09 January 2015

Review: Big Eyes (2014)


"She created it, he sold it, and everyone bought it."

Dengan absennya dua sosok favoritnya, Helena Bonham Carter dan Johnny Depp, kemudian duet utama pilihannya yang tampak sangat menjanjikan, Amy Adams dan Christoph Waltz, Big Eyes tampak menjanjikan berkat potensinya untuk menjadi sebuah terobosan baru dari seorang Tim Burton yang beberapa karya terakhirnya (selain Frankenweenie) sudah mulai mudah terbaca serta minim kejutan. Apakah itu terjadi?

Akibat pernikahannya yang kandas wanita bernama Margaret (Amy Adams) memilih melarikan diri ke California bersama anak perempuannya Jane (Delaney Raye) untuk memulai kehidupan yang baru. Jalan yang ditempuh Margaret untuk dapat bertahan hidup adalah dengan menjadi pelukis, namun uniknya lukisan yang ia ciptakan memiliki sebuah ciri yang khas, seorang gadis dnegan mata yang besar. Atensi masyarakat yang semakin besar pada karya Margaret coba dibantu untuk tumbuh semakin besar oleh Walter Keane (Christoph Waltz), seorang pengusaha real estate yang kemudian menjadi suami Margaret. Namun ternyata dibalik hubungan mereka ada sesuatu yang tersembunyi. 



Yang jadi pertanyaan saya sejak awal pada film ini adalah kemana Tim Burton akan membawa kita para penontonnya dengan premis tentang lukisan tadi, karena dari taglines yang ia gunakan saja sebenarnya film sudah kehilangan salah satu key point untuk menjaga daya tariknya. She created it, he sold it, and everyone bought it, dari situ sudah jelas bagaimana sistem cerita ini akan dikembangkan, satu karakter pertama sedang dalam perjuangan untuk bangkit dari masalah yang ia alami tapi karakter kedua justru menciptakan masalah baru bagi karakter utama. Tapi seperti orang bilang, dia Tim Burton, ia dapat mengubah hal sederhana menjadi sebuah fantasi yang memanjakan imajinasi dan mata kita. Memang benar itu terjadi di film ini tapi sayangnya tidak dalam kapasitas yang mampu menaikkan kelas film ini ke level dimana mereka seharusnya berdiri.



Ini seharusnya dapat menjadi drama yang intens tapi sayangnya dengan segala Burton-esque andalannya itu Tim Burton seperti menolak sejak awal untuk menjadikan ini sebagai biografi yang mengandalkan drama memikat dan juga intim. Kegelapan dengan sentuhan komik yang khas, desain visual andalannya itu menghiasi layar meskipun untungnya tidak terasa berlebihan, alur cerita yang standard dalam teknik mengurai masalah menuju konklusi walaupun terasa efektif, sebuah pertunjukkan miskin humor yang celakanya juga tidak dibarengi dengan drama yang kuat sehingga terasa datar bahkan hambar. Tapi tunggu dulu, dengan segala kelemahan tadi bukan berarti ini adalah sebuah presentasi yang benar-benar buruk namun dengan sosok-sosok besar dari sutradara hingga aktor, terlebih dengan kembalinya Scott Alexander dan Larry Karaszewski yang pernah bekerja sama dengan Burton di Ed Wood, ekspektasi telah tinggi sejak dini.



Yeah, not just a bit tapi Big Eyes benar-benar terasa kurang berhasil mengimpresi, dan seperti ada yang salah dari seorang Tim Burton disini. Rasa segar tidak ada disini dan uniknya sebuah kisah tentang pernikahan yang standard itu kurang berhasil memberikan sesuatu yang benar-benar berbeda dari kisah-kisah lainnya. Fantasi gelap dalam urutan cerita yang klasik, memainkan tipu muslihat dengan pergeseran “warna” cerita yang kurang halus, intimidasi emosi yang terlalu mini sampai dengan studi karakter yang terasa tidak stabil daya tariknya untuk diamati. Dan salah satu rasa kesal yang terbesar adalah dua aktor utama seperti tidak “dibantu” untuk bersinar, mereka memikat murni karena kinerja mereka sendiri, Christoph Waltz yang anehnya memperoleh banyak kesempatan tampil di layar meskipun kinerjanya terasa biasa saja, dan juga Amy Adams yang berhasil menjadikan Margaret tampak cerdas dengan cara yang halus.



Jika hanya berpatokan pada teknik bercerita dan melepas sutradara serta aktor dengan nama besar itu, Big Eyes adalah sebuah kemasan yang super hambar. Namun dengan visual norak yang masih efektif serta kualitas akting yang baik film ini berada di level okay, dan itu merupakan pencapaian yang kurang memuaskan. Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan dari Tim Burton pada cara ia mempermainkan gambar, tapi dari teknik bercerita ini adalah sebuah bukti bahwa Tim Burton seperti mulai kehilangan rasa segar yang menggembirakan, Big Eyes terasa sangat biasa bahkan hambar bahkan jika harus dibandingkan dengan Alice in Wonderland.












0 komentar :

Post a Comment