21 November 2014

Review: Kill the Messenger (2014)


"Can you keep a national secret?"

Drama thriller yang berada dibawah kendali sutradara yang pernah diberikan kepercayaan untuk memimpin beberapa episode tv-series Dexter dan Homeland ini memang berhasil menciptakan kesempatan bagi Jeremy Renner untuk memberikan penampilan terbaiknya setelah The Hurt Locker, tapi dominasi kesan ambigu pada materi yang Kill the Messenger punya ternyata juga ikut hadir pada rasa yang ia hasilkan bagi penontonnya.

Gary Webb (Jeremy Renner), merupakan seorang wartawan investigasi yang bekerja untuk San Jose Mercury Times, dan suatu ketika ia harus masuk kedalam sebuah masalah yang sangat berbahaya. Gary Webb sukses menemukan fakta peran dari CIA dalam memberikan bantuan kepada pemberontak di Nikaragua yang kemudian melakukan impor senjata dan kokain ke California. Dari sana berbagai masalah lahir, dari orang-orang yang menjadi bahan tulisannya yang memintanya untuk menghentikan investigasi, tapi penolakan yang Webb berikan justru menciptakan sebuah bom waktu yang dapat meledak dan mengancam karirnya. 



Kalau di umpamakan sebagai makanan, film yang di sutradarai oleh Michael Cuesta ini seperti makanan dengan rasa yang pas banget di lidah, tapi sayangnya kurang kuat untuk meninggalkan sensasi yang lebih lama ketika ia telah habis. Kisah yang di dasari dari buku dengan judul yang sama karya Gary Webb dan Nick Schou seperti perpaduan banyak rasa dimana diantara mereka tidak ada yang benar-benar standout berdiri sendiri, lebih condong saling bekerja sama. Hasilnya tentu saja baik, sebuah thriller dengan gaya tradisional yang bahkan sukses mencuri perhatian penonton dengan babak pertama yang penuh energi, dan kemudian membuat kita bertanya-tanya dengan hal-hal tentang jurnalisme yang kebenarannya berhasil mereka buat untuk terus terasa kabur, terasa ambigu.



Tidak cukup sampai disitu, kita juga punya alur cerita yang dapat dikatakan terasa presisi dalam mengembangkan masalah, meskipun memang dengan gerak yang terasa cepat menjadikan proses penyelidikan di beberapa bagian terasa kurang nikmat, walaupun terus mengalir dengan baik dan benar, serta momentum dan cengkeraman pada masalah juga terjaga dengan tepat. Kemudian tentu saja penampilan dari Jeremy Renner yang disini sejak awal hingga akhir selalu mampu membuka jalan bagi penonton untuk semakin mudah mengakses cerita, apa yang ia rasakan di transfer dengan sangat mudah kepada penontonnya, tekanan berat yang ia alami dapat kita rasakan, dan ketika momen-momen intens itu hadir kita juga ikut dibuat waspada olehnya.



Tapi kembali lagi ke paragraph sebelumnya, ketika ia berakhir seperti ada yang kurang dari Kill the Messenger, seperti ada yang tertinggal dan tidak berhasil melengkapi film ini untuk menjadi thriller yang benar-benar intens. Berbagai hal ambigu pada cerita seperti ikut menular kedalam cara film ini bercerita, ia terus berada di level yang aman, tidak pernah memberikan pukulan yang benar-benar tajam, ataupun drama yang benar-benar pahit atau manis. Cerita seperti terasa terbebani dengan berbagai hal yang harus ia paparkan kepada penonton, sehingga ia tampak sedikit kewalahan ketika kita menilik sensasi yang ia berikan, bahkan ketika narasi mulai mencoba membawa fokus masuk kedalam sisi personal karakter saya sempat merasa kehilangan power dari konflik utama.



Kill the Messenger sangat jauh dari status buruk, tapi juga tidak dapat dikatakan merupakan sebuah drama thriller yang benar-benar memukau, karena hasil ambigu itu merupakan dampak dari keputusannya yang sejak awal sudah bermain-main di zona ambigu tanpa sesuatu yang mampu menciptakan hit yang tidak hanya tajam ketika menyangkut masalah paranoia, dan seandainya beban yang ia bawa dapat sedikit dikurangi atau Michael Cuesta dapat mengendalikan beban yang ia miliki, film ini bisa saja menjadi sebuah drama thriller yang bukan hanya baik dalam bercerita tapi juga mampu menggunakan cerita untuk memberikan penonton cerita yang dinamis tapi juga penuh sensasi.







0 komentar :

Post a Comment