08 December 2014

Review: Exodus: Gods and Kings (2014)


"Once brothers, now enemies."

Ia memang punya Alien dan Gladiator di daftar filmography, tapi karya-karya Ridley Scott selalu hit or miss bagi saya dalam jumlah yang berimbang, bahkan bukan hanya ketika ia menjadi sutradara hal yang sama juga terjadi ketika ia menjadi produser. Masih membekas di ingatan bagaimana Robin Hood jatuh datar empat tahun lalu, bahkan tahun lalu dengan cast yang sangat menjanjikan Ridley Scott seperti kehilangan magic miliknya di Prometheus dan menjadikan The Counselor sebagai thriller yang ompong, dan magic itu masih belum kembali di Exodus: Gods and Kings. Lost in Egypt.

Moses (Christian Bale) dan Ramesses II (Joel Edgerton) yang tumbuh besar sebagai suadara angkat merupakan calon pewaris kerajaan Firaun dari tangan Seti I (John Turturro). Moses yang ketika itu telah menjabat sebagai jenderal perang dianggap memiliki kapabilitas yang lebih baik sebagai pewaris tahta, namun hal tersebut tidak disetujui oleh Queen Tuya (Sigourney Weaver) yang ingin agar anak kandungnya Ramesses yang menjadi pewaris. Hal tersebut memaksa Moses untuk keluar dari Mesir, tapi ketika telah menjadi gembala Tuhan mengirimkan sebuah tugas kepadanya, Moses harus kembali ke Mesir untuk menyelamatkan umat-Nya dengan membawa mereka keluar dari sana. 



Film ini sebenarnya punya hal-hal yang ia butuhkan untuk menjadi hiburan yang epic, dari sutradara, cast, budget juga sangat besar, tapi pendekatan yang dipakai oleh Ridley Scott malah membuat ini terasa sangat jauh dari kesan epic, cenderung kearah cerita kitab suci yang tampak frustasi mengolah materi. Dari sinopsis singkat diatas tadi mudah untuk menilai ini adalah usaha untuk memberikan kita perjuangan yang mendebarkan, upaya yang kompleks yang menarik tapi disisi lain juga mampu meninggalkan kita inspirasi sederhana tanpa harus mampu untuk menguatkan iman penontonnya, tapi kenyataannya justru sebaliknya: datar, kompleks tapi tidak menarik, dan sangat miskin inspirasi, bahkan terasa sulit untuk merasakan semangat dari perjuangan Moses.



Masalah yang saya rasakan disini adalah Ridley Scott seperti ingin membuat kita menunggu dengan penuh misteri, padahal faktanya cerita yang ia punya sudah sangat umum, dan dari cerita yang ia punya juga tidak ada sesuatu yang baru dari cerita dasar. Kita dibuat melakukan apa yang Moses lakukan, menunggu dan bertanya-tanya yang sayangnya banyak diantara momen itu yang terasa kosong. Yang paling menjengkelkan itu ada kesan bahwa ia akan terjadi sesuatu yang menjanjikan yang membuat kita terus menerus sabar menanti, begitu juga dengan kesan provokatif yang seolah ingin mempertanyakan tindakan Tuhan pada manusia, itu juga terasa sangat lemah, terbukti ketika berbagai tulah itu hadir tidak ada yang memberikan sensasi yang menarik, semua tenggelam dalam CGI dengan kekuatan makna yang sangat lemah.



Yang menarik dari film ini mungkin adalah penampilan dari Joel Edgerton, ego yang karakternya miliki terbentuk dengan baik, sedangkan Christian Bale terasa kurang kuat, ia sebenarnya adalah kunci utama film ini karena ia sosok sentral tapi sayangnya Bale tidak mampu menciptakan kesan heroik seperti contohnya Russell Crowe di Noah, dan dampaknya menyebar ke bagian lainnya. Momen terbelahnya laut merah jatuh datar, kematian anak sulung tidak memberikan kesan menakutkan, dan meskipun tidak semuanya buruk tapi visual sering kali menjadi sumber rasa frustasi penonton, ia bukan sebagai pelengkap tapi justru seperti sebagai jualan utama film ini, dan jika ditambah pergeseran fokus antara Tuhan, manusia, dan alam yang banyak terjadi sulit untuk menikmati irama yang Exodus: Gods and Kings berikan.



Durasi film ini sebesar 150 menit, dan saya sarankan anda membawa cukup banyak snack dan kopi meskipun kemungkinan kamu untuk merasa gerah dan memutuskan sejenak keluar studio untuk membeli makanan atau sekedar menyegarkan tubuh juga cukup besar. Sebegitu menyiksa kah? Tidak, tapi punya potensi yang cukup besar, dari kuda, darah, lalat, pedang dan perisai, tornado, kemudian api yang besar, Exodus: Gods and Kings ternyata tidak berhasil menjadi sebuah film biblically-inspired yang menjadikan kisah itu terasa epic, ia hanya meminjam sinopsis untuk kemudian memasukkannya kedalam formula paling standard dari film-film yang mengandalkan CGI, mungkin akan terasa cantik di visual tapi minim sensasi pada bagian cerita, menunggu hingga berujung frustasi, dramatisasi yang lemah, ini seperti dua setengah jam tersesat di sekitar Mesir. Segmented. 








0 komentar :

Post a Comment