Showing posts with label musical. Show all posts
Showing posts with label musical. Show all posts

Movie Review: Spirited (2022)

“Good Afternoon!”

Sejak terbit 179 tahun yang lalu novel ‘A Christmas Carol’ karya Charles Dickens kabarnya tidak pernah out of print, telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa kisah tentang seorang pria tua kikir dan pelit yang kemudian berpetualang ke masa lalu dan juga masa depan itu juga telah diadaptasi dan didramatisasi berulang kali dalam bentuk film, stage, opera, dan media lainnya. Versi baru muncul secara teratur dari cerita yang melibatkan campur tangan dari The Ghost of Christmas itu, sehingga tidak heran jika hingga kini pun cerita ‘A Christmas Carol’ masih lekat asosiasinya dengan the Christmas season. Versi terbaru ini mencoba mendaur ulang kembali kisah klasik tersebut menjadi sebuah modern retelling bernafaskan musical comedy, with Will Ferrell and Ryan Reynolds. ‘Spirited’: a nifty Christmas karaoke bar.


Movie Review: Elvis (2022)

“That skinny boy in the pink suit, transform into a superhero.”

Dijuluki sebagai the "King of Rock and Roll", Elvis Aaron Presley, atau Elvis, dianggap sebagai salah satu tokoh budaya yang paling signifikan abad ke-20, dan ada banyak alasan (still) the best-selling solo music artist itu masih sangat dipuja hingga kini. Tidak hanya karena musiknya yang energik saja namun pelopor rockabilly itu juga dianggap berperan sebagai ice breaker yang memulai social and cultural revolution, mendorong rock and roll tidak hanya sebatas sebuah musical genre bagi kalangan tertentu saja tapi juga memiliki pengaruh besar pada lingkup yang lebih luas, salah satunya memadukan the styles of white country, black rhythm, and blues. Mencoba mengikuti kesuksesan ‘Bohemian Rhapsody’ and well, ‘Rocketman’, kini Sutradara film ‘Romeo + Juliet’ mencoba menunjukkan bahwa Elvis’s life is a story worth telling. ‘Elvis’: high-gloss and horny biopic.


Movie Review: West Side Story (2021)

All the world is only you and me!

Terinspirasi dari kisah Romeo and Juliet, di tahun 1961 film West Side Story’ berhasil memperoleh 11 nominasi Academy Awards dan total 10 buah piala berhasil dibawa pulang, menempatkan adaptasi dari salah satu musical legendaris yang kemudian regarded as one of the greatest musical films of all time itu cuma kalah satu buah piala saja dari film ‘Ben-Hur’ yang kini bersanding dengan film ‘Titanic’ dan ‘The Lord of the Rings: The Return of the King’ for the most Oscars won by a single film in the competitive classes! Pertanyaannya: untuk apa dibuat ulang? Steven Spielberg mencoba dan jangan pernah remehkan ketika dia duduk sebagai Pilot karena hanya ada dua opsi: great or good. Even his "mediocre" films are still good. Boy, boy, crazy boy. ‘West Side Story’ : a dazzling classic rejuvenation. 


Movie Review: Dear Evan Hansen (2021)

"I wish everything was different. I wish I was different."

Spotlight akan sangat mudah tertuju pada film ini, sejak berita bahwa that Tony Award-Winning Musical akan mereka adaptasi ke dalam bentuk film pihak Universal Pictures selaku pembeli film rights tidak hanya sukses menggandeng penulis buku yang jadi dasar cerita musikalnya, begitupun songwriting duo di balik kesuksesan lagu-lagu di ‘La La Land’ dan ‘The Greatest Showman’ yang ikut bergabung untuk membantu membentuk kembali critical acclaim musical yang mereka tulis. Dan last but not least merekrut sutradara The Perks of Being a Wallflower untuk memvisualisasikan skenario dan memimpin tim untuk bekerja bagi Produser film-film seperti ‘Nine’, ‘Into the Woods, dan Mary Poppins Returns’, which is a musical films. ‘Dear Evan Hansen’ : turns out, this wasn’t an amazing day after all.


Movie Review: Tick, Tick... Boom! (2021)

How do you know, when it's time to let go?

Anak labil sering diasosiasikan dengan mereka yang sedang beranjak dari remaja menuju fase awal hidup sebagai orang dewasa, usia belasan hingga akhir di mana mereka gemar bertindak sesuka hati serta hiraukan semua masalah di muka bumi ini. Tapi setelah lepas dari fase itu anak-anak labil tadi tidak serta-merta langsung menjadi orang dewasa yang stabil, karena mereka akan masuk ke dalam fase baru dan bertemu krisis seperempat abad (quarter-life crisis), sebuah krisis yang dipicu oleh tekanan baik dari diri sendiri ataupun juga lingkungan, merasa belum memiliki tujuan hidup yang jelas, ragu terhadap kemampuan diri, bingung dalam menentukan arah hidup. Dan dialami oleh orang-orang berusia 20 hingga 30 tahun. Apakah kamu tersenyum membaca kalimat terakhir tadi? If that's true, this story is for you then. ‘Tick, Tick... Boom!’: a love letter for creative and life processes.


Movie Review: Cinderella (2021)

"Saying "love" and showing love are two very different things."

Serial televisi karya Marvel yang berjudul ‘What If...?’ saat ini sedang tayang di mana penonton dibawa menyaksikan eksplorasi terhadap alternatif pada beberapa momen besar di film-film Marvel Cinematic Universe, seperti contohnya bagaimana jika Raja Wakanda, Black Panther, justru menjadi salah satu pahlawan eksentrik di ‘Guardians of the Galaxy’ dan menyandang gelar Star-Lord? Lantas apa hubungannya dengan Cinderella? Well, mayoritas dari kita tentu sudah tahu atau bahkan mungkin telah hafal dengan alur ceritanya, bagaimana jika kemudian beberapa momen besar di dalam kisah Cinderella itu memiliki alternatif cerita yang berbeda? Bagaimana jika Ibu tiri Cinderella yang justru menikah dengan si Pangeran tampan itu di dalam sebuah sajian musikal? ‘Cinderella’ : a fuzzy fairy tale from the screenwriter of Pitch Perfect.


Movie Review: In the Heights (2021)

"Best days of my life."

Tiga orang pria keluar dari studio bioskop ketika saya menyaksikan film ini, sekitar di pertengahan dari durasi total film. Ketiga pria tersebut duduk di baris depan kursi saya dan yang saya tangkap adalah mereka merasa “bingung” kenapa karakter berdialog satu sama lain dengan cara terus menerus bernyanyi? Film terbaru dari Sutradara ‘Crazy Rich Asians’ yang musiknya ditangani oleh sosok dibalik lantunan musik film ‘Hamilton’ dan ‘Moana’ ini adalah sebuah musical dan wajar jika karakter kemudian akan sering bernyanyi dan menari, sesuatu yang sangat mendominasi di film ini, sebuah presentasi romansa musical terbaik yang rilis setelah si cantik ‘La La Land’. ‘In the Heights’ : a joyous and infectious movie musical experience.


Movie Review: Jingle Jangle: A Christmas Journey (2020)

“But the magic isn't just in what you've lost. It's in what you still have.”

Satu hal familiar yang selalu mudah untuk ditemukan dari sebuah Christmas movies adalah: magic exists. Ya, selalu ada keajaiban di dalam tiap balutan film bertemakan Natal, dari ‘Home Alone’, ‘Elf’, hingga tahun lalu ada animasi cantik dengan berjudul ‘Klaus’ yang membawa pesan it's all possible. Pesan itu klasik memang namun selalu mampu meninggalkan kesan manis dan hangat di penghujung tahun jika dikemas dengan tepat dan hal tersebut coba dilakukan oleh film ini, mengemas kembali pesan “if you believe, it's all possible” lewat sebuah fantasi musikal berisikan dunia yang dipenuhi dengan harapan dan keajaiban. ‘Jingle Jangle: A Christmas Journey’: it's a merry, merry Christmas indeed!


Movie Review: Dance with Me (2019)


“Musical itself is weird. You need to see a doctor. Musicals are stupid.”

Jepang pintar dalam mengolah materi-materi yang unik dan sedikit aneh untuk menjadi sesuatu yang menarik dan terasa menyenangkan. Film ini adalah contoh terbaru, bagaimana konsep yang sebenarnya tidak sepenuhnya baru berhasil dibentuk kembali menjadi sebuah hiburan yang segar kental dengan nafas Jepang yang sangat khas. Premisnya sederhana, yaitu bagaimana jika setelah mengalami sebuah “kecelakaan” kecil kemudian otak kamu dipaksa menggerakkan seluruh saraf dan juga tubuhmu untuk menari dan bernyanyi secara spontan setiap kali kamu mendengarkan musik? Dance with Me (Dansu Wizu Mī) : an energetic and infectious happiness. 

Movie Review: Mary Poppins Returns (2018)


“Mary Poppins, it is wonderful to see you!”

Mary Poppins, practically perfect in every way. Ya, itu memang, because it's Supercalifragilisticexpialidocious! Menjadi salah satu karakter paling ikonik yang pernah hadir di industri perfilman dunia, butuh waktu selama lima dekade dan empat tahun untuk Mary Poppins mendapat kesempatan berikutnya untuk menyapa para penonton, kesempatan untuk menyuntikkan energi gembira sesuai dengan prinsipnya, yaitu in every job that must be done, there is an element of fun. Hasil akhirnya? ‘Mary Poppins Returns’: a spoonful of sugar.

Movie Review: Sweet 20 (2017)


"Lenggang mengorak menarik hati serentak, hey-hey siapa dia..."

Nenek rempong 70 tahun menjadi gadis 20 tahun dan bikin semua cowok dari yang muda, yang mapan, bahkan duda tua jatuh cinta padanya? Wait, hal tersebut sepertinya terasa tidak asing bagi penonton bioskop di Indonesia. Miss Granny, film asal Korea Selatan yang pernah menyambangi bioskop Indonesia pada tahun 2014 itu kini hadir dalam versi Indonesia. Menyandang status sebagai sebuah film remake atau adaptasi tidak serta merta menandakan film tersebut memiliki pekerjaan yang mudah, tidak hanya sekedar hadir dan mengingatkan penonton pada akar yang ia punya saja namun harus pula mampu menjadi sebuah kemasan “baru” yang terasa segar dan exciting. Sweet 20: an electrify ride from start to finish.

Movie Review: La La Land (2016)


“City of stars, are you shining just for me?”

Drama, comedy, action, horror, romance, thriller, sci-fi, mungkin jika dibandingkan dengan genre-genre tadi musical dapat dikatakan tertinggal jauh dalam hal popularitas. Meskipun pernah berada di golden age kini musical genre lebih identik dengan film animasi, tetap berada di kategori “less mainstream” meskipun telah memiliki film-film seperti Moulin Rouge!, Chicago, Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street, Nine, dan Les Misérables sebagai anggotanya. Dapatkah musical genre mencuri atensi dalam skala besar? Of course, here's to the ones who dream, perpaduan contemporary, modern, fantasy, and reality bersama sweet tunes plus catchy dances. La La Land: a joyful ode to love and life, dreams and imagination.

Review: La La Land [2016]


"I just heard you play and I want to…"

Mungkin karena definisi dari kata cinta yang begitu beragam sehingga pada akhirnya terdapat begitu banyak rupa pendekatan yang dilakukan oleh filmmaker terhadap genre romance, dan tidak semua dari mereka berhasil tampil baik. Dengan konsep utama yang kerap terasa corny genre romance itu sebenarnya tidak ribet tapi dengan syarat filmmaker harus paham “peta” dari genre romance itu sendiri sehingga tahu “twist” semacam apa yang harus ia hadirkan ke dalam formula klasik dan klise tersebut. Sutradara ‘WhiplashDamien Chazelle paham pada "peta" tersebut dan tahu apa yang harus ia lakukan, mengolah kembali corny and classic concept tadi menjadi sebuah feel-good story yang menggabungkan kisah cinta dan musical. It’s like ‘Singin 'in the Rain’ meets ‘The Wizard of Oz’ with lovely modern twist.

Movie Review: La La Land [2016]


"Yes, all we're looking for is love from someone else."

Seorang wanita keluar dari mobilnya lalu kemudian bernyanyi. Tidak lama kemudian beberapa orang ikut bergabung dengannya, setelah itu yang terjadi adalah mereka menari bersama. Momen tersebut ditampilkan lewat visual di mana kamera berputar-putar seolah tanpa putus. Hey, bukankah itu spoiler? Mungkin iya, tapi menariknya sama sekali tidak akan merusak kenikmatan yang diberikan oleh film ini. From the director of ‘Whiplash’ please welcome ‘La La Land’, a lovely combination between  romance, musical, comedy, and drama. Surely one of the best films this year, it's 'Singin' in the Rain' for the 21st century. 

Movie Review: Sing [2016]


"Rah-rah-ah-ah-ah! Roma-ro-ma-ma!"

Pada film kedua mereka di tahun ini Illumination Entertainment kembali bermain dengan formula andalan mereka, yang jika meminjam salah satu kalimat dari Agnes di 'Despicable Me' Illumination Entertainment selalu berusaha agar animasi yang mereka produksi terasa so fluffy. Being a bit complex bukan ciri khas Illumination Entertainment, sama seperti para minions mengandalkan segala kekonyolan klasik a la Looney Tunes seperti menjadi hal paling penting di dalam buku pedoman Illumination Entertainment yang harus para sutradara mereka baca. Hal tersebut kembali dilakukan oleh film ini, Sing, kombinasi antara talking animals bersama talent show. Playing like citizens of Zootopia doing a karaoke it feels like The Voice rather than Idol.

Review: La La Land (2016)


"Here’s to the ones who dream."

Film yang ia sutradarai memang baru berjumlah tiga buah tapi seperti tidak salah untuk memberikan label ahli dalam meramu film musical kepada sosok bernama Damien Chazelle. Setelah “whipping” and “splashing” penontonnya lewat aksi seorang drummer meraih mimpinya di ‘Whiplash’ kini ia menggeser fokusnya pada unsur romance tentang bagaimana mimpi dan cinta saling membantu satu sama lain. Funny, gorgeous, lovely, and romantic, ‘La La Land’ is a frisky musical, it’s achieve cult status similar to Baz Luhrman's ‘Moulin Rouge!’.

Review: Into the Woods (2014)


"Anything can happen in the woods."

Into the Woods ini adalah sebuah film yang mampu menghipnotis penontonnya. Mengapa? Sejak awal kamu dapat menilai dan merasakan bahwa ia punya beberapa kelemahan mendasar dari sebuah drama musikal tapi kehadiran mereka lama-kelamaan bukan semakin terasa mengganggu justru mulia berkurang secara perlahan karena kecerdikan film ini membawa penontonnya untuk seolah merasa terlibat di dalam sebuah pertunjukan menyenangkan yang mereka sajikan.

Review: Annie (2014)


Ia adalah musikal, ia adalah sebuah film bertemakan keluarga, ia adalah sebuah remake dari film yang sangat dicintai karena rasa imut dan loveable yang ia hasilkan, ia punya jajaran cast yang tampak menjanjikan, ia juga dipilih untuk rilis menjelang liburan akhir tahun yang jelas menjadi periode sangat menjanjikan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga dan sahabat. So, sangat mudah untuk menilai Annie sebagai sebuah kemasan yang menjanjikan untuk dinikmati, namun hasil yang ia berikan jauh berbeda. Outstanding misfire.

Review: Jersey Boys (2014)


"Everybody remembers it how they need to."

Sangat mudah untuk antusias dengan film ini, mengangkat perjalanan dari jukebox musical milik The Four Seasons, yang menurut The Vocal Group Hall of Fame merupakan the most popular rock band before The Beatles! Tidak hanya itu, karena ada Clint Eastwood pula didalamnya. Tapi jika ekspektasi anda sama dengan saya, maka tidak ada salahnya untuk mencoba menarik mundur mereka, karena Jersey Boys tidak mampu tampil sama besar seperti sejarah yang coba mereka gambarkan. 

Review: Walking on Sunshine (2014)


Tidak seperti drama, romance, horror, hingga action yang cukup mudah untuk dinikmati, genre musical termasuk kelas yang lebih khusus dengan tuntutan yang sedikit lebih besar bagi penonton untuk bisa menikmati mereka. Feel yang terpenting, gimana ketika masalah pada cerita dapat disampaikan bukan cuma dengan dialog tapi juga kombinasi lirik dan irama. Masalahnya disini adalah Walking on Sunshine tidak punya hal penting tersebut.