23 September 2014

Movie Review: The Maze Runner (2014)

"If you ain’t scared, you ain’t human."

Sesungguhnya banyak alasan mengapa film young-adult dengan tema dystopia terbaru ini tampak meragukan, berasal dari sektor pendanaan yang ia miliki, jadwal rilis yang seolah menghindar dari hingar bingar summertime dan akhir tahun yang selalu menjadi sasaran lezat meraup keuntungan, begitupula dengan hype yang dapat dikatakan hanya besar dikalangan mereka yang telah membaca novelnya. Tapi dibalik berbagai hal pesimistis tadi film ini mampu untuk tidak menjadi kemasan sci-fi post-apocalyptic terbaru yang membuat penonton mulai jenuh dengan sub-genre tersebut. The Maze Runner, a not bad introduction.

Pria muda bernama Thomas (Dylan O'Brien) langsung dihantui rasa bingung ketika ia mendapati dirinya telah berada disebuah tempat misterius, sebuah perkampungan kecil yang berada tepat ditengah labirin berukuran raksasa yang mengelilinginya. Thomas bahkan pada awalnya tidak mengetahui namanya sendiri, hal yang juga pernah dialami oleh puluhan anak laki-laki lain yang menyebut diri mereka the Gladers, mereka yang telah terlebih dahulu terdampar disana dengan cara yang sama, melalui sebuah elevator yang mereka sebut The Box, kemudian bangun, lupa ingatan, dan bingung.

Para penghuni terdahulu terus melakukan metode yang sama untuk mencari jalan keluar, di bawah pimpinan Alby (Aml Ameen) mereka mengirimkan sekelompok pelari yang dikomandoi oleh Minho (Ki Hong Lee) untuk masuk kedalam labirin yang berubah bentuk secara periodik itu di pagi hari dan kemudian pulang menjelang malam hari. Formula yang terus menjebak itu ternyata tidak berhasil menangkap Thomas, yang kemudian membawa perubahan bagi mereka yang menghasilkan masalah lain yang ikut melibatkan dua sosok penting lainnya, Newt (Thomas Sangster Brodie) dan Gally (Will Poulter).


Ketika anda tahu bahwa sebuah film punya materi yang mumpuni untuk mempermainkan rasa penasaran dan membawa anda kedalam petualangan penuh kompleksitas tingkat tinggi, tapi ternyata yang kemudian hadir dihadapan anda adalah kombinasi tadi dalam kualitas satu grade dibawah ekspektasi, menjadikan ia tidak terasa sebagai sesuatu yang berbeda, satu kata yang tepat untuk mewakili situasi tersebut adalah mengecewakan. Mungkin sederhananya begitu apa yang saya tangkap dari pernyataan seorang rekan yang merupakan reader dari novel karya James Dashner yang menjadi basis kisah yang ditulis ulang Noah Oppenheim, Grant Pierce Myers, dan T.S. Nowlin ini. Lantas bagaimana dengan mereka yang bukan reader?

Jawabannya adalah tentu saja berbeda. Bukan berarti saya mengatakan jika anda penonton yang belum membaca novelnya anda akan dengan mudahnya menyukai petualangan sempit ini, tapi hanya dengan mengandalkan premis sangat menarik yang ia miliki (meskipun akan mulai terasa standard dengan populernya konflik serupa sekarang ini), apa yang Wes Ball tampilkan selama hampir dua jam itu mampu memberikan sebuah petualangan dangkal yang tidak membosankan. Ya, sedikit bingung juga sebenarnya dimana ketika melangkah keluar tidak ada perasaan jengkel seperti yang eksis di beberapa film young-adult serupa yang hadir belakangan ini (non Hunger Games tentu saja), ada petualangan cekatan yang cukup menyenangkan.


Ya, kalimat terakhir tadi itu mungkin bisa mewakili apa yang diberikan oleh The Maze Runner, hiburan standard yang cekatan. Ada daya tarik yang konsisten disini yang mampu menahan penonton untuk tidak pergi menjauh, kumpulan berbagai pertanyaan yang kehadirannya seperti menjadi pewarna yang sengaja ditempatkan di panggung utama, untuk kemudian menutupi berbagai minus yang mayoritas berasal dari miskinnya pesona yang ia punya. Upaya untuk bertahan hidup terus ditekan disini, misteri yang jika dicermati sebenarnya tidak terbangun dengan baik itu anehnya tetap mampu mencuri atensi, mondar-mandir dalam gerak cepat yang mungkin akan mengingatkan anda dengan beberapa games di gadget yang telah populer, menebar ketegangan yang tidak begitu buruk untuk menemani karakter yang seperti di set untuk selalu tampak bingung dan takut.

Standard memang, seperti daur ulang dengan berbagai sentuhan kecil dari pattern sci-fi dystopia yang uniknya menolak untuk mempermainkan penontonnya dengan kisah romansa. Ya, keputusan yang terbilang efektif memang, karena hingga akhir yang bermain di pikiran kita adalah labirin, jalan keluar, dan kebebasan yang menjadi impian dari karakter yang disini tidak dapat dipungkiri terasa charmless, terasa datar tanpa sebuah pertumbuhan yang mumpuni, terkesan hanya ditempel didalam cerita tanpa dipersenjatai dengan kompleksitas yang mumpuni dalam menghadapi konflik yang ada didepan mereka. Alur cerita juga banyak terbantu oleh thrill dari visual, bahaya dari kematian dan misteri perlahan terasa mengalami degradasi energi semakin jauh kita berjalan bersama mereka.


Sebut saja ini sebagai kemasan uji coba dari Fox yang mungkin sedang mencari pengganti di sektor ini dengan Percy Jackson yang masih belum jelas masa depannya itu, budget yang terbilang kecil, dan seperti yang dibahas diawal tadi ia tidak ditempatkan di time slot yang mumpuni. Mudah untuk menilai The Maze Runner hal tadi karena film ini seperti hanya ingin menggoda penontonnya, karena tidak ada rasa percaya diri yang kuat dari Fox pada film ini, upaya yang terlihat memang terlihat setengah hati, seperti hanya ingin agar kita berkenalan dengan karakter dan pondasi masalah yang mereka punya, dan kemudian menantikan film keduanya. Tidak heran divisi akting tidak punya performa yang standout, mereka hanya ditemani dengan kebingungan serta teror yang mayoritas datang dari scoring, dan juga visual yang telah menjadi keahlian Wes Ball.


Overall, The Maze Runner adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah kemasan uji coba yang kurang rapi yang hanya berniat mencoba menggoda penontonnya dengan petualangan standard dan cekatan, yang uniknya terasa cukup menyenangkan, sebuah perkenalan pada perjuangan bertahan hidup berisikan rasa takut dan bingung dari karakter yang memang tidak ingin terlihat megah dan hanya ingin menjauh dari segala kegagalan skala besar pada masalah umum yang identik dengan tema yang ia bawa. Standard, tapi cukup menyenangkan. Apakah anda tergoda untuk film kedua?






0 komentar :

Post a Comment