15 March 2013

Movie Review: Beyond The Hills (După dealuri) (2012)


God gives us what we need, not what we want. Salah satunya adalah masalah, sesuatu yang mayoritas dari kita pasti tidak senang untuk menerimanya. Namun dia ternyata telah menjadi bagian dari cara sang pencipta membentuk umatnya, semakin percaya kepada-Nya, atau mungkin bahkan menyelamatkan jiwa lainnya untuk masuk ke dalam jalan menuju kehidupan yang Ia ajarkan. Namun semua rasa percaya pada-Nya itu dapat menciptakan sebuah masalah pada mereka yang hanya berpikiran satu arah.

Alina (Cristina Flutur), datang ke biara di sebuah bukit yang bahkan tidak mendapatkan aliran listrik, untuk menemui sahabat lamanya ketika masih sekolah,Voichita (Cosmina Stratan). Tujuan utama Alina adalah untuk meminta bantuan Voichita agar menolongnya kembali ke Jerman, mendapatkan kembali pekerjaan disana, namun meminta Voichita untuk ikut bersamanya. Sayangnya Voichita ternyata telah berubah, menjadi seorang biarawati yang sangat taat pada agama, dan juga pada pemimpin biara yang mereka sebut Father (Valeriu Andriuta).

Hal tersebut semakin membuat Alina merasa frustasi, karena ia justru merasa seolah menjadi orang yang sangat kotor dimata para penghuni biara. Bahkan Voichita yang menolak tawarannya untuk kabur meminta Alina untuk bergabung menjadi anggota biara, dalam upaya untuk membawa Alina ke jalan yang benar. Dari sifat Voichita yang telah berubah, diminta untuk mengakui dosa, ditambah tekanan mental yang selama ini terus menghantuinya, Alina meledak dan akhirnya melakukan pemberontakkan yang merepotkan semua penghuni biara, sebuah pemberontakkan yang ia sebut berasal dari sebuah suara yang terus memberi tahu ia apa yang harus dilakukan.


Banyak pelajaran tentang agama yang disebarkan film ini, memang terkesan segmented, namun Beyond The Hills justru mengemas materi tersebut dengan sudut pandang yang sangat umum meskipun ia memakai agama Katolik sebagai media utama ia berbicara. Tidak terasa fanatisme yang kental, namun justru akan membawa anda kembali menyadari bagaimana seharusnya cara hidup yang "benar" menurut sang pencipta lewat sindiran-sindiran halus dan tajam yang ia tampilkan disetiap dialog.

Tapi itu hanyalah pondasi awal yang film ini miliki, karena tujuan utama film ini tentu bukan untuk menyebarkan ajaran agama, melainkan menggunakannya sebagai perantara untuk membawa penontonnya menuju pada pemahaman yang selalu di ajarkan semua agama, yaitu percaya pada sang pencipta, namun menggoyang prinsip tersebut dengan banyak pertanyaan yang halus namun menghujam. Film ini seperti mempertanyakan ajaran agama lewat Alina, dimana apakah hanya agama yang dapat membawa anda kedalam keselamatan? Ya, saya pernah mendapatkan mata kuliah umum yang membahas masalah ini, dan saya sangat suka ketika pertanyaan itu muncul.

Bukan berarti saya, dan mungkin banyak orang lain yang berpikiran sama, tidak percaya pada Tuhan dan juga agama yang merupakan media yang Tuhan sediakan. Namun jika seorang yang percaya pada-Nya namun selalu berbuat jahat, sedangkan disisi lain seorang atheis yang tidak percaya Tuhan namun selalu berbuat baik, siapa yang lebih layak mendapatkan tempat yang indah di alam baka? Ini yang saya suka dari cara Cristian Mungiu mengembangkan pertanyaan tersebut dengan memanfaatkan sebuah kisah nyata yang terjadi tahun 2005 silam itu. Mungiu membuat film ini berjalan pelan, membentuk konflik utama dari yang awalnya kecil menjadi semakin besar, dan menyuntikkan pertanyaan-pertanyaan penuh provokasi yang diselipkan secara implicit lewat dialog-dialog panjang.


Ini film yang mengasyikkan, bahkan sudah terlihat dari perpaduan premisnya yang berani dengan judulnya sendiri yang secara tersirat seperti sebuah petunjuk pada penontonnya akan sesuatu yang tersimpan dibalik sebuah hal besar yang telah lama seolah menjadi aturan kuat yang tidak berani untuk dibantah. Melemparkan dua ideologi untuk bertarung diarena utama, di ekplorasi dengan pertanyaan yang kontroversial, berjalan pelan dan semakin membuat penontonnya merasa ngeri berbalut sembari terus bertanya, dan ditutup dengan cara yang mengejutkan namun sukses membuat mata mereka yang mungkin sangat fanatik menjadi sadar dan bertanya apakah "media" itu selalu benar?

Memang tampak sederhana, tapi dengan memanfaatkan cerita yang tersusun dengan rapi, Beyond The Hills justru sanggup meninggalkan impresi yang dalam ketika ia berakhir dengan sebuah layar kosong berwarna hitam. Apa yang Mungiu berikan, ketika ia dengan sabar membawa anda masuk kedalam sebuah kisah mengerikan, menjerat anda dengan berbagai provokasi yang dibalut nuansa gelap, secara konstan meningkatkan tensi cerita, sehingga layar kosong di akhir cerita tadi sukses memberikan waktu bagi penontonnya untuk mengolah semua pertanyaan yang telah ia berikan. 

Ceritanya kuat, cinematography yang ia punya juga mumpuni, tapi Cosmina Stratan dan Cristina Flutur adalah dua dalang yang menjadikan film ini mampu mengalir tanpa hambatan. Mereka berdua punya kekuatan yang sama, mampu menjadikan saya terus menanti aksi yang akan mereka lakukan. Flutur dengan Alina yang terus menghadirkan pertanyaan dari tujuan utama dari semua kekacauan yang ia ciptakan, apakah benar ada roh lain yang menemaninya, ataukah ia hanyalah wanita muda yang tertekan secara mental. Stratan dengan Voichita yang tampak kuat diawal, tapi mulai goyah seiring berjalannya waktu.


Overall, Beyond The Hills adalah film yang memuaskan. Sederhana, baik dari tampilan teknis maupun premis cerita. Semua menjadi menarik karena Mungiu tahu meletakkan porsi dari tiap konflik pendukung yang ia punya, baik dari Alina yang dianggap gila, Voichita yang tampak berada di pihak netral, hingga Father yang bersama penghuni biara terus berpegang teguh pada ajaran yang mereka anut. Film ini ibarat sebuah pelajaran menggunakan dua ideologi yang bertarung untuk memperoleh sebuah pembuktian yang mereka ingin sampaikan. Jika anda suka dengan pertanyaan utama yang ia lempar, anda akan mudah menikmati semua yang ia berikan.


0 komentar :

Post a Comment