Showing posts with label movie review. Show all posts
Showing posts with label movie review. Show all posts

Movie Review: Hold Me Back (2020)

"Everyone is sad. Everyone is hiding a sad story."

We are sad generation with happy pictures. Tentu saja tiap masa punya masalahnya sendiri dan akan berdampak pada perubahan di generasi selanjutnya. Di Jepang ada yang namanya Satori generation, para kaum muda yang memilih melepaskan ambisi dan harapan karena tren ekonomi makro di sana, karir stagnan tidak masalah, solo-saturday jadi sesuatu yang lumrah, dan semakin banyak yang merasa tidak tertarik untuk menikah. Karakter utama film ini adalah seorang wanita yang dapat dikatakan bagian dari generasi tadi, no longer in her twenties ia menganggap rasa sukanya pada seorang pria yang lebih muda darinya as a dirty and pure tragedy. Di sepuluh menit pertama kamu bahkan diajak hanya melihat dia berbicara dengan dirinya sendiri. Hold Me Back’ : all we need is somebody to lean on.


Movie Review: Get Duked! (2019)


“I've never seen a murder before. I'm homeschooled!”

Jika kamu sudah menonton film ‘The Hunt’ yang rilis tahun ini (bukan film Denmark nominasi Best Foreign Language Film Oscars), maka bayangkan saja ini adalah versi lebih konyol dari film tersebut. Konsepnya sendiri sama, bahkan isu dan pesan yang coba ia sampaikan secara garis besar juga berada di kelas yang sama, namun film dengan judul alternatif ‘Boyz in the Wood’ ini tampil dengan cara yang lebih santai, lebih liar, lebih absurd, dan tentu saja lebih konyol, karena memang konsepnya sendiri adalah sebuah sindiran ceria dengan komedi sebagai jualan utamanya. ‘Get Duked! (Boyz in the Wood)’ : a playful satire that hit the target right.

Movie Review: The Mermaid (2016)


"Being invincible is lonely, so lonely. Being invincible is empty, so empty."

Dirilis di China pada tanggal 8 februari 2016, sepuluh lebih satu hari karya terbaru dari Stephen Chow (Shaolin Soccer, Kung Fu Hustle, CJ7) ini sudah berhasil meraih predikat sebagai the highest-grossing Chinese film of all time. Ya, all time, bukan hanya di tahun 2016, hanya dalam kurun waktu 11 hari. Apa faktor yang menyebabkan kesuksesan tersebut berhasil The Mermaid raih? Karena Stephen Chow? Journey to the West: Conquering the Demons saja tidak berada di level yang sama. Penyebabnya adalah karena The Mermaid berhasil menampikan kekonyolan dengan eksekusi yang serius, dan membawa elemen serius mencapai target utamanya dengan cara bersenang-senang bersama banyak hal konyol, mo lei tau dengan eksekusi yang terkendali. The Mermaid: nasty, messy, goofy, crazy, but tasty comedy.

Review: The Other Side of the Door (2016)


"Look mummy Oliver came back"

Salah satu “formula” paling standar dari cerita sebuah film horror adalah karakter diberikan sebuah aturan di mana jika ia melanggar maka akan timbul masalah bahkan bencana yang besar dan berbahaya, tapi dasar karakter tersebut memang nakal serta didorong rasa ingin tahu bahkan tekanan yang begitu besar maka ia melanggar aturan tersebut. Boom, muncul bencana. Diperingatkan untuk tidak masuk ke hutan “berbahaya” malah nekat dan masuk ke dalam hutan, diminta untuk mengikuti aturan ketika merawat sebuah boneka malah menganggap remeh dan mengabaikan aturan. The Other Side of the Door seperti itu pula, jangan buka pintu terlarang tapi dasar nakal malah dibuka, dan hadirlah sebuah supernatural horror yang (cukup) oke.

Review: Tumbledown (2016)


"Turn the page, start a new chapter."

Cinta memang memiliki kekuatan dan kemampuan yang luar biasa, ia tidak hanya mampu membuat kamu menjadi positif dari posisi awal positif, cinta juga mampu mengubah kamu yang awalnya negatif menjadi positif. Fungsi klasik cinta itu yang coba digambarkan oleh film ini, Tumbledown, si wanita terjebak masa lalu, si pria menolong untuk move on, berpadu dengan humor dan hati menjadi sebuah rom-com yang tidak menyengat.

Review: The Program [2015]


"Attack without mercy, keep your head down and don't look back."

Dari kesuksesan mengalahkan kanker ganas hingga menjadi juara dunia balap sepeda dengan pencapaian tujuh gelar bergengsi Tour de France secara berturut-turut, sulit untuk tidak mengagumi sosok bernama Lance Armstrong, ikon besar di dunia balap sepeda yang sama seperti Michael Phelps di olahraga renang prestasi yang ia capai begitu mudah meninggalkan impresi “too good to be true” bagi penonton dan mulai mempertanyakan bakat miliknya. The Program mencoba menggambarkan sosok yang berhasil mengubah rasa kagum menjadi shock besar di tahun 2012 yang lalu ini, saint to sinner, sebuah "kecurangan" besar dalam sejarah olahraga.

Review: The Finest Hours (2016)


"We all live or we all die."

Apakah kamu ingin menciptakan sebuah disaster drama? Caranya gampang, masukkan karakter kedalam masalah, berikan mereka tantangan di dalam masalah, up and down sembari tetap ciptakan impresi bahwa ada celah kecil yang harus mereka ubah menjadi besar untuk dapat selamat. Terkesan gampang memang dan faktanya memang gampang jika kamu hanya sebatas ingin menciptakan produk yang formulaic, sebuah produk yang tidak ingin mencoba menjadi sebuah disaster drama yang berbeda dari film-film lain yang telah mencoba melakukan hal serupa. The Finest Hours seperti itu, ia bahagia menjadi kemasan yang biasa.

Review: The Priests [2015]


Menemukan film misteri dan horror yang mampu membuat penontonnya kaget atau terkejut itu sangat mudah, yang tidak mudah adalah menemukan yang tidak cuma sekedar mampu mencengkeram penonton namun juga menyuntikkan rasa realisme sehingga perlahan berhasil membuat penonton merasa yakin bahwa ada hantu atau setan di dalam cerita. Film supernatural thriller asal Korea ini berhasil melakukan hal tersebut, The Priest (Geomeun Sajedeul), sebuah treatment yang manis dan efektif terhadap isu dan genre dengan menggunakan aksi pengusiran setan sebagai senjata utamanya.

Review: Dirty Grandpa (2016)


"Party 'till you're pregnant!"

Jika para aktor dan aktris yang telah berlaga di berbagai penghargaan film, bahkan mereka yang telah berhasil memenangkan posisi tertinggi diberikan pertanyaan apa yang mereka cari dari pekerjaan sebagai aktor dan aktris, maka akan lebih mudah menemukan mereka yang menjawab uang sebagai pilihan utama. Jennifer Lawrence telah menggenggam Oscars namun meraih uang dengan di The Hunger Games serta X-Men, bahkan Leonardo DiCaprio yang mungkin soon-to-be Oscars winner mengatakan “I don’t rule out anything” untuk role di film superhero. Strategi dalam memilih film merupakan sesuatu yang sangat krusial, sayangnya Robert DeNiro kurang tepat dalam mengatur strategi dan memilih tampil di film ini, an autopilot disaster.

Movie Review: Surat Dari Praha (2016)


"Lebih baik katakan apa adanya bila memang rindu."

Ini merupakan satu pertanyaan klasik yang pasti akan selalu menimbulkan perasaan bingung serta jawaban yang beragam:  apa makna cinta bagi anda? Apakah cinta harus memiliki, menuntut usaha dan totalitas untuk diraih karena waktu takkan mampu berpihak pada perasaan yang meragu dan mencoba menunggu? Atau apakah cinta tidak harus memiliki, sebatas bahagia melihat yang anda cintai bahagia bersama yang lain meskipun kemudian anda harus berteman sepi dan berkawan kelam karena percaya bahwa daun saja tidak sia-sia jatuh ke bumi? Pertanyaan tadi yang “dipermainkan” dengan manis oleh film ini, Surat Dari Praha, an understated love story.

Review: The Dressmaker [2015]


"I'm back, you bastards."

The Dressmaker seperti sebuah pizza dengan topping yang beraneka ragam. Dari judulnya hal pertama yang terlintas di pikiran kamu mungkin adalah tentang fashion yang memang menjadi pusat utama cerita namun materi itu tidak sendirian, kamu akan menemukan komedi dengan nada hitam, sebuah misteri tentang pembunuhan, hingga kisah asmara yang sensual. Tapi menariknya film yang juga mengusung kisah balas dendam ini walaupun bermain dengan ledakan tetap terasa hangat, seorang wanita yang menggunakan pendirian kerasnya ingin membantu orang-orang di sekitarnya untuk berubah menjadi lebih baik. Ini seperti Chocolat yang menikah dengan fashion dan menjadi liar.

Review: The Boy [2016]


"Be good to him and he will be good to you."

Chucky, Billy the Puppet, Annabelle, menggunakan boneka sebagai senjata baik itu yang bersifat pendamping hingga sebagai senjata utama untuk mencoba meneror penontonnya merupakan sesuatu yang selalu menarik dari sebuah film horror. Tapi kembali lagi ke dasar utama, mereka sebuah boneka sehingga perlakuan serta cara membentuk yang harus diberikan kepada boneka-boneka itu harus benar-benar tepat terutama pada menciptakan impresi menyeramkan dan menakutkan yang mereka miliki. The Boy mencoba menggunakan boneka sebagai senjata utamanya, namanya Brahams (jangan di pisah), tapi ternyata tidak meneror melainkan menjadi boneka bodor. 

Review: Anomalisa (2015)


"Our time is limited, we forget that."

Anomali yang memiliki definisi sebuah penyimpangan terhadap sesuatu yang biasa/normal/umum dalam suatu lingkungan tertentu memiliki dua dimensi, yaitu dimensi fisik dan perilaku. Anomali dari dimensi perilaku merupakan perilaku yang menyimpang atau aneh dan ganjil dari perilaku yang biasa atau umum secara pribadi, individu, atau sosial. Well, sepintas terkesan sederhana memang, tapi bagaimana jika penyimpangan itu membuat kamu perlahan mulai menilai bahwa semua manusia di bumi kecuali kamu merupakan sosok yang sama? Anomalisa mencoba bermain-main dengan hal tersebut.

Review: Ride Along 2 (2016)


"My nerves is bad, man! Oh my God! Here, zombie! Headshot, Walking Dead!"

Dua tahun lalu Ride Along kala itu berhasil meraih rekor sebagai the highest domestic opening weekend gross di bulan Januari, dan dengan modal $25 juta berhasil meraih pencapaian box office sebesar $154.5 juta, enam kali lipat dari budgetnya. So, dengan kesuksesan tersebut sekuel tentu menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari karena secara tidak langsung Ride Along telah berhasil menjadi sebuah mesin pencetak keuntungan yang menjanjikan. Tapi bukannya dirawat mesin itu justru menemukan kendala besar di sekuelnya, yang tentu saja tidak tampil dengan nama berbeda, Ride Along 2.

Review: The 5th Wave [2016]


Mari sambut satu lagi film young adult bertemakan bencana dunia yang mencoba peruntungannya untuk menembus pasar yang dapat dikatakan kini kembali sengit setelah di tinggal pergi oleh jagoannya, The Hunger Games. Haha, apakah kamu belum lelah? Jika belum silahkan coba film yang mengusung gelombang serangan dari alien sebagai materi utamanya ini, but warning, The 5th Wave is a “mean” adventure with member of Mean Girls, sebuah film bencana yang terlalu lembut.

Review: Visions [2015]


Sejak tahun 2009 lalu Blumhouse Productions menerapkan konsep yang “gila” sebagai sebuah production house, ciptakan film sebanyak mungkin dengan konsep murah dan generik seolah nothing to lose dengan hasil yang akan mereka peroleh. Telah memproduksi 42 buah film dan berhasil menyulap budget menjadi berkali-kali lipat dengan pencapaian tertinggi Paranormal Activity, sistem daur ulang yang Blumhouse Productions terapkan kembali coba dilakukan oleh Visions, horror yang murah dan generik.

Review: The Danish Girl (2015)


"And it was the strangest thing. It was like kissing myself."

Jika harus digambarkan dengan menggunakan pengandaian, The Danish Girl ibarat sebuah daging kualitas sangat baik yang dapat dimasak hingga matang namun akhirnya disajikan kepada konsumen dalam kondisi setengah matang. Bukan, bukan karena ia tidak punya api untuk memasak daging tersebut hingga matang tapi karena koki yang merasa ragu atau cemas daging menjadi gosong dan memilih bermain aman. Seperti itu The Danish Girl, sama seperti Trumbo ini merupakan sebuah film biografi yang understated, tapi hasil akhirnya membuat penonton bergumam I like it, but I don’t love it.

Review: Mustang (2015)


"This time the house really turned into a prison."

Cukup sulit memilih isu apa yang Mustang  miliki untuk digunakan dalam bagian pembuka ini, karena ia punya banyak misi terkait diversity dan liberty yang semuanya terasa menarik. Dari masalah gender, cinta, hingga budaya yang justru tampak seperti penjara, semua dikemas oleh film Turki yang dipilih oleh Prancis sebagai wakil mereka di kategori Best Foreign Language Film pada ajang 88th Academy Awards ini, dalam satu kesatuan yang konsisten bermain-main dalam ketenangan yang mencekam namun ketika ia selesai, boom, there’s a bullet, hadir sebuah punch sangat kuat yang membuat penonton bergumam “ini cantik, ini indah”. Beautifully disturbing experience. The Virgin Suicides reborn with Rapunzel. One of my favorite movies of the year!

Review: Legend (2015)


"Me and my brother, we're gonna rule London!"

Bukankah menggunakan kata legenda sebagai judul film sudah menunjukkan bahwa film tersebut memiliki rasa percaya diri yang tinggi? Ya, benar, tapi terdapat makna lain selain itu, bisa sebagai cover misalnya untuk menutupi kekurangan yang ia miliki. Legend punya tiga hal yang ingin ia sampaikan, ia berniat memberikan kamu kekerasan penuh ketegangan dan ancaman, ia ingin memberikan kamu kisah cinta dengan bumbu asmara, dan ia ingin menggambarkan moral serta martabat dengan menggunakan perubahan. Pertanyaan setelah itu hanya satu, apakah Legend berhasil menjadi legenda?

Review: The 33 (2015)


"I knew this place was dangerous!"

Kecelakaan pertambangan Copiapó yang terjadi pada tahun 2010 merupakan salah satu perisitiwa menakutkan yang dapat membunuh 33 penambang yang terperangkap di bawah tanah. Usaha penyelamatan yang memakan waktu 69 hari menjadi perhatian dunia kala itu, dan fakta bahwa 33 orang penambang tadi berhasil tetap hidup dan selamat dari maut yang siap menghampiri mereka kapanpun itu menjadi sebuah kisah perjuangan hidup yang inspiratif. Jangan heran lima tahun kemudian muncul film yang berusaha menggambarkan kembali kisah yang memang layak dibawa ke layar lebar tersebut. Masalahnya adalah apakah The 33 mampu menghadirkan magic dari kisah ajaib tersebut?