Showing posts with label 2014. Show all posts
Showing posts with label 2014. Show all posts

Movie Review: Cart (2014)


Salah satu dari sekian banyak isu sosial yang menarik adalah bagaimana sistem yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin tetap menjadi sesuatu yang populer. Memang wajar bahwa siapa yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan berantakan namun situasi David melawan Goliath seperti itu begitu lezat untuk diekploitasi oleh para pemilik kekuasaan yang berujung pada kerugian para kaum bawahan. Itu merupakan isi dari film ini, mencoba bercerita tentang ketidakadilan sistem kerja termasuk perlakuan kasar terhadap pekerja. Cart: an edgy drama.

Movie Review: A Girl at My Door (2014)


A long time ago in a galaxy far, far away, ketika terjadi sebuah tabrakan orang-orang di sekitar lokasi akan bergerak cepat untuk menyelamatkan korban, namun sekarang berbeda, dari yang berlalu karena tidak merasa peduli banyak manusia yang kini semakin berhati-hati dan berpikir berulang kali untuk memberikan bantuan. Mengapa? Karena memberikan bantuan kini bisa menjadi boomerang yang berbahaya serta merugikan. Hal tersebut yang digunakan oleh film ini dalam menyampaikan berbagai isu seperti harapan dan keadilan. A Girl At My Door (Dohee-ya): an absorbing drama.

Review: Shrew's Nest (Musarañas) (2014)


Bukan berarti keberadaan mereka tidak ada, tapi film kombinasi drama, horror, dan thriller seperti Shrew's Nest ini tergolong langka, mereka yang tidak sekedar membuat kamu terkejut dan takut dengan cara-cara khas atau klasik dari dua genre terakhir. Shrew's Nest (Musarañas) berhasil memberikan salah satu hal yang paling saya suka dari kombinasi drama, horror, dan thriller, ia membuat penonton mabuk bersama cerita dan karakter, kamu melangkah maju tapi merasa waspada terhadap sisi belakang, kamu juga dibuat waspada dengan sisi depan tapi tidak menghalangi niat untuk terus melangkah maju. Horror thriller dengan basis drama psikologis yang manis.

Review: Flowers (Loreak) (2014)


Suka dan duka itu punya hubungan simbioisis mutualisme, karena kehadiran mereka saling menguntungkan satu dengan yang lain. Seperti Rihanna yang mengatakan “we found love in a hopeless place”, kamu tetap dapat bertemu dengan sukacita ketika kamu melihat sebuah jalan yang menanti layaknya terowongan panjang yang gelap, ketika kamu berteriak dan tidak ada yang mendengar, situasi hopeless yang tidak mudah untuk di mengerti semua orang. Kondisi pedih itu yang dimiliki oleh Flowers (Loreak), mengajak penonton bukan cuma melihat, namun juga ikut merasakan.

Review: Catch Me Daddy (2014)


Ketika kamu melanggar lampu merah atau berkendara tanpa menggunakan atribut pengaman maka sudah menjadi tugas polisi bahkan hakim untuk memberikan kamu hukuman yang setimpal, tapi apakah semua hal di dunia ini harus berada dibawah teori satu ditambah satu sama dengan dua? Bagaimana dengan isu sensitif seperti jalan hidup misalnya, dan contoh sederhananya ingin digambarkan oleh Catch Me Daddy yang kemudian meninggalkan penontonnya dengan pertanyaan lain dalam cakupan yang lebih luas lagi. Mana yang akan kamu pilih, anak kamu patuh padamu tapi ia tidak bahagia, atau melihat anak kamu bahagia setelah melanggar aturan milikmu yang faktanya bukan merupakan sesuatu yang berbahaya?

Review: The Falling (2014)


Setiap orang punya hal favorit yang mereka inginkan dari sebuah film yang hendak mereka saksikan, dari komedi yang lucu, romance yang membuat kamu tidak berhenti tersenyum, hingga horror yang membuatmu berulang kali memejamkan mata. Bagaimana dengan terjebak atau tersesat di dalam sebuah film? Memang terdengar aneh namun film-film tipe seperti itu meskipun tidak membuat penontonnya menilai mereka sebagai sesuatu yang istimewa namun sering kali justru mudah untuk muncul ketika kamu menyusun daftar film-film paling memorable, ia mampu mencengkeram kamu dan menanamkan kisah ia miliki di dalam memori kamu. The Falling seperti itu, disturbing and memorable mess.

Review: Phoenix (2014)


"It’s late, darling it’s late, the curtain descends, everything ends too soon, too soon."

Selalu menyenangkan memang saat menyaksikan sebuah film yang mampu membuat penontonnya bukan hanya sekedar mengamati apa yang terjadi di hadapan mereka tapi juga seolah terlibat didalam cerita, masuk dan dikunci untuk kemudian dilepaskan kembali dengan rasa gembira ketika film tersebut telah selesai. Christian Petzold berhasil melakukan itu di Barbara, dan di film terbarunya ini ia mengulang kesuksesan tersebut dengan Phoenix, sebuah drama post-Holocaust dengan power kuat yang meninggalkan penonton dengan horror emosi dan psikologi.

Review: Samba (2014)


Setelah memperoleh kesuksesan besar lewat karya mereka The Intouchables yang berhasil menarik penonton hampir 30% dari jumlah populasi negara asalnya, Perancis, dan di tahun 2012 sukses menjadi the highest-grossing movie French film dan film non-English dalam cakupan worldwide, beban dan tugas yang di miliki oleh Olivier Nakache & Éric Toledano pada karya mereka selanjutnya tentu saja tidak kecil, sejarah yang mereka ciptakan telah membawa status baru pada mereka. Alih-alih meneruskan The Intouchables, disini, Samba, mereka kembali dengan resep perpaduan komedi dan romance berlatarkan drama sosial.

Review: The Water Diviner (2014)


Penonton mana yang tidak suka ketika mereka dibawa berjalan oleh sebuah film untuk kemudian bertemu dengan banyak warna variatif, dari gelap menuju terang kemudian bertemu dengan warna yang sedikit sendu. Tapi hal tersebut tidak lantas justru membuat film tersebut merasa santai dan tenang karena keputusan untuk menjadi tampak berwarna harus ia sokong pula dengan tanggung jawab agar semua warna tadi dapat bercampur dengan baik dan saling mendukung satu dengan lainnya, karena kesalahan kecil dapat menghasilkan dampak yang signifikan. Nah, itu yang akan kamu temukan pada The Water Diviner.

Review: Adult Beginners (2015)


"Some people just can't handle growing up."

Saya selalu kesal jika ada orang atau sosok yang dari segi umur lebih dewasa dari saya lalu menganggap remeh pendapat bahkan posisi saya dalam sebuah percakapan misalnya hanya dikarenakan umur saya yang lebih muda. Apakah umur menjadi satu-satunya patokan bagi tingkat kedewasaan seseorang? Tidak, karena kamu juga pasti banyak menemukan orang dewasa yang bertindak dan berpikir tidak sama dewasanya dengan umur mereka, begitupula sebaliknya. Itu isu menarik dari film ini, Adult Beginners, bagaimana orang dewasa tidak selamanya otomatis lepas dari status pemula.

Review: Kumiko, the Treasure Hunter (2014)


Joel Coen dan Ethan Coen memulai Fargo hampir dua dekade yang lalu dengan sebuah pemberitahuan bahwa film yang akan penonton saksikan didasarkan pada sebuah kisah nyata meskipun nama-nama telah di ubah sebagai upaya melindungi mereka yang tidak bersalah. Sebuah tindakan yang licik memang karena kemudian terungkap bahwa “based on true story” yang Coen Brothers pakai itu tidak benar. Lantas apakah dengan begitu semua penonton akan menilai Fargo sebagai film dengan kisah fiktif? Tidak, dan Kumiko, the Treasure Hunter akan mencoba membawa kamu menyaksikan obsesi dari seorang wanita yang mencoba mencari uang tebusan yang terkubur di salju pada bagian akhir FargoHaunting and hilarious lost in Minnesota. 

Review: ’71 (2014)


Salah satu hal paling menyakitkan jika berbicara tentang kekerasan atau hal-hal brutal adalah ketika mereka di tampilkan kepada kita secara tenang, rasa sakit yang dihasilkan kerap lebih besar ketimbang jika kekerasan tersebut di kemas dengan cepat dan kemudian berlalu. Yann Demange seperti mencoba menerapkan konsep tersebut dalam film debutnya ini, '71, mencoba mengurung penonton bersama karakter yang sedang dalam kondisi terkurun untuk kemudian berjuang hingga merasakan sakit yang ia alami. Well, itu cukup berhasil.

Review: Wild Canaries (2014)


Banyak film yang mencoba menggabungkan beberapa genre kedalam satu wadah bermain kerap menerima boomerang akibat tidak mampunya ia mengolah warna-warni materi yang ia punya. Faktor penyebabnya beragam, dari yang kewalahan mengatur susunan antar genre hingga mereka yang tidak mampu mempertahankan daya tarik masing-masing bagian. Film berjudul Wild Canaries ini dengan berani mencoba menggabungkan drama bersama komedi, romance, hingga misteri, dan meskipun ia tidak memberikan penontonnya kemasan penuh aksi boom-boom-boom setidaknya ia mampu menghindar dari hantaman boomerang yang telah ia lempar.

Movie Review: The Con Artists (2014)


"Turning fake into real or turning real into fake?"

Tugas sebuah film memang sederhana, mampu menghibur penonton dengan berbagai metode sepanjang durasi yang ia miliki, tapi ada hal lain yang sesungguhnya juga inginkan dicapai oleh semua film, mampu meninggalkan penonton dengan impresi yang kuat ketika mereka berpisah dengan karakter dan juga cerita. Anda pasti pernah menyaksikan film yang mampu menghibur anda meskipun dalam kualitas yang sebatas cukup namun ketika ia telah berakhir anda hanya bergumam kecil, “oh, begitu, okay.” Hal tersebut yang terjadi pada film Korea yang meraup kesuksesan box-office di negeri asalnya tahun lalu ini. The Con Artists (Gisooljadeul): just a show-off arena for Kim Woo-Bin.

Review: The Duke of Burgundy (2014)


"As long as I'm yours, I'm alive."

Memang tidak semua penonton akan mengalami hal ini tapi pasti ada diantara kita yang akan mengalami perubahan pada sistem indera ketika adegan sensual hadir di layar, contohnya seperti kissing scene hingga bed scene. Hal apa yang sering kamu lakukan saat adegan tersebut hadir? Beragam pastinya, dari tersenyum, memalingkan mata sampai wajah, mengatur posisi duduk, hingga yang paling menjengkelkan ketika mendengar beberapa penonton lainnya mulai menghasikan bunyi-bunyi seperti batuk kecil misalnya. Tapi hal paling favorit bagi saya diantara itu semua adalah dengan meneguk air atau soft drink. Lalu apa hubungannya dengan film ini? Tidak dalam kondisi dehidrasi The Duke of Burgundy sukses membuat saya menghabiskan satu softdrink ukuran medium, air mineral 600ml, dan satu botol juice 360ml pada percobaan pertama. Beautiful sexotic erotica, it make Fifty Shades of Grey looks like a joke! (Warning: review contains some mild image who might be an age-inappropriate content).

Movie Review: Predestination (2014)


"What comes first, the chicken or the egg?"

Film yang mengusung tema time-travel sebagai senjata utamanya selalu punya sensitifitas yang lebih besar untuk meraih titik tertinggi atau justru berada di posisi terendah ketimbang tema lainnya. Sebuah kesalahan kecil dapat menghasilkan dampak yang sangat besar, materi yang pintar dapat menjadikannya tampak bodoh lewat sebuah kesalahan kecil, materi yang dangkal dapat pula menghasilkan sebuah hiburan yang pintar jika mampu di olah dengan cermat. Film ini terjebak diantara dua hal tadi. Predestination: just like winning a baseball games without home run. 

Review: Wild Tales (2014)


Menyaksikan sebuah antologi selalu menjadi pengalaman yang menarik karena walaupun bersatu dalam satu kemasan ia terdiri dari beberapa bagian kecil yang otomatis akan memberikan banyak rasa berbeda. Tapi salah satu kelemahan yang hadir dari kelebihan tersebut adalah tidak semua bagian kecil itu berhasil tampil menarik, pasti akan ada yang standout dan ada pula yang terasa biasa-biasa saja, tidak jarang bahkan buruk. Wakil Argentina di ajang Oscars pada kategori Best Foreign Language Film ini merupakan sebuah antologi dengan enam bagian kecil, dan celakanya enam bagian kecil tersebut berhasil memberikan hiburan yang tidak kecil dan menjadikan Wild Tales (Relatos salvajes) tampil sesuai dengan namanya, sebuah petualangan yang liar. Hilariously Crazy.

Review: Timbuktu (2014)


"Don't kill it! Tire it."

I don’t know about you guys tapi saya percaya semua agama menjadikan kasih sayang sebagai ajaran utama yang harus diterapkan oleh semua umatnya, meskipun faktanya tidak semua manusia mampu menyerap dan kemudian menerapkan hal tersebut dalam kehidupan mereka. Selalu saja ada kaum atau kelompok ekstrimis yang melakukan tindakan “kotor” dengan mengatasnamakan agama, mereka yang selalu mudah untuk kamu nilai sebagai manusia-manusia yang menggelikan. Timbuktu mungkin tidak akan mampu menjauhkan ataupun menghancurkan niat mereka yang ingin mencoba melakukan tindakan ekstrimis, tapi ia berhasil menjadikan kita semakin menilai para pelaku ekstrimis itu sebagai orang-orang yang lahir dan tumbuh dalam kebodohan. Harrowing and Heartbreaking. 

Review: Girlhood (2014)


"Shine bright like a diamond."

Girlhood ini seperti sebuah palu yang memiliki ukuran sangat kecil namun pada akhirnya mampu memberikan penonton sebuah pukulan dengan hantaman yang sangat kuat. Apa yang ia coba gambarkan mungkin terkesan biasa bahkan sederhana tapi dibalik itu Girlhood justru menawarkan sebuah studi karakter yang tidak sederhana, perjuangan remaja penuh energi yang ia tampilkan dalam lapisan-lapisan berisikan kegembiraan dan masalah yang menarik untuk diamati, berhasil menjadi sebuah coming-of-age dan character study yang fun dan intim.

Review: Mommy (2014)


"I had to piss so I tied a knot in my dick!"

Usianya baru 25 tahun namun Xavier Dolan telah menghasilkan lima buah film sejak debut sebagai sutradara tahun 2009 yang lalu. So what? Pria asal Kanada ini selalu berhasil menghasilkan karya terbaru yang uniknya bukan hanya sekedar menunjukkan bahwa ia bisa membuat lebih banyak film tapi juga sebagai bukti bahwa ia terus berkembang sebagai seorang pendongeng dan sutradara. Setiap film terbarunya selalu berhasil melampaui kualitas film terdahulunya, dan film terbarunya ini kembali berhasil menjadi film Xavier Dolan favorit saya. Mommy is just another step forward work from Xavier Dolan to make himself called prodigy one day. Urgh Oscars, what a miss!!