Showing posts with label Germany. Show all posts
Showing posts with label Germany. Show all posts

Movie Review: I'm Your Man (2021)

“Tom is programmed to fulfill my needs.”

Mayoritas orang berharap pasangan hidupnya akan sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. Ya, itu sebenarnya semakin mudah untuk terjadi saat ini, manusia semakin dimudahkan untuk “menemukan” sosok yang ingin dipilih sebagai pasangan hidup berkat sosial media dan online dating platforms di mana kamu dapat menentukan kriteria tertentu yang harus sesuai dan juga terpenuhi oleh calon pasanganmu tersebut, mencoba menemukan pasangan yang “tepat” dan telah diperhitungkan menggunakan algoritma. Bagaimana jika pasangan paling tepat dapat “diciptakan” oleh teknologi penuh rumus agar sesuai dengan keinginan kamu? Sebuah ide cerita yang menarik dan dikembangkan menjadi sebuah sci-fi romance manis oleh film dari Jerman ini. I'm Your Man’ : a charming and thought-provoking screwball comedy.


Movie Review: The Audition (2019)

“What counts is hearing the notes before you play them.“

Setiap orang memiliki mimpi, ambisi, dan obsesi mereka masing-masing, tapi kadang hidup tidak memberimu jalan yang mudah untuk dapat mewujudkan ketiga hal itu. Kerena ketika mereka menjadi tidak terkendali maka tantangan yang kamu jalani akan bertemu dengan tekanan dalam berbagai bentuk, salah satunya gejolak emosi. Di film ini seorang guru musik menemukan talenta yang ia anggap sebuah permata yang harus ia poles agar dapat semakin bersinar, celakanya itu ternyata pintu masuk bagi berbagai masalah muncul di dalam hidupnya setelah selama ini bersembunyi. ‘The Audition (Das Vorspiel)’ : a Whiplash with violin.


Movie Review: System Crasher (Systemsprenger) (2019)


“Benni. Don’t kill him, okay?”

Anak usia dini merupakan manusia-manusia muda yang berada di fase paling rapuh di dalam lingkaran kehidupan, mereka ibarat gelas kaca yang dapat mudah pecah akibat tindakan yang salah. Yang dibutuhkan oleh mereka selain cinta dan kasih sayang adalah lingkungan dan tentu saja orang tua yang tidak hanya sekedar mampu melindungi mereka saja namun juga memberikan support terhadap tumbuh kembang emosi yang mereka punya. Karena trauma di usia yang sangat muda adalah sesuatu yang sangat berbahaya, dan ketidakberdayaan ketika masih menjadi anak-anak merupakan sebuah malapetaka. ‘System Crasher (Systemsprenger)’ : a lovely and haunting catastrophe.

Review: Toni Erdmann (2016)


Perkembangan jaman memang membawa manusia bergerak maju untuk bertemu berbagai hal baru yang lebih canggih dan lebih modern namun di sisi lain hal tersebut tidak jarang pula menghasilkan sisi negatif. Ambisi yang lebih besar membuat tekanan juga menjadi lebih besar, dampak dari tekanan tersebut beraneka ragam salah satunya membuat manusia terkadang lupa bagaimana cara menikmati hidupnya serta what’s worth for living. Hal tersebut yang digambarkan dengan sangat baik oleh film yang menjadi wakil negara Jerman di kategori Best Foreign Language Film at the 89th Academy Awards ini, Toni Erdmann, a sweet combination between funny and heartwrenching.

Review: Things to Come [2016]


Ketika kamu bertemu dengan kegagalan dan kemudian dirundung rasa sedih serta menyesal apa yang biasanya kamu lakukan? Banyak opsi memang, salah satunya memikirkan hal-hal aneh seperti berharap agar kamu dapat memutar kembali waktu untuk mundur dan menghindar dari kesalahan yang kamu lakukan. Secara logika tidak ada reset button di dalam kehidupan nyata, itu mengapa mereka mengatakan yesterday is a memory dan yang harus kamu lakukan selanjutnya adalah melangkah maju, hadapi tidak peduli seberapa berat rintangan yang menantimu. Hal tersebut terkesan "berat", right? Film ini menggambarkan hal tersebut dengan cara yang tidak berat, Things to Come ( L'Avenir), a story about dealing with the evils of human existence.

Review: Phoenix (2014)


"It’s late, darling it’s late, the curtain descends, everything ends too soon, too soon."

Selalu menyenangkan memang saat menyaksikan sebuah film yang mampu membuat penontonnya bukan hanya sekedar mengamati apa yang terjadi di hadapan mereka tapi juga seolah terlibat didalam cerita, masuk dan dikunci untuk kemudian dilepaskan kembali dengan rasa gembira ketika film tersebut telah selesai. Christian Petzold berhasil melakukan itu di Barbara, dan di film terbarunya ini ia mengulang kesuksesan tersebut dengan Phoenix, sebuah drama post-Holocaust dengan power kuat yang meninggalkan penonton dengan horror emosi dan psikologi.

Review: Suck Me Shakespeer (2013)


Dibalik judulnya yang terbilang aneh bahkan terasa sedikit kontroversial (dalam bahasa Jerman berjudul Fack ju Göhte), film ternyata berhasil meraih satu slot di ajang German Film Academy Awards pada kategori tertinggi, best picture, dan dari segi komersial ia juga membukukan pendapatan yang besar tahun lalu. Awalnya saya berpikir profit yang ia peroleh lebih berdasarkan judul yang ia gunakan, tapi ternyata Suck Me Shakespeer punya hal lain yang lebih dari itu, yang sayangnya punya pengaruh dalam kuantitas sangat kecil.

Review: Love Steaks (2013)


Film independent asal Jerman ini mungkin adalah salah satu pilihan tepat jika kamu mencari film tentang cinta dalam bentuk yang tidak begitu biasa. Materi yang ia gunakan memang tidak ada yang baru, tapi disini Jakob Lass berhasil menggunakan segala materi standard itu untuk menjadikan Love Steaks perjalanan cinta yang bukan hanya menyenangkan, tapi juga terasa segar, lucu, dipenuhi dengan aksi-aksi random seorang wanita bersama dengan Joaquin Phoenix doppelganger yang uniknya disamping mampu membuat dirinya tampak menarik tapi juga tidak begitu saja melupakan tema cinta yang ia bawa. Seperti judulnya, ini adalah daging steaks yang sedap untuk disantap.

Movie Review: Wetlands (Feuchtgebiete) (2013)


"Can you poop on my stomach?"

Ketika selesai menyaksikan film ini ada sebuah perasaan di mana saya seolah menemukan sebuah koin tanpa pemilik di sebuah arena bermain, iseng mencoba memasukkan koin tersebut kedalam jackpot machine dan berakhir dengan tiga gambar yang identik. Seperti hadiah menyenangkan yang datang tanpa diduga, sebuah hiburan yang disaksikan tanpa sebuah ekspektasi yang tinggi namun ketika berakhir ia berhasil membuat penonton seolah dihajar habis-habisan karena telah meremehkannya. Wetlands (Feuchtgebiete), a sweet wtf coming-of-age with crazy nymphomaniac girl. Oh, pizza. Oh, pizza. (Warning: review contains strong language and image).

Movie Review: Wadjda (2012)


Apakah anda tahu bahwa Arab Saudi tidak memiliki tempat bersenang-senang yang biasa kita sebut bioskop? Saya juga baru tahu beberapa tahun yang lalu dari seorang sahabat, dan kala itu reaksi saya hanya sebuah kalimat, “Oh, oke,” karena pikiran saya langsung terarah pada sistem yang mereka terapkan. Itu mengapa ketika muncul berita bahwa Arab Saudi untuk pertama kalinya memutuskan ikut serta dalam pertarungan Best Foreign Language Oscar, Wadjda seketika menarik atensi dengan satu pertanyaan, apa yang ia miliki sehingga dapat meluluhkan salah satu negara konservatif yang sangat religius dengan aturan ketat tersebut.

Movie Review: Oh Boy (2012)


Oh Boy adalah sebuah sensasi bulan april yang lalu pada perhelatan German Film Award yang diberi label sebagai Oscar bagi perfilman Jerman. Berhasil memenangkan enam perhargaan dari sembilan nominasi yang ia peroleh, menundukkan kompetitor mega budget bernama Cloud Atlas hingga Lore dalam kategori best film, yang menarik ini justru adalah film debut dari sutradara bernama Jan-Ole Gerster. Terinspirasi dari lirik A Day in the Life milik John Lennon, Oh Boy adalah petualangan tragicomedy selama satu hari yang absurd, ringan, dan menyenangkan, ketika tragis dan melankolis berpadu dengan manis.

Movie Review: The Silence (Das letzte Schweigen) (2013)


Ada kalimat “hadapi semua masalah dengan senyuman”, namun sebenarnya itu saja tidak cukup. Senyuman adalah tampilan fisik yang dapat di rekayasa, tidak menjadi penggambaran dari kondisi nyata seseorang. Anda perlu faktor lainnya, rasa tenang. The Silence (Das letzte Schweigen) berhasil menjadi sebuah sajian menarik yang membuktikan teori tersebut, sebuah perpaduan efektif dari crime, thriller, dan juga drama, film yang menjadikan Memories of Murder sebagai inspirasi utamanya.

Movie Review: Barbara (2012)


Masih ada langit di atas langit. Kalimat tadi mungkin dapat menggambarkan secara singkat dan jelas bahwa terdapat tingkatan imaginary yang membagi semua elemen di bumi berdasarkan variabel tertentu. Salah satunya adalah pilihan, dimana ketika anda di hadapkan pada dua permasalahan dan harus mengambil keputusan, anda jelas akan mempertimbangkan tingkat prioritas dari dua opsi tadi berdasarkan besarnya kepentingan yang mereka punya.  

Movie Review: Goodbye First Love (2011)


Salah satu tolak ukur dari berhasil atau tidak sebuah film dengan genre drama dan romance bagi saya adalah apakah film tersebut berhasil mengajak saya untuk ikut merasakan apa yang karakter rasakan dengan cinta mereka, seolah terpenjara dalam kisah mereka. Hal tersebut berhasil saya temukan dari kisah seorang gadis berusia 15 tahun bernama Camille (Lola Créton), yang selalu tampak mudah untuk terbakar api cinta dari kekasihnya Sullivan (Sebastian Urzendowsky). Namun, suatu ketika Sullivan memutuskan pergi ke Amerika Selatan, untuk melanjutkan eksperimennya.