Showing posts with label War. Show all posts
Showing posts with label War. Show all posts

Movie Review: Shadow in the Cloud (2021)

“You have no idea how far I'll go!”

Film action horror yang satu ini memiliki beberapa babak yang sebenarnya tidak dapat dikatakan istimewa, ia memperkenalkan karakter, menguncinya, lalu mencoba membangun masalah dengan cara yang tidak biasa dan kemudian menebar terror dengan menggunakan sosok misterius yang eksistensinya menciptakan kesan ganjil yang cukup kuat. Tidak cukup sampai di sana, beberapa pesan menarik yang juga coba ia sampaikan terutama pada bagaimana “gila” seorang wanita ketika orang yang ia cintai berada dalam bahaya. Terakhir, semua yang disebut di atas tadi dibungkus dengan vibe “konyol” yang tidak kecil. ‘Shadow in the Cloud’: Looney Tunes dancing in the air.


Movie Review: Greyhound (2020)


“Aye, aye, sir. Captain has the conn.”

Film ini memiliki durasi yang terhitung cukup kecil untuk ukuran film bertemakan peperangan dan mengangkat kisah perjuangan di medan perang, dari prolog hingga berakhir di epilog secara kasar berada di kisaran 80 menit. Padahal ceritanya sendiri tidak sederhana, ini adalah tentang pertempuran paling lama di saat Perang Dunia II, yaitu Pertempuran Atlantik, menaruh fokus pada perjalanan 37 buah kapal menuju Liverpool di dalam sebuah konvoi (convoy HX-25) yang dipimpin sebuah kapal dengan radio call sign: Greyhound. Hasilnya? Menarik. ‘Greyhound’: a “wise as a serpent, harmless as a dove” war film.

Movie Review: The Outpost (2020)



“Enemy in the wire, enemy in the wire. Everyone into Alamo position.”

Film dengan premis menarik sangat mudah untuk ditemukan, namun tidak dengan film yang mampu mengolah premis yang biasa menjadi sebuah presentasi dengan kandungan rasa percaya diri tinggi. Dari kulit luarnya film ini akan membuat kamu teringat dengan berbagai judul film dengan tema peperangan, sesuatu yang tidak salah karena faktanya formula yang digunakan film ini juga memang tidak jauh berbeda dari film peperangan pada umumnya. Apa yang membuat film ini terasa segar adalah bagaimana premis dan presentasi klasik itu kemudian dikemas menjadi sebuah sajian engaging penuh rasa percaya diri. ‘The Outpost’ : a gripping, intimate, and dynamic military story.

Movie Review: Jojo Rabbit (2019)


“Not everyone is lucky enough to look stupid.”

Ada banyak materi cerita yang sebenarnya ada di kategori "riskan" untuk diceritakan kembali ke dalam bentuk media film, apalagi jika digunakan sebagai bahan utama komedi penuh lelucon. Salah satunya adalah Adolf Hitler, sosok penguasa Jerman dan pemimpin Partai Nazi, pria radikal yang telah dikenal dengan image “kejam” mungkin hampir di seantero dunia. Bagaimana jika Adolf Hitler digunakan sebagai lelucon, di film ini ia bahkan dilabeli sebagai "pathetic little man who can't even grow a full mustache." ‘Jojo Rabbit’ : a good anti-hate satire comedy. 

Movie Review: 1917 (2019)



“I hoped today would be a good day. Hope is a dangerous thing.”

Apa yang kamu harapkan diberikan oleh sebuah film yang mengangkat tema peperangan? Kekacauan dan teror adalah contoh dua aspek penting dari war film, seberapa mampu ia membawa penonton masuk ke dalam medan peperangan tersebut untuk kemudian mengelilingi mereka dengan berbagai kekacauan dan meninggalkan kesan menakutkan dan teror setelahnya. Experience, itu salah satu elemen penting dari sebuah war film, elemen yang di tahun 2017 lalu sukses diberikan oleh ‘Dunkirk’. Bagaimana dengan film ini? ‘1917’ : a lovely battlefield experience.

Review: Billy Lynn's Long Halftime Walk (2016)


"It’s really good to have you back, little brother."

Kurang lebih empat tahun lalu Peter Jackson mencoba menciptakan gebrakan baru dengan The Hobbit: An Unexpected Journey yang menggunakan frame rate shooting dan proyeksi 48 fps, teknologi “High Frame Rate” yang juga ingin digunakan oleh James Cameron pada sekuel Avatar. Belum semua bioskop “mampu” mengakomodasi teknologi tersebut sehingga film dikonversi ke 24 fps, namun kemudian muncul Ang Lee yang mencoba melipatkan gandakan pencapaian Peter Jackson tadi dengan Billy Lynn’s Long Halftime Walk yang menggunakan HFR 120 fps in 3D at 4K HD resolution. One day teknologi itu akan menjadi hal yang umum di industri film, but for now? It’s a composed and flashy but flimsy and fake-ish drama.

Review: War Dogs (2016)


"Relax, bro."

Menjadi sebuah hiburan yang lucu, lalu berubah menjadi serius dengan menggunakan isu yang serius, lalu menjadi lucu dan serius di saat yang bersamaan bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan oleh sebuah film. Berbagai masalah yang sering dialami adalah mereka terasa kurang seimbang, hanya satu elemen yang mampu bersinar, dan karena saling “berebut” kualitas dari dua elemen tersebut menjadi tidak maksimal. Bagaimana dengan film ini, ‘War Dogs‘, sebuah biographical crime war comedy-drama yang mencoba tampil serius dan lucu dengan tampil beraksi dengan rasa chutzpah? It’s feels like ‘Scarface’, ‘Goodfellas’, and ‘The Big Short’ go get drunk together. 

Movie Review: Operation Chromite [2016]


Liam Neeson in Korean movie? Wohooo. Itu respon pertama saya ketika mengetahui bahwa Bryan Mills akan tampil di film Korea, dia punya karisma yang keren dan harus diingat dia juga seorang bapak yang keren di ‘Taken’. Tapi pertanyaannya adalah apakah Liam Neeson mampu klik dengan baik di dalam kisah yang mengangkat sebuah peristiwa historis Korea ini? Operation Chromite (Incheonsangryookjakjun) sendiri mencoba bercerita tentang unsung heroes dari Korea di dalam sebuah operasi di The Battle of Inchon. Is it a good "tribute"?

Review: Free State Of Jones (2016)


“I’m gonna die so they can get rich.”

Satu dari sekian banyak hal positif yang dimiliki oleh sebuah film adalah kemampuannya “menginspirasi” penontonnya. Ketika awal mengenal film saya juga merasa janggal dengan kata tersebut tapi seiring berjalannya waktu kemudian sadar bahwa ada tipe film yang membawa isu dan pesan yang menarik dengan after impact yang tidak kecil. Film tipe seperti itu memiliki dua kelas, pada akhirnya mampu menginspirasi atau hanya menjadi sebuah kelas dengan presentasi penuh “ceramah” yang kurang dan bahkan tidak menginspirasi. From the director of ‘The Hunger Games’ here comes ‘Free State of Jones’, a palpable but pale war drama. Alright alright alright?

Review: Eye In the Sky (2016)


"Dozens of lives are at stake if these men leave."

Apakah tidak lama lagi peran manusia akan mulai digantikan oleh robot-robot serta teknologi canggih? Ya, perdebatan terkait masalah tersebut memang sangat menarik, perkembangan teknologi yang begitu pesat mungkin akan memudahkan hal tersebut untuk tercapai yang secara logika memang akan semakin “membantu” manusia, namun apakah robot dan drone itu mampu menggantikan peran manusia seutuhnya, menjadi makhluk yang punya hati bukan sekedar berpikir dan bertindak sesuai program yang ditanamkan kepadanya? Hal tersebut digunakan sebagai dasar utama oleh Eye in the Sky, sebuah drama thriller yang tidak hanya tajam ketika menyajikan thrill namun juga ketika menggambarkan dilema moral tentang menjadi manusia.

Review: Whiskey Tango Foxtrot (2016)


"I wanted out of my mildly depressive boyfriend, I wanted to blow everything up."

Begitu banyak hal menarik yang dapat “dimanfaatkan” dari proses mencari, meliput, serta memproduksi berita yang dilakukan oleh wartawan, bukan hanya dari proses bagaimana berita itu diperoleh, dibentuk, hingga disajikan kepada penonton namun terdapa sisi kecil lain yang tidak kalah menarik. Contohnya seperti bagaimana mereka membangun pendekatan dengan sumber informasi, menjaga hubungan dengan orang-orang “penting” di sekitar, hingga bagaimana usaha mereka bertahan hidup untuk dapat kembali pulang ke kasur kesayangan mereka di rumah. Whiskey Tango Foxtrot (mari singkat saja menjadi WTF) mencoba membawa penonton merasakan pengalaman jurnalistik tersebut dalam perpaduan drama dan komedi, seperti sebuah soft drinks yang oke.

Review: Macbeth (2015)


"All hail Macbeth that shall be king"

Kehidupan yang semakin “brutal” sekarang ini telah menerapkan sistem di mana yang kuat yang bertahan, sementara yang lemah akan berantakan. Apakah hal tersebut sesuatu yang salah? Tidak, namun jika kamu tidak mampu menangani konsekuensi yang selalu ada di balik setiap aksi maka yang kuat bisa saja juga berakhir berantakan. Hal tersebut merupakan inti dari film ini, Macbeth, sebuah war drama berisikan kebrutalan yang menawan, menghidupkan karya William Shakespeare kedalam bentuk tragedi berdarah yang indah. Bold, brutal, bloody, and beauty.

Review: The Water Diviner (2014)


Penonton mana yang tidak suka ketika mereka dibawa berjalan oleh sebuah film untuk kemudian bertemu dengan banyak warna variatif, dari gelap menuju terang kemudian bertemu dengan warna yang sedikit sendu. Tapi hal tersebut tidak lantas justru membuat film tersebut merasa santai dan tenang karena keputusan untuk menjadi tampak berwarna harus ia sokong pula dengan tanggung jawab agar semua warna tadi dapat bercampur dengan baik dan saling mendukung satu dengan lainnya, karena kesalahan kecil dapat menghasilkan dampak yang signifikan. Nah, itu yang akan kamu temukan pada The Water Diviner.

Movie Review: Fury (2014)


“Best job I ever had"

Menciptakan sebuah film action yang berisikan aksi tembak disana-sini dan kemudian menghasilkan kehancuran skala besar itu sekarang ini terasa sangat mudah, terlebih dengan teknologi yang semakin berkembang. Yang sulit adalah bagaimana jika mereka dikemas sama menariknya namun juga memberikan hiburan yang bukan hanya sekedar lewat, hiburan yang unforgettable, tampil elegan dengan sedikit kesan misterius, meskipun ikut memberikan tugas yang jauh lebih besar untuk mereka kendalikan dan selesaikan. Fury, understated raw action flick.

Movie Review: The Admiral: Roaring Currents (2014)


"If a man desire to life, he will surely die, but if he fights to the death, then he will surely live"

Bisa dikatakan ini merupakan salah satu film di tahun 2014 dengan hype yang sangat besar menjelang rilis. Wajar memang jika menilik dua pemeran utama miliknya yang sangat menjanjikan itu, terlebih dengan dibantu cerita yang diambil dari salah kisah penting bagi eksistensi bangsa Korea, faktor di balik keberhasilannya meraih posisi tertinggi sebagai the most-watched film of all time di Korea mengalahkan The Host, serta the biggest grossing movie in Korea dengan mengalahkan Avatar. The Admiral: Roaring Currents (Myeongryang), very important movie for Korean.

Movie Review: The Monuments Men (2014)


"Your lives are more important than a piece of art."

Film ini berhasil menjadi bukti terbaru dari betapa besarnya peran sebuah poster pada upaya membentuk ekspektasi calon penonton. Coba perhatikan poster diatas, sekumpulan pria yang jika anda coba telusuri lebih jauh punya kombinasi belasan nominasi Oscar di kantong mereka, berpakaian layaknya tentara dan seperti menjanjikan sebuah cerita bertemakan peperangan dengan permasalahan yang rumit dan kompleks. Stop, hapus ekspektasi itu, materi perang hanya menjadi sebuah dasar, karena ini adalah petualangan tanpa urgensi. The Monuments Men, it’s not a war battle, it’s just the picnic man.

Movie Review: 300: Rise of an Empire (2014)


"Better we show them, we chose to die on our feet, rather than live on our knees!"

This is Sparta!!! Apa yang ada dipikiran anda ketika mendengar kalimat itu? Seorang pria yang bermimpi menjadi Superman namun sayangnya hanya punya celana dalam dan tak bisa melindungi kumpulan otot miliknya? Tidak hanya itu, namun sebuah kalimat sederhana dari para pria dengan perawakan kekar yang bukan hanya mampu menunjukkan semangat mereka, namun juga sanggup membuat kita sebagai penonton mengangkat tangan dan berteriak “ahoo, ahoo, ahoo.” Ia tidak megah, namun 300 punya keunikan yang menjadikannya sebagai sebuah kenangan. Kemasan past, present, dan future dari 300 ini tidak punya hal tersebut, 300: Rise of an Empire, it’s about scream, blood, slow motion, and abs!!! Without dignity. Oh, also British who fight for Greece!!! Bland. Borefest.

Movie Review: The Book Thief (2013)


"Memory is the scribe of the soul."

Bukan sesuatu yang asing lagi jika kemudian hadir kabar bahwa akan di produksi sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel best- seller, itu sebuah peluang yang harus dimanfaatkan, tidak heran insan perfilman Hollywood berlomba-lomba untuk mendapatkan hak mengadaptasi berbagai novel terkenal, meskipun pada dasarnya hal tersebut belum tentu menjanjikan hasilnya kelak akan otomatis menuai kesuksesan yang sama. The Book Thief, failed attempt from the studio that brought you Life of Pi.

Movie Review: Lore (2012)

 

Ketika perang dunia kedua terjadi dan merenggut banyak korban jiwa, ketika wilayah Jerman telah terpecah menjadi beberapa bagian dan berada dibawah kendali Amerika, Rusia, Inggris, hingga Prancis, disaat suasana duka semakin menyelimuti rakyat Jerman akibat kematian Hitler, kebahagiaan dari seorang wanita muda bernama Lore juga ikut terenggut. Dibawah kondisi mencekam akan timbulnya peperangan, Lore terpaksa melintasi hutan dan sungai sejauh ratusan kilometer untuk menyelamatkan keluarganya.

Movie Review: Coriolanus (2011)


Caius Martius (Ralph Fiennes), seorang Jendral Roma, bersama pasukannya berhasil mengalahkan Volscian yang dipimpin oleh Tullus Aufidius (Gerard Butler). Atas keberhasilannya, Caius diberi gelar kehormatan "Coriolanus”, dan mengajukan diri menjadi konsul. Namun atas skenario yang telah disusun oleh dua pejabat parlemen Roma, Sicinius (James Nesbitt) dan Brutus (Paulus Jesson), Caius justru dimusuhi oleh rakyat. Berjanji akan melakukan nasihat dari Ibunya Volumnia (Vanessa Redgrave) serta istrinya Virgilia (Jessica Chastain) untuk bersikap “manis” terhadap rakyat, Caius justru menyerang pemerintah Roma karena tekanan yang ia terima ketika memberikan pidato. Akibatnya, Caius diasingkan dari Roma, dan di cap sebagai pengkhianat. Merasa tidak dihargai atas perjuangannya selama ini, Caius memutuskan bergabung dengan Volscian, dalam misi menyerang Roma.