan bagian penutup yang punya kekuatan cukup besar untuk memuaskan mereka yang telah menyaksikan The Lord of the Rings karena berhasil menciptakan sebuah jembatan menuju The Fellowship of the Ring. Bagaimana dengan sisanya? Datar, kering, miskin pesona, miskin intimitas, miskin semangat, semua dibungkus dengan alur cerita yang liar namun dalam struktur yang kurang nikmat. Film ketiga ini seperti sebuah presentasi dari apa yang sedang dirasakan oleh Peter Jackson dengan dunia Middle Earth yang telah ditangani sangat lama itu: jenuh, bosan, dan “hanya” mencoba menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Ya, hanya, semua yang terjadi didalam film ini ibarat sebuah formalitas tanpa keseimbangan “kualitas”.


Sangat mengapresiasi sentuhan yang ia ciptakan pada sisi visual namun disini anda dengan sangat mudah dapat merasakan dampak dari ambisi besar Peter Jackson dan orang-orang penting di balik layar pada keuntungan yang jelas menjadi sasaran utama mereka. Sebuah buku menjadi tiga film menyebabkan film terakhir ini hanya berisikan sisa-sisa cerita yang tipis, rangkaian beberapa konflik yang sesungguhnya sangat sederhana mereka lebarkan dengan berani, berniat untuk menciptakan banyak ruang agar kisah sederhana tadi tampak rumit, menghabiskan cukup banyak waktu dengan gerak berputar-putar yang mayoritas terasa kosong dan menjauhkan atensi penonton dari kekurangan yang mengganggu tadi dengan menggunakan adegan aksi lengkap bersama HFR yang cantik itu sebagai pengalih perhatian. Ya, The Hobbit: The Battle of the Five Armies punya visual yang memukau, namun disisi lain ia ompong.

Benar, ompong, dan masalah utama seperti disebutkan tadi karena begitu banyaknya gimmick yang Peter Jackson coba bentuk untuk menyokong dan memperpanjang cerita. Banyak bagian dimana cerita terasa dipaksakan kehadirannya, ia seolah memaksakan segala sesuatu yang tampil di layar agar terasa rumit dengan cita rasa epic dan megah, bahkan film ini secara tidak langsung menggusur nilai dan makna dari film pertama dan kedua. Salah satu tugas dari sebuah trilogy atau apapun itu nama bagi sebuah series film tidak hanya serta merta memberikan penontonnya sebuah hubungan sebab dan akibat, harus ada perjalanan yang menarik, harus ada sensasi yang menjadikan penonton bukan hanya klik namun ikut merasakan petualangan dan perjuangan dari karakter. The Hobbit sudah lemah di sektor ini sejak film pertamanya, film kedua tidak mengalami perbaikan, dan film ketiga seperti meneruskan kesalahan tersebut.


Hal tersebut yang menjadi faktor utama rasa kecewa pada film ini. Tidak ada yang mengejutkan dari visual, apa yang kita dapatkan sudah berada di level yang sama dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk menyelesaikan ambisinya ini. Harapan pada The Hobbit tentu saja tidak sama dengan harapan pada Transformers, visual memukau dengan cerita yang macet total dari segi daya tarik, kita ingin The Hobbit menyajikan urutan yang bukan hanya menarik tapi juga dilengkapi kemampuan untuk memberikan kita sesuatu yang imajinatif untuk di konsumsi, karakterisasi yang mumpuni bahkan memiliki kualitas emosi yang menarik. Film ini kesulitan pada bagian tersebut, eksposisi dengan materi terbatas dan kemudian berputar-putar mencoba menciptakan kesibukan yang sayangnya menggerus daya tarik, ketegangan, hingga antusiasme penonton.


Overall, The Hobbit: The Battle of the Five Armies adalah film yang kurang memuaskan. Sebuah kemasan yang terlalu "empuk" dan terlalu longgar, miskin ketegangan, miskin pesona, dan itu hadir dalam sebuah komposisi yang terasa kasar, komposisi yang akan dengan mudahnya menjadikan kenikmatan visual dan adegan aksi yang ia berikan turun kelas dari awalnya luar biasa menjadi biasa karena tidak di sokong dengan sebuah eksposisi yang menarik dan dinamis. Please Peter Jackson, move on from Middle Earth.










0 komentar :

Post a Comment