06 February 2013

Movie Review: A Good Day to Die Hard (2013)


John McClane (Bruce Willis) tampaknya masih belum lelah diusianya yang sudah layak menyandang panggilan kakek. Celakanya, sahabat karibnya yang bernama “masalah” juga masih setia mendampingi McClane. Sebuah gedung (check), bandar udara (check), bahkan sebuah kota telah pernah menjadi lahan bermainnya. Kali ini McClane menaikkan levelnya, terbang untuk berlibur ke Rusia, tanpa lupa membawa sahabat karibnya.

Sesampainya di Rusia, sebuah kabar mengejutkan telah menanti McClane. Anaknya yang bernama Jack (Jai Courtney) ternyata merupakan seorang agent CIA, yang di hari kedatangan McClane ternyata sedang berusaha kabur dari penjara bersama Komarov (Sebastian Koch). Komarov adalah “kunci” yang coba di lindungi oleh Jack untuk menggagalkan usaha pencurian senjata nuklir. Liburan itu ternyata tahu apa kegemaran McClane, yang kemudian bergabung bersama Jack untuk mencoba menggagalkan misi tersebut.

Hmmm, apa yang anda harapkan dari film yang menyandang Die Hard pada judulnya? Jawabnya mungkin adalah sebuah sajian yang menawarkan adegan aksi penuh kegilaan dari karakter utamanya yang juga gila. Hal tersebut juga terjadi pada saya. Sejak awal fokus utama saya adalah adegan tembak sana, tembak sini, hancurkan sana, hancurkan sini. Ya, harapan saya memiliki porsi yang kecil untuk mendapatkan sebuah kepuasan dari segi cerita dari film Die Hard, karena produk utama yang ia jual bukan itu.


A Good Day to Die Hard masih memakai pattern yang sama. John Moore akan membawa anda ke lahan bermain McClane yang kali ini membuat kerusuhan di kota Moskow, dengan santainya melindas puluhan mobil berisikan penumpang, hingga menyaksikan sebuah truk berlapis baja menghantam dengan keras sebuah truk bermuatan beton. Yep, itu indah, itu menarik, itu lucu, dan itu menyenangkan. Dengan dana yang besar John Moore berhasil membentuk banyak scene menarik yang mampu menciptakan nuansa kacau yang sejak awal telah menjadi misi utama film ini.

Sayangnya, semua kegembiraan yang ia sajikan melalui tampilan visual tadi tidak didukung dengan cerita yang baik, mungkin kasarnya dapat dikatakan sebuah cerita yang bahkan tidak dapat dikategorikan “cukup cerdas”. Skip Woods sepertinya hanya punya satu cara, dan celakanya ia tampak sangat senang dengan cara tersebut. Layaknya G.I. Joe: Rise of Cobra, dan mungkin The A-Team, Woods menyusun alur cerita yang sejak awal sudah tampak mengunci setiap karakter. Ya, tidak ada ruang bagi mereka untuk berkembang, diawal dia A, diakhir dia tetaplah A. Hal tersebut pula yang menjadikan saya tidak merasakan kehadiran sebuah klimaks yang memikat di akhir cerita.

Ya ya, saya tentu saja masih ingat dengan ucapan saya diawal tadi, tapi apa yang diberikan A Good Day to Die Hard dari segi cerita justru berada diluar ekspektasi awal saya. Berharap untuk setidaknya dapat berada di level yang sama dengan Live Free or Die Hard, film ini justru menurunkan standar yang telah pendahulunya itu ciptakan. Mencoba untuk menciptakan ruang bagi adegan aksi, Woods justru lupa dengan beberapa elemen cerita, mungkin terasa kecil dan dapat terlupakan, namun akan tampak konyol bagi mereka yang sedikit cermat. Seorang polisi masuk ke negara yang telah lekat dengan hukum yang kuat, menghancurkan berbagai infrastruktur, namun tidak disertai respon dari pemerintah negera tersebut? Haha, joke. Sekelompok orang dengan pelindung tubuh dilengkapi masker masuk ke kawasan Chernobyl yang terkenal sangat berbahaya, dan dengan heroik dua “superhero” muncul tanpa merasakan efek apapun? Haha, another joke.


Tentu saja pasti akan ada film dengan kekuatan cerita yang tidak mumpuni, dan mencoba menutupinya dengan menghibur anda melalui adegan aksi. Jika anda sudah tahu hal itu, anda juga pasti sudah mempersiapkan diri untuk memaafkan kelemahan yang mereka buat. Ya, kelemahan cerita yang film ini miliki masih dalam batas yang dapat dimaafkan, namun sayangnya tidak akan mudah untuk dilupakan, tapi tidak dengan score-nya yang sangat mengganggu itu. 

Meskipun punya beberapa joke yang berhasil bekerja dengan baik, AGDDH gagal mengeksekusi beberapa konflik kecil yang sebenarnya maskud yang ia ingin sampaikan dapat anda ketahui dengan mudah. Hubungan ayah dan anak yang gagal, hingga shocking moment melalui karakter Irina (Yuliya Snigir) dan Alik (Radivoje Bukvic) yang kurang nendang. Mencoba menyentuh tapi gagal, mencoba tampil heroik dan kembali gagal. Jika anda merupakan bagian dari mereka yang dapat memaafkan beberapa kelemahan yang film ini miliki, saya jamin anda akan sangat menikmati film ini. Namun sayangnya saya tidak dapat melupakan kekonyolan yang film ini berikan.

Untung saja Die Hard memiliki Bruce Willis, yang kali ini memilih untuk tampil lebih santai. Tapi, semakin jelas bahwa Willis mulai kerepotan untuk membawa franchise Die Hard sendirian di bagian yang kelima ini. Fokus utama yang tidak begitu kuat pada Willis menjadikan kejutan-kejutan yang coba disuntikkan juga tidak bekerja dengan baik. Karakter lain tidak berhasil mendukung Willis, termasuk Jai Courtney yang gagal menciptakan chemistry seorang anak dengan ayahnya. Sebuah lubang yang harus ditutup oleh penerusnya.


Overall, A Good Day to Die Hard adalah film yang kurang memuaskan. Sebagai penonton netral yang bukan seorang die-hard fan dari franchise Die Hard, AGDDH merupakan sebuah penurunan dari kesuksesan yang McClane capai enam tahun lalu. Masih dengan pattern yang sama, adegan aksi yang tidak dapat dipungkiri sangat menyenangkan, tapi celakanya tidak disertai komposisi cerita yang apik, bahkan lebih lemah dari pendahulunya. Hey, yippie ki-yay, i think for you it’s a good day to die, hard?


0 komentar :

Post a Comment