27 January 2015

Review: The Boy Next Door (2015)


"A moment she couldn't resist. An obsession he can't control."

Tidak perduli kamu pria maupun wanita kita semua tahu satu situasi yang tidak dapat di hindari pada tahap awal perkenalan, wanita akan terkesan jual mahal dan penuh misteri. Bukan berarti hal tersebut berlaku secara general tapi yang saya tahu kami para wanita senang melakukan hal tersebut untuk menambah ketertarikan para pria. Tapi imo cara tersebut sangat tabu untuk dilakukan dalam waktu yang lama, karena bukannya malah tertarik terlalu lama menunggu akan membuat para pria pergi dan menjauh. Itu yang dialami film ini mencoba tampak misterius namun celakanya menjadi sebuah erotic thriller yang memberikan penonton tawa negatif. The Boy Next Door, from the producer who brought you Whiplash.

Claire Peterson (Jennifer Lopez) sedang berada di dalam sebuah dilema dimana ia menemukan suaminya telah berselingkuh namun disisi lain ia ingin tetap menjaga keutuhan keluarganya. Kondisi tersebut membuat Claire berniat untuk kembali membakar gelora asmaranya, tapi celakanya ia lakukan pada orang yang salah. Pada suatu malam ketika suami dan anaknya sedang pergi berkemah melalui jendela wanita kesepian itu menemukan kembali gairah asmaranya pada pria bernama Noah Sandborn (Ryan Guzman), anak laki-laki berusia 19 tahun. 



Yeah, ini awal tahun dimana disamping kita akan menemukan film-film awards season yang mulai di rilis setelah kampanye ketat di akhir tahun kita juga akan menemukan banyak film yang rilis dikarenakan rasa percaya diri studio pada mereka untuk berhasil meraih kesuksesan box-office juga sangat rendah. The Boy Next Door adalah salah satu bagiannya yang mungkin akan sangat sulit saya lupakan, sebuah film yang pada dasarnya mencoba untuk menjadi sebuah thriller erotis layaknya Basic Instinct namun harus jatuh sangat dalam. Ini bukan hanya B-film, ia berada di grade yang jauh lebih rendah dari itu, sebuah film yang mampu memberikan awalan yang bagus namun tidak lama sejak ia dimulai penonton hanya mendapatkan sesuatu yang off, off, dan off hingga akhir.


Hal utama yang saya benci dari film ini adalah upaya ia untuk tampak misterius, memaksakan hal tersebut meskipun Rob Cohen sudah tahu bahwa cerita yang ditulis oleh Barbara Curry sudah sangat miskin daya tarik. Dari karakter saja mereka sudah dibangun dengan sangat tidak meyakinkan, terkesan asal jadi padahal kesuksesan cerita sangat bergantung pada sukses atau tidaknya dua karakter utama “mempermainkan” penontonnya. Obsesi disertai mabuk cinta tidak ada disini, segala sesuatu yang mereka set untuk tampak menggairahkan juga berakhir datar, dan bahkan tidak sedikit yang terasa konyol dan saya jamin akan mampu membuat kamu bukan hanya tersenyum namun juga tertawa geli dengan kekonyolan mereka, baik itu dari cerita, dialog konyol, hingga bagaimana mereka menjual sisi erotis karakter.


Tidak semua film bodoh gagal untuk menjadi sebuah film yang menghibur, tapi tidak sedikit pula film bodoh yang tetap berakhir bodoh dan tidak menghibur. The Boy Next Door menjadi bagian dari film bodoh yang gagal menghibur, dengan cerita yang bergerak lambat dia ajak untuk menyaksikan wanita yang dipenuhi dengan gairah tapi tetap saja bertingkah jual mahal seolah ia seorang wanita yang suci, tarik ulur yang bukannya tampak menarik tapi memberikan rasa frustasi pada penonton. Masalah tidak berhenti di situ karena sejak awal hingga ketika ia berakhir kamu akan merasakan bahwa The Boy Next Door terus berupaya untuk menyajikan konflik yang ia miliki agar dapat terasa serius, dan yang menjengkelkan adalah eksekusi yang Rob Cohen justru jauh dari kesan serius, ia seperti mengambil cara paling mudah, sinopsis yang terkesan seadanya, karakterisasi buruk, dan taruh mereka di pundak Jennifer Lopez untuk dapat mempermainkan imajinasi penonton, yang celakanya gagal total.



Dengan segala kekurangan tadi sangat sulit bagi saya untuk merekomendasikan The Boy Next Door karena meskipun durasinya sendiri hanya 91 menit tapi saya mereka menyesal sudah menghabiskan waktu yang terhitung singkat itu bersama hiburan konyol seperti ini, hiburan yang membuat saya menderita. Ia memang punya beberapa bagian yang mungkin akan mampu membuat kamu tertawa geli, ia juga mungkin dapat terasa worthed jika sejak awal kamu hanya datang untuk menyaksikan Jennifer Lopez atau Ryan Guzman, namun selain itu I’ll say no.








0 komentar :

Post a Comment