12 January 2013

Movie Review: Silver Linings Playbook (2012)


Pada umumnya ada dua tipe orang dari cara ia menghadapi suatu masalah. Ada mereka yang menghadapi dan mencoba langsung menyelesaikan permasalahan itu, tapi ada pula yang justru memilih lari dari masalah yang di hadapinya, walau untuk sejenak. Ya, sejenak, karena masalah itu mungkin akan datang kembali menghampiri anda. Don't run from your problems unless you're a fast runner.

Pat (Bradley Cooper), mengalami gangguan mental (bipolar order), yang mengakibatkan ia sering mengalami perubahan mood secara tiba-tiba. Menjalani perawatan selama 8 bulan, Pat kembali ke rumah orang tuanya, Pat Sr. (Robert De Niro) dan Dolores (Jacki Weaver). Tujuan utama Pat adalah untuk mengembalikan kehidupannya ke jalan yang benar, dan itu dimulai ketika ia berupaya untuk rujuk kembali dengan mantan istrinya, Nikki (Brea Bree), masa lalu kelam bagi Pat, sebuah sosok yang meninggalkan luka menyakitkan pada hidup Pat. 

Uniknya, Pat tetap percaya bahwa ia tidak butuh medicine untuk dapat sembuh secara total, dan memilih berkonsultasi dengan seorang psikiater, Dr. Cliff Patel (Anupam Kher). Untungnya ia bertemu Tiffany (Jennifer Lawrence), adik dari Veronica (Julia Stiles), istri temannya Ronnie (John Ortiz), yang baru saja menyandang status janda dan juga kehilangan pekerjaannya. Tiffany membantu sahabat barunya itu, dengan imbalan Pat harus bersedia menjadi pasangannya di sebuah kompetisi, yang menjadi awal dari petualangan ditemani cinta dan duka. 


Silver Linings Playbook (SLP) menjadi sebuah pelajaran dalam durasi 122 menit, yang akan menuntun anda untuk menyaksikan bahwa relationship adalah sebuah kapal yang berisikan hubungan dua insan, dengan dua orang nahkoda. Ya, kenikmatan itu terjadi ketika anda menemukan orang yang mampu menyatu dengan anda, mau melakukan hal-hal gila bersama, bukannya seorang pemimpin yang dapat menjaga dan mengontrol anda sepenuh waktu, karena relationship adalah sebuah tim yang saling mengisi satu sama lain.

David O. Russell sukses mengolah materi dari novel karya Matthew Quick yang ia punya, mampu membentuk tema utama yang sedikit gelap menjadi sebuah tampilan visual yang berhasil tampil lucu, serius, dan juga romantis, tanpa membuat anda merasakan jalan cerita yang terlalu berat. SLP adalah contoh dimana film bergenre rom-com dapat menjadi sangat menarik tanpa harus tampil berlebihan. Ya, SLP berada di zona yang sangat aman, dengan jalan cerita yang sebenarnya sangat mudah ditebak, namun ia mampu tampil lucu tanpa terasa terlalu murahan, dan disisi lain ia juga berhasil menciptakan kondisi yang serius dari cerita.

SLP adalah salah satu film yang mampu menjadikan saya lupa waktu meskipun ia punya durasi yang panjang untuk ukuran sebuah rom-com. Dengan tempo yang terjaga sepenuhnya sejak menit pertama ia bergulir, SLP menghadirkan banyak momen menarik berisikan dialog-dialog berkualitas. Hal tersebut semakin terbantu berkat penampilan apik yang diberikan jajaran cast-nya, dari Cooper, Lawrence, De Niro, Weaver, hingga Chris Tucker, yang selalu mengejutkan ketika ia hadir, walaupun sesungguhnya ia tidak begitu penting bagi cerita.


SLP memang tidak punya cerita yang menjadikan anda untuk terus berpikir terlalu serius bersamanya, ini lebih terasa seperti sebuah rom-com yang ingin mengajak penontonnya bersenang-senang melalui dua karakter “gila” yang ia punya, tapi hebatnya tidak pernah gagal pada cara ia berjalan dan menyampaikan pesan yang diemban. Memang terdapat beberapa keanehan yang tercipta, contoh kecilnya seperti kehadiran Pat yang terasa sangat kuat dan gila di awal, namun mulai kehilangan ciri khas tersebut di pertengahan film.

Tidak ada karakter yang sangat dominan dalam film ini. De Niro punya kesempatan yang cukup besar, dan berhasil ia manfaatkan dengan baik. Begitu pula dengan Weaver yang minim dialog setelah bagian pembuka, namun menjadikan anda tetap menaruh perhatian pada Dolores ketika chaos itu muncul. Ini bukan The Hunger Games yang bertumpu pada Katniss. SLP adalah sebuah paket berisikan tim yang bekerja sama saling membantu untuk menyampaikan pesannya kepada anda lewat cara yang lucu, serius, dan gila.

Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri jika couple utama dari film ini yang menjadi sebuah magnet yang sangat kuat. Lawrence merupakan kebalikan dari Cooper, yang diawal menghadirkan Pat dengan segala kegilaannya, namun perlahan mulai menjadi normal dan sedikit menurun. Di kesempatan pertamanya hadir di layar Lawrence menghadirkan sebuah pertanyaan kepada saya, "cuma ini?". Ya, dia memulainya tanpa sebuah momen yang megah. Tapi seiring semakin jauhnya film ini bergerak, Lawrence mulai menunjukkan kelasnya. Dengan perlahan ia membentuk Tiffany menjadi sangat sangat menarik, mampu menyatu dan membentuk chemistry bersama Cooper. Dan, yang terpenting Lawrence tidak menjadikan sosok Tiffany terlalu dominan sehingga tidak menutupi peran Cooper pada cerita.


Overall, Silver Linings Playbook adalah film yang sangat memuaskan. Predictable memang, namun SLP menutupi hal tersebut dengan semua “kecerdasan” yang ia tampilkan, layaknya poster yang ia miliki. SLP adalah paket lengkap berisikan komposisi yang simple dan renyah. SLP adalah salah satu hypnotize movie, film yang menjadikan saya malas untuk mencari kelemahan yang ia punya secara detail, karena telah merasa terpuaskan dengan apa yang telah ia berikan. Call me crazy, but this one is seriously a crazy good movie who can make me crazy thinking about them.

Score: 9/10

3 comments :

  1. anying aku baru nonton ini. Keren~!


    Meskipun di tengah agak boring, dan gampang ketebak.. apalagi tentang surat itu~..

    well, i have to say you're crazy enough by give it 9/10 score
    Hahaha,

    Pelajaran yang didapet film ini:
    Kadang kita bisa lebih gila dari orang gila

    :)))

    ReplyDelete
  2. @Adhitya Teguh Nugraha: hahaha, iya bener, crazy, soalnya kombinasi gelap dan terang yang dia punya menarik, memorable. :D

    ReplyDelete
  3. rom-com ? romantic comedy maksudnya?

    aku ngga dapet feel comedy nya sama sekali padahal euy

    ReplyDelete