Showing posts with label Sci-Fi. Show all posts
Showing posts with label Sci-Fi. Show all posts

Movie Review: Crimes of the Future (2022)

“Surgery is the new sex.”

Berjoget tipis-tipis sendiri di dalam kamar bisa menghasilkan banyak uang mungkin sebuah ide yang tidak pernah terpikirkan oleh orang-orang di beberapa dekade lalu, sekalipun kala itu mereka juga punya imajinasi bahwa di masa depan segala sesuatu mungkin akan lebih canggih. Hal yang sama juga kita alami kini, definisi masa depan kelak seperti apa masih tidak pasti walaupun sama seperti orang-orang tadi bahwa kita juga memiliki imajinasi, kini bahkan dengan analisa data jadi semakin mudah bagi beberapa orang untuk diprediksi. Film mengeksplorasi potensi masa depan yang masih jadi misteri, menggunakan premis yang terasa aneh yakni bagaimana jika kelak rasa sakit merupakan cara baru untuk merasakan sensasi bahagia? ‘Crimes of the Future’: a medium rare body horror.


Movie Review: Prey (2022)

"You wanna hunt something that's hunting you?" 

Dahulu jika sebuah film ternyata status tayangnya “dialihkan” ke layanan streaming maka itu dianggap sebuah pertanda buruk, karena akan semakin mudah berasumsi bahwa kualitasnya tidak mumpuni sehingga membuat perusahaan produksi memilih untuk tidak merilisnya di layar lebar. Tapi pandemi tiba dan mengubah banyak hal, salah satunya adalah pamor dari streaming service yang jadi pilihan populer, mereka kemudian berlomba memoles perpustakaan film-nya agar semakin menarik. Dan the Predator franchise jadi salah satu anggota baru, film kelima dari kisah yang diawali oleh Arnold Schwarzenegger di tahun 1987 ini tidak rilis di layar lebar tapi langsung ke streaming service, dan tanpa menggunakan judul Predator! Menariknya, ini justru berhasil jadi salah satu yang terbaik di the Predator franchise. ‘Prey’: shine brightly above simplicity.


Movie Review: Nope (2022)

“They're going to come back. You ready?”

Meraih atensi yang besar usai membuat serial televisi ‘Key & Peele’ bersama Keegan-Michael Key, di tahun 2017 Jordan Peele berhasil memulai karir penyutradaraannya dengan sangat baik lewat ‘Get Out’. sosok yang sebelumnya lebih dikenal di bidang komedi itu menyajikan psychological horror dengan paduan satire yang menawan, memantapkan diri sebagai salah satu sineas menjanjikan dan mencetak angka box office tinggi, Peele dihujani pujian serta penghargaan. Dua tahun kemudian Peele mentransfer ide tentang doppelgänger ke dalam bentuk horror surealis nakal yang akan sulit untuk dilupakan, sebuah juicy presentation berjudul ‘Us’. Alhasil Jordan Peele langsung memiliki citra kuat sebagai storyteller berkat kemampuannya dalam mengutak-atik socially relevant themes dengan formula klasik genre, yang juga jadi jualan utama trailer film ini: terasa aneh, tapi kok menarik. ‘Nope’: close encounters of the third kind.


Movie Review: Jurassic World Dominion (2022)

"It's always darkest just before eternal nothingness."

Fair to say bahwa tujuh tahun lalu ‘Jurassic World’ muncul dan berhasil memenuhi ekspektasi mayoritas penonton, membuktikan bahwa beban berat yang sejak awal harus ia tanggung bukan sesuatu yang mustahil untuk diatasi. Membuka kembali gerbang menuju dunia para dinosaur, kala itu konsep yang coba didorong tergolong sukses walau memang hadir dengan pesona yang tidak sekuat the original. Ditunjang dengan visual yang menyenangkan ‘Jurassic World’ berhasil menjadi popcorn thriller yang menghibur dan tentu saja, mesin pencetak cuan, prestasi yang juga berhasil dilakukan pula oleh sekuelnya, ‘Jurassic World: Fallen Kingdom’ meski sayangnya not necessarily well received by critics. Tapi angka box office tetap besar, dan sekuel jelas potensi yang tidak boleh dibuang. ‘Jurassic World Dominion’: a tame finale.


Movie Review: Moonfall (2022)

“We're not prepared for this.”

Masih ingatkah kamu dengan film ‘2012’? Rilis di tahun 2009 dan sukses memoles semakin mengkilap lagi fenomena 2012 yang ramai diperbincangkan kala itu, ‘2012’ mencatatkan kesuksesan komersial. Tidak heran memang karena saat itu isu bahwa pada tanggal 21 Desember 2012 akan terjadi kiamat akibat disebut sebagai tanggal akhir Kalender Hitung Panjang bangsa Maya sukses menghebohkan banyak orang. Seolah melihat celah, the master of disaster Roland Emmerich menciptakan ‘2012’ dan menstimulasi sudut pandang penonton terhadap penggambaran hari kiamat, rangkaian peristiwa seperti megatsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan banjir global. Kali ini dia kembali dan melibatkan salah satu teman baik bumi, yakni bulan. ‘Moonfall’: it’s on airplane mode.


Movie Review: Don't Look Up (2021)

“Everything is theoretically impossible until it is done.”

Mengantisipasi musnahnya manusia akibat potensi resiko bencana global yang kini tampak semakin menakutkan itu berbagai pihak mulai berlomba untuk menjelajahi antariksa, mencoba menemukan solusi baru yang bisa digunakan untuk menghindar dari bencana yang berasal dari dua sumber, yakni risiko antropogenik akibat ulah manusia seperti global war hingga overpopulation, serta risiko non-antropogenik yang disebabkan alam, seperti erupsi dan asteroid impact event. Tapi pertanyaannya sederhana: siapa yang tahu tanggal pasti kiamat akan terjadi? Dulu katanya di tahun 1999, 2012, semua berlalu aman lantas membuat isu “kiamat” mulai dipertanyakan karena bersifat tidak pasti. Dampak dominonya risiko eksistensial tampak normal serta skeptisisme juga semakin mendominasi, and that, my friend, is the real horror. ‘Don't Look Up’ : amusing script clumsily cooked.


Movie Review: The Matrix Resurrections (2021)

"What validates and makes your fictions real? Feelings."

Memang tidak mustahil tapi membangkitkan kembali sebuah cerita yang telah tidur pulas selama kurang lebih 18 tahun tentu bukan sesuatu yang mudah, apalagi untuk kisah sekelas ‘The Matrix’ yang saat manusia sedang bersiap menuju millennium di tahun 1999 kala itu duo the Wachowskis pakai untuk membawa science fiction genre melambung tinggi, menutup rangkaian kejutan the cyberpunk genre yang datang dari Total Recall dan Terminator 2: Judgment Day di tahun 1990-an, tidak hanya sekedar merevolusi penggunaan digital effects saja namun juga menarik perhatian semakin besar pada satu pertanyaan filosofis, sebuah pertanyaan abstrak tentang apakah manusia sebenarnya hanya hidup di dalam sebuah simulasi? The Matrix Resurrections’ : a clever balance between reinventing and nostalgia.


Movie Review: Venom: Let There Be Carnage (2021)

“Emotional pain, it hits much harder, and it lasts longer.”

Karakter Venom pernah muncul di film ‘Spider-Man 3’ tahun 2007 namun sekedar tempelan belaka, memang diperuntukkan oleh Sutradara Sam Raimi hanya “to make some of the real die-hard fans of Spider-Man finally happy.” President Marvel kala itu, Avi Arad, meminta Sam Raimi untuk tidak hanya fokus pada his favorite villains characters, “to incorporate Venom, to listen to the fans. Venom is the fan favorite. All Spider-Man readers love Venom.” Pesona Venom memang serupa Deadpool tapi butuh 11 tahun bagi Venom untuk pada akhirnya membuktikan pernyataan Avi Arad tadi, tiga tahun lalu menjadi box office success meskipun dari segi cerita dan tone tidak terasa kuat, termasuk koneksinya dengan Spider-Man. Motion capture maestro Andy Serkis didampuk sebagai Sutradara dan kali ini Venom ikut menulis cerita. ‘Venom: Let There Be Carnage’ : a compact enrichment.


TV Series Review: Dr. Brain - Part 1

“Can a civilization exist without ambition?”

Mencoba menciptakan sinkronisasi otak antar manusia merupakan tujuan utama penelitian seorang Ilmuwan otak, ia ingin agar di masa depan manusia tidak perlu lagi berbicara untuk menyampaikan sesuatu namun cukup memikirkannya di dalam otak mereka yang dapat terkoneksi dengan manusia di sekitarnya. Tapi di balik ambisi besar itu pria tersebut ternyata menyimpan sebuah rencana yakni untuk menemukan jawaban atas insiden misterius yang membuatnya kehilangan anggota keluarga. Pria tersebut ingin masuk ke dalam pikiran para korban yang terlibat untuk menemukan petunjuk di dalam ingatan mereka.


Movie Review: I'm Your Man (2021)

“Tom is programmed to fulfill my needs.”

Mayoritas orang berharap pasangan hidupnya akan sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. Ya, itu sebenarnya semakin mudah untuk terjadi saat ini, manusia semakin dimudahkan untuk “menemukan” sosok yang ingin dipilih sebagai pasangan hidup berkat sosial media dan online dating platforms di mana kamu dapat menentukan kriteria tertentu yang harus sesuai dan juga terpenuhi oleh calon pasanganmu tersebut, mencoba menemukan pasangan yang “tepat” dan telah diperhitungkan menggunakan algoritma. Bagaimana jika pasangan paling tepat dapat “diciptakan” oleh teknologi penuh rumus agar sesuai dengan keinginan kamu? Sebuah ide cerita yang menarik dan dikembangkan menjadi sebuah sci-fi romance manis oleh film dari Jerman ini. I'm Your Man’ : a charming and thought-provoking screwball comedy.


Movie Review: Titane (2021)

“I don’t care who you are. You’re my son.”

Mungkin suatu saat nanti akan hadir robot yang diciptakan memiliki kemampuan untuk menghasilkan sperma, tapi untuk saat ini mengatakan bahwa seorang wanita hamil karena telah dibuahi oleh benda mati seperti mesin merupakan sesuatu yang terasa sangat mustahil, cenderung gila. Tahun 2012 yang lalu sebuah film berjudul Electrick Children sudah mencoba bermain dengan ide gila itu, karakter utamanya dikatakan hamil setelah mendengarkan sebuah lagu rock dari kaset, menuduh lagu yang berasal dari kaset tersebut telah membuahi rahimnya. Di sini ceritanya serupa tapi tak sama, ada seorang wanita yang merasa janin di dalam perutnya adalah hasil hubungan seksual yang ia lakukan dengan sebuah mobil. Sure, sex in the car, but sex with a car? ‘Titane’ : a crazy body horror, stranger things happen here.


Movie Review: Finch (2021)

“I wish I'd done more with the time I had.”

Setelah season kedua SeeApple TV+ langsung menambah daftar serial sci-fi milik mereka dengan Foundation, Invasion dan Dr. Brain, di mana judul terakhir menjadi the first Korean-language show produced for Apple TV+. Dan kurang dari tiga bulan film ini menjadi entri terbaru daftar tersebut, sebuah science fiction drama yang sebelumnya dikenal dengan judul ‘BIOS’, mencoba bercerita tentang sesuatu yang kurang umum di film post-apocalyptic science fiction: humanity, the meaning of life. From the Director of 'Game of Thrones' comes the best "low-key" sci-fi after 'Ex Machina'. ‘Finch’ : a touching science fiction fable. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Movie Review: Dune (2021)

“Fear is the mind-killer."

Di masa depan pesawat akan bergerak seperti capung, sayapnya tidak lagi kaku tapi dapat bergerak mengepak naik dan turun, sedangkan planet akan berkisar di angka 60° celcius, namun tetap saja aksi perebutan kekuasaan eksis dan membuat manusia saling bunuh satu sama lain. Itu tadi segelintir masalah yang menjadi bahan cerita film ini, sekitar delapan millennium dari sekarang di mana kondisi bumi tidak layak lagi untuk diperbincangkan, planet gurun tercipta di mana lautan tidak bisa tampak di pelupuk mata, yang tampak hanya gersangnya gurun pasir rumah bagi para cacing raksasa. From one of the greatest science fiction novels of all time, comes one of the best cinematic experiences this year so far. ‘Dune’ : an immersive epic sci-fi.


Movie Review: Black Widow (2021)

“Pain only makes us stronger.”

Sejujurnya buat saya kemunculan film ini terasa sedikit aneh, setelah sekian lama dinantikan film standalone bagi salah satu karakter wanita di ‘The Avengers’ itu justru hadir setelah penonton tahu bagaimana Natasha sacrifice herself di ‘Avengers: Endgamedan berujung kematian. Mengapa memberikan backstory yang tentunya akan berisikan eksplorasi terhadap masa lalu bagi karakter yang mungkin tidak akan lagi berpartisipasi dalam future films the Marvel Cinematic Universe dalam kapasitas yang penting? Well, tidak ada yang abadi dan Marvel Studios sangat paham akan hal itu, dan lewat film ini mereka justru membuka pintu baru bagi karakter Black Widow. ‘Black Widow’ : a cute family drama comedy.


TV Series Review: Alice in Borderland - Part 3 (Felina)

“You toy with people's feelings, betray, and kill each other.”

Kota Tokyo “menghilang”, mayoritas penduduk tidak diketahui keberadaannya kini namun beberapa di antara mereka “tertinggal”, salah satunya seorang pria muda bersama dua sahabatnya. Mereka mendapati Shibuya Crossing yang lima menit sebelumnya sangat hiruk pikuk tiba-tiba kosong, begitupula di berbagai sudut kota Tokyo yang kini tampak seperti kota mati. Pria muda tersebut kemudian menyadari bahwa dirinya bagian dari orang yang “tertinggal” yang terpilih untuk berpartisipasi di dalam sebuah permainan mengerikan, karena semakin banyak permainan yang diselesaikan maka semakin lama pula kesempatan mereka untuk dapat hidup. 


Movie Review: Simulation Theory Film (2020)

They will not control us, and we will be victorious.

Menyebut diri mereka sebagai “trashy three-piece” grup band rock asal Inggris satu ini, Muse, dapat dikatakan merupakan salah satu dari mungkin beberapa band yang seperti tidak pernah kehabisan akal cara “bergembira” dengan musik yang mereka ciptakan. Berangkat dari alternative rock style mereka kemudian melebarkan sayap, progressive, space rock, hingga electronica di mana lirik mereka kerap mengandung barisan kata yang mencoba untuk membakar spirit hingga menembakkan kritik. Ini bukan film dokumenter tentang band Muse, melainkan sebuah concert film yang merekam aksi Muse di O2 Arena. Tapi ada yang gila dan spesial di sini. ‘Simulation Theory Film’ : a psycho hysteria madness.


Movie Review: A Quiet Place Part II (2021)

“Run!”

Ratusan orang dibuat terdiam di dalam studio bioskop ketika saya menonton film pertamanya, A Quiet Place, sama seperti judulnya kala itu sukses besar menyiksa penontonnya dalam bentuk permainan catch and run namun bersama kondisi sunyi yang mampu membuat atmosfir cerita jadi terasa mencekam. Ada sensasi yang unik dari film pertamanya itu, thrill berkualitas tanpa gemuruh serta horror yang hanya mengandalkan makhluk alien tanpa eksplorasi yang terlalu jauh terhadapnya. Film keduanya ini hadir sebagai sebuah kelanjutan, sempat tertunda satu tahun akhirnya dapat menyapa penontonnya masih dengan tetap menggunakan formula yang sama. ‘A Quiet Place Part II’ : another horror with intense terror, in silence.


Movie Review: The Tomorrow War (2021)

“We are fighting a war. Our enemy is not human.”

Kamu sepertinya tahu sebuah teori bahwa alien atau makhluk asing dari luar bumi saat ini sedang mencoba mendirikan atau membangun rumah baru mereka di bumi, yang bahkan katanya terdapat beberapa pihak manusia yang sadar akan hal tersebut. Teori yang tentunya lekat dengan kesan konspirasi tersebut digunakan sebagai dasar bagi konsep yang coba diusung oleh film ini, military science fiction about a crazy mission to save the human race. ‘The Tomorrow War’: a time-travel action sci-fi living on borrowed material.


Movie Review: Sputnik (2020)

“I don’t know, but he’s definitely not from earth.”

Alien itu sebenarnya ada atau tidak? Lantas kalau memang eksistensi mereka nyata adanya di luar angkasa sana, apa yang akan kita lakukan sebagai manusia jika suatu saat mereka akhirnya menemukan “jalan” untuk masuk ke dalam wilayah kita, yakni bumi? Di berbagai film dengan tema serupa, termasuk berbagai film superhero, alien digambarkan sebagai sosok berbahaya, tapi bagaimana jika mereka ternyata dapat dijinakkan dan diubah menjadi senjata? Sputnik (Спутник) : a Russian science-fiction horror film.


Movie Review: Stowaway (2021)

“What we need is oxygen.”

Dapatkah Mars menjadi pengganti Bumi? Colonization of Mars, sebuah gagasan yang jawabannya saat ini semakin gencar ditelusuri oleh para ahli di bidang astronomi. Sesuatu yang tidak heran memang jika pada akhirnya manusia mulai berusaha untuk mencari “rumah baru” di luar bumi, terlebih dengan ditunjang teknologi yang terus berkembang pesat. Tapi tentu di balik penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh space agencies seperti NASA, ESA, hingga SpaceX, ada trial and error di dalam proses menemukan jalan terbaik mencapai kolonisasi di mars. ‘Stowaway’ : a vanilla sci-fi. (Warning: the following post might contains mild spoilers)