Showing posts with label 2019. Show all posts
Showing posts with label 2019. Show all posts

Movie Review: The Audition (2019)

“What counts is hearing the notes before you play them.“

Setiap orang memiliki mimpi, ambisi, dan obsesi mereka masing-masing, tapi kadang hidup tidak memberimu jalan yang mudah untuk dapat mewujudkan ketiga hal itu. Kerena ketika mereka menjadi tidak terkendali maka tantangan yang kamu jalani akan bertemu dengan tekanan dalam berbagai bentuk, salah satunya gejolak emosi. Di film ini seorang guru musik menemukan talenta yang ia anggap sebuah permata yang harus ia poles agar dapat semakin bersinar, celakanya itu ternyata pintu masuk bagi berbagai masalah muncul di dalam hidupnya setelah selama ini bersembunyi. ‘The Audition (Das Vorspiel)’ : a Whiplash with violin.


Movie Review: Our Friend (2019)

“If I had the world to give, I'd give it to you as long as you live.”

Saya percaya peran dari keluarga dan sahabat itu sama pentingnya dalam kehidupan seseorang, tapi terkadang ada beberapa sahabat yang kemudian sangat klik dengan kamu dan lantas membuatnya merasa lebih “nyaman” ketimbang keluarga. Sesuatu yang terasa sangat wajar memang karena pada dasarnya keluarga bersifat “given” sejak kamu lahir, beberapa karena koneksi orangtuamu dan tidak dapat kamu ubah, kamu “dipaksa” untuk menyesuaikan diri dengan mereka. Berbeda dengan sahabat, mereka eksis di kehidupanmu karena “memenuhi syarat” yang telah kamu tetapkan. ‘Our Friend’ : because friends are the family you choose.


Movie Review: Sound of Metal (2019)

"Serenity is something you get when you stop wishing for a different past."

Menjadi tuli tentu merupakan bencana bagi seorang musisi. Memang indera yang lain sama pentingnya namun bagaimana caranya seorang musisi dapat menyajikan musik yang ia hasilkan jika ia sendiri tidak dapat merasakan musik tersebut karena tidak bisa mendengar? Karakter utama film ini merupakan seorang drummer grup heavy-metal dan suatu ketika ia bertemu dengan “bencana” tadi di mana ia memiliki dua opsi, berhenti sebagai musisi atau justru mencari cara atau jalan lain agar dapat tetap menikmati hal yang paling ia cintai itu. ‘Sound of Metal’ : when the Lord closes a door, somewhere He opens a window.


Movie Review: Saint Maud (2019)

“No one sees what they don't want to.”

Film ini dibuka dengan seorang wanita yang tampak kebingungan di sudut ruangan sembari melihat tempat tidur di mana di sana terbaring mayat. Wanita tersebut kemudian melihat ke arah ceiling di mana seekor binatang kecil sedang merayap. Judul film kemudian muncul dalam ukuran sangat besar dan disusul dengan cairan berwarna merah yang menimbulkan gelembung kecil, mempertajam kesan “ganjil” dan langsung menarik masuk penonton ke dalam situasi “tidak nyaman”, menjadi dasar kuat bagi sajian horror yang kemudian ia sajikan. ‘Saint Maud’ : it'll make you think of things you didn't want to. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Movie Review: Inseparable Bros (2019)

“If anybody looks down on us, I’ll really teach them a lesson.”

Saya tersenyum ketika film ini berakhir, bukan karena merasa senang atau bahagia telah menyaksikan sebuah kisah yang sangat luar biasa baik itu dari segi cara ia dipresentasikan serta kualitas cerita, tapi karena turut merasa puas ketika melihat bagaimana karakter mengakhiri “perjuangan” mereka. Terkesan sepele memang tapi itu pencapaian yang tidak mudah untuk dilakukan, film ini capai menggunakan kisah persahabatan dua saudara dari orangtua berbeda di mana ia bermain low-key sejak awal hingga akhir. Inseparable Bros : a properly cooked drama.


Movie Review: Babyteeth (2019)

“This is the worst possible parenting I can imagine.”

Karakter yang didiagnosa mengidap kanker lalu mencoba untuk menemukan rasa bahagia dengan melakukan hal-hal “gila”, bukankah itu sesuatu yang terasa familiar? Dengan karakter utama remaja yang sedang beranjak dewasa maka kamu mungkin sudah pernah saksikan di film ‘The Fault in Our Stars’ atau jika pernah bermain sedikit lebih jauh maka ada ‘Me and Earl and the Dying Girl’ yang terasa lebih nikmat. Film ini mencoba menampilkan kisah serupa seperti dua film tersebut tadi, kisah coming-of-age yang menggunakan rumus dan pola yang sama namun dilengkapi dengan sensitivity yang manis sehingga membuat cerita young adult ini bukan sebatas daur ulang yang malas. ‘Babyteeth’ : I just wanna live, don't really care about what happens to me.


Movie Review: I'm No Longer Here (2019)

“Make the star, man.”

Dari poster-nya mungkin kamu akan langsung teringat dengan salah satu istilah gaul yang sempat trend beberapa waktu yang lalu, yaitu istilah jamet, mereka yang tampil dengan menggunakan pakaian yang mungkin bagi mayoritas orang akan terkesan “aneh”, meskipun pasti ada pula yang menilai mereka unik. Karakter utama di film ini berada di kelas yang sama dengan orang-orang yang bergoyang menggunakan lagu Dindin Badindin itu, sebuah kisah anak muda yang mencintai sebuah genre dan memegang teguh prinsipnya di dalam proses pencarian jati diri yang sedang dijalani. ‘I'm No Longer Here (Ya no estoy aquí)’: I’m sorry Guillermo del Toro, I’m sorry too Alfonso Cuarón.


Movie Review: Corpus Christi (2019)

“God speaks to us through various events in our life. But the most important thing is never to lose faith.”

Sangat mudah untuk mengernyitkan dahi saat membaca sinopsis film yang sukses menciptakan rekor baru di ajang Polish Film Awards ini, karena walaupun isu yang ia bawa terasa universal namun jalan yang ia gunakan untuk bercerita terasa unik, mungkin eksentrik. Bagaimana jika narapidana yang gemar menggunakan narkoba dan cinta dengan alkohol suatu saat diminta untuk menjadi Pastor, memimpin umat dan mungkin menjadi panutan bagi mereka. Ya, kita tahu fokusnya akan mengarah ke mana tapi bukan sesuatu yang mudah untuk melakukan tackle terhadap isu seperti itu, dapat menjadi alarm dan kritik tapi bisa juga jatuh menjadi “khotbah” yang tidak menarik. ‘Corpus Christi (Boże Ciało) : uplifting drama, speaks about love through one delicious "rotten egg."


Movie Review: 1BR (2020)

“I wish we could help them all. Someday.”

Awalnya saya memilih film ini di antara berbagai film horror lainnya untuk mengisi malam halloween yang lalu semata-mata karena merasa tertarik dengan judulnya yang merupakan singkatan dari “one bedroom”. Menggunakan sebuah kamar tidur untuk membawa penontonnya ke dalam petualangan penuh thrill menakutkan? Terdengar seperti sebuah formula yang klasik dan klise untuk sebuah film horror. Tapi lagi dan lagi hal tersebut bukan sebuah masalah jika dikemas dengan cara yang menarik. ‘1BR’ : a controlled horror thriller.


Movie Review: Judy & Punch (2019)


“He won't be winning anymore because I'm going to kill him.”

Manusia tidak diciptakan untuk selalu hidup dengan rasa bahagia, ada perasaan lain yang juga eksis di sampingnya dan untuk mengatur semua itu kita dibekali dengan kemampuan mengelola impuls, emosi, dan perilaku yang disebut dengan self-control. Karena potensi hadirnya godaan serta dorongan hati yang dapat membawa manusia ke dalam masalah selalu ada dan di sana fungsi eksekutif tadi bekerja sebagai pengatur. Tampak berat? Tidak, justru pendekatan yang digunakan film ini terasa ringan, berawal dari pertunjukkan boneka hingga bertemu dengan tragedi ada amarah dan tawa di sana, semua dikemas simple dan tajam. ‘Judy & Punch’ : an effective punchy and smashy tragedy.


Movie Review: Blackbird (2019)

“You're here now, but tomorrow, you'll be dead. And we know.”

Mungkin akan terkesan aneh tapi di dunia ini eksis konsep yang mendasari bahwa manusia berhak mengakhiri hidupnya dengan menjalani eutanasia secara sukarela. Namanya hak untuk mati. Jika dipikir secara logika pasti akan terkesan aneh tapi jika ditelisik lebih jauh maka akan muncul perdebatan yang menarik. Hak tersebut tadi legal di beberapa negara seperti Australia, Belgia, Belanda, dan Kanada. Film ini mencoba menggunakan konsep tersebut sebagai kerangka utama cerita bagi berbagai isu dan pesan yang lebih luas dari sekedar praktik pencabutan nyawa manusia. ‘Blackbird’ : a quite meaningful and comprehensible drama.


Movie Review: Innocent Witness (2019)


“I just want you to love yourself. Because only then you can love others."


Film ini berhasil mengulik satu hal yang mungkin selama ini juga menjadi pertanyaan di dalam benak banyak orang, yaitu apakah semua Pengacara benar-benar bekerja untuk menegakkan keadilan? Karena seperti bagian di dalam persidangan selalu ada dua sisi yang bertarung di sana, yaitu pihak penuntut dan pihak tertuntut, sedangkan masing-masing sisi tersebut juga tidak sepenuhnya bersih. Dengan menggunakan pendekatan yang akan membawa kamu kembali merasakan hangat dan lembutnya film-film Korea Selatan, film ini mencoba bercerita tentang pertentangan yang terjadi di antara menjadi manusia “hukum” versus menjadi manusia yang punya hati nurani. Miracle in Cell No. 7? ‘Innocent Witness (Jeungin)’: a subtle examination about how beautiful every human created.


Movie Review: Happy Old Year (2019)


Some things won't go away just because you pretend to forget all about it. It has to come from both sides for it to be over.”

Jika kamu pernah berpindah tempat tinggal maka kamu akan mencoba memilah mana saja barang yang akan kamu bawa ke tempat yang baru. Dan itu adalah pekerjaan yang tidak mudah, karena tidak perduli seberapa biasa dan monotonnya hidupmu selalu ada "kenangan" yang tercipta setiap kali kamu mulai membuka mata di pagi hari. Dan hal tersebut juga hadir dalam bentuk fisik, dalam bentuk barang yang pernah berhasil memberimu perasaan senang dan bahagia ketika melihatnya, menggenggamnya, dan memeluknya. Film ini mencoba bercerita tentang itu, tentang betapa sulitnya untuk, sederhananya, merelakan pergi yang kamu pernah sayangi. ‘Happy Old Year’ : a good essay on growing up and letting go.


Movie Review: Around the Sun (2019)


“Love is a strange thing, it escapes every corrective, and no system of understanding can reduce it.”


Imajinasi merupakan sebuah ciptaan Sang Pencipta yang sangat menarik menurut saya, di mana manusia dibekali dengan daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan sebuah gambaran kejadian, baik itu berdasarkan sebuah peristiwa atau pengalaman maupun dalam bentuk sebuah khayalan di mana fantasi bermain di dalamnya. Film ini menggunakan itu sebagai bahan utama ia bercerita namun yang menarik adalah ia mencoba menjadi sebuah romance tanpa ada drama yang terasa mencolok di dalamnya. Bagaimana bisa? Before Sunrise? ‘Around the Sun’ : cute, but cryptic.


Movie Review: Yes, God, Yes (2019)


“I thought I was gonna go to hell, for rewinding Titanic back to the sex scene three times.”

Bukankah manusia diperintahkan untuk beranak cucu? Lalu mengapa seks menjadi sesuatu yang tabu? Ya, tabu dan dosa jika kamu melakukan hubungan intim tersebut dengan orang yang bukan merupakan pasanganmu. “Any sex outside of one man, one woman, one marriage is against God's plan”, begitu bunyi satu baris kalimat di film ini yang juga menandakan bahwa masturbasi masuk ke dalam kategori tindakan tabu dan dapat mengakibatkan dosa. Tapi bukankah dari sisi medis masturbasi baik untuk kesehatan, dapat mengurangi stress misal? Ini yang terjadi ketika agama bertemu dengan hal-hal duniawi, sesuatu yang coba di tackle oleh film ini namun dalam cakupan yang lebih luas. ‘Yes, God, Yes’: a simple and juicy dramedy about being a human.


Movie Review: Get Duked! (2019)


“I've never seen a murder before. I'm homeschooled!”

Jika kamu sudah menonton film ‘The Hunt’ yang rilis tahun ini (bukan film Denmark nominasi Best Foreign Language Film Oscars), maka bayangkan saja ini adalah versi lebih konyol dari film tersebut. Konsepnya sendiri sama, bahkan isu dan pesan yang coba ia sampaikan secara garis besar juga berada di kelas yang sama, namun film dengan judul alternatif ‘Boyz in the Wood’ ini tampil dengan cara yang lebih santai, lebih liar, lebih absurd, dan tentu saja lebih konyol, karena memang konsepnya sendiri adalah sebuah sindiran ceria dengan komedi sebagai jualan utamanya. ‘Get Duked! (Boyz in the Wood)’ : a playful satire that hit the target right.

Movie Review: Ema (2019)


“You are a human condom. You'll never give me a son. A real son.”

Cara setiap orang dalam mengejar mimpi dan ambisi yang mereka miliki pasti akan berbeda-beda, ada yang dengan sabar menunggu karena mereka percaya semua telah disiapkan oleh Sang Pencipta, namun tentu juga ada manusia-manusia yang justru memilih untuk “mendorong” dirinya agar mereka dapat lebih cepat meraih mimpi dan ambisi tersebut. Dan untuk yang terakhir tadi tidak jarang kerap menghadirkan masalah lainnya jika tidak mampu ditata dan dikendalikan dengan baik. Karakter utama kita di film ini, Ema, punya mimpi dan ambisi, untuk meraihnya ia melakukan opsi yang kedua, ia “dorong” semuanya dan menghasilkan situasi gila. ‘Ema’ : when sex and emotion biting each other.

Movie Review: Dance with Me (2019)


“Musical itself is weird. You need to see a doctor. Musicals are stupid.”

Jepang pintar dalam mengolah materi-materi yang unik dan sedikit aneh untuk menjadi sesuatu yang menarik dan terasa menyenangkan. Film ini adalah contoh terbaru, bagaimana konsep yang sebenarnya tidak sepenuhnya baru berhasil dibentuk kembali menjadi sebuah hiburan yang segar kental dengan nafas Jepang yang sangat khas. Premisnya sederhana, yaitu bagaimana jika setelah mengalami sebuah “kecelakaan” kecil kemudian otak kamu dipaksa menggerakkan seluruh saraf dan juga tubuhmu untuk menari dan bernyanyi secara spontan setiap kali kamu mendengarkan musik? Dance with Me (Dansu Wizu Mī) : an energetic and infectious happiness. 

Movie Review: Lucky Grandma (2019)


“Your lucky day is coming.”

Terkadang presentasi yang sederhana jika dikemas dengan tepat justru dapat bekerja jauh lebih efektif, terlebih jika materi yang terkandung di dalamnya juga sederhana. Film ini adalah contohnya, ia membawa pesan yang sangat sederhana dan kemudian ditampilkan juga dengan cara sederhana, ke dalam sebuah drama comedy dengan sedikit bumbu thriller yang dikendalikan sepenuhnya oleh karakter yang juga sederhana, seorang nenek tua tangguh yang doyan merokok dan punya tatapan "idgaf" yang terasa mematikan. ‘Lucky Grandma’ : a charming story about growing old and respect for elderly.

Movie Review: The Lodge (2019)


“I heard something. A voice.”

Psychological horror merupakan subgenre yang unik, tidak bermain layaknya sebuah horror secara langsung namun justru kerap lebih berhasil “meninggalkan” bekas mendalam di ingatan penontonnya. The Babadook, It Follows,Get Out, Hereditary, hingga The Lighthouse adalah beberapa contoh film psychological horror yang sangat kuat dalam beberapa tahun terakhir yang berhasil mengolah materi tentang kondisi mental, emosional, dan psikologis untuk “mengganggu” pikiran penontonnya. Film ini mencoba untuk melakukan hal terakhir tadi. ‘The Lodge’ : a well-staged but doesn't bite paranoia.