18 April 2013

Movie Review: After Lucia (Después de Lucía) (2012)

 

Sebuah pukulan keras dan telak yang mendarat di wajah anda pasti akan terasa sangat menyakitkan, awalnya. Namun luka itu punya batasan waktu dalam kehadirannya menemani anda, yang dengan teknologi terkini bahkan mungkin dapat hilang tanpa meninggalkan jejak kehancuran sama sekali. Tapi itu tidak akan terjadi pada sebuah pukulan keras dan telak yang menghujam sisi psikologis anda, karena ia akan menetap di memori yang tidak bisa dihapus semudah menekan Ctrl+D dan tombol delete.

Alejandra (Tessa Ía González), seorang gadis berusia 17 tahun yang sedang berada dalam tahap menuju dewasa, bersama ayahnya, Roberto (Hernán Mendoza) pindah dari Puerto Vallarta ke Mexico City. Alasan utama kepindahan mereka memang adalah karena ayahnya yang berprofesi sebagai chef akan bekerja di sebuah restoran baru, namun disamping itu mereka juga sedang mencoba lari dari sebuah kisah kelam. Dengan cepat Alejandra mulai beradaptasi di lingkungan barunya, memperoleh lima orang teman baru yang friendly sehingga menjadikannya merasa seperti berada dilingkungan yang tidak asing baginya.

Sayang, hal itu justru bertolak belakang dengan hubungan Alejandra dengan ayahnya, tidak akrab dan bahkan mungkin terlalu dingin. Hal yang tidak seharusnya dimiliki dalam hubungan orang tua dan anak itu membawa masalah bagi mereka. Roberto masih terus berada dibawah bayang-bayang tragedi yang merenggut nyawa istrinya, Lucia, sedangkan Alejandra justru terjebak terlalu jauh dalam lingkungan barunya yang ternyata tidak sesuai ekspektasi awalnya, alih-alih untuk membantu dirinya keluar dari masa lalu kelam, namun justru membawanya kedalam bullying yang mengerikan.


Sedikit skeptis dibagian awal, saya terkejut dengan apa yang diberikan oleh After Lucia seiring durasi yang terus berjalan. Mungkin ini juga banyak dialami oleh penontonnya, dimana ia berjalan pelan dan memberikan konflik yang masih sangat luas sehingga menghadirkan pertanyaan apa yang hendak film ini berikan. Ya, di awal ia seperti masih bermain di zona antara terang dan gelap, memberikan anda situasi tenang yang awkward, kemudian sisi terang melalui kisah seorang siswa baru. Hal tersebut semakin bertambah besar dengan penggunaan kamera statis yang Michael Franco terapkan, menjadikan anda seolah merasa ikut terjebak bersama Alejandra dan memberikan ruang bagi penonton untuk menilai sendiri secara objektif.

Ini menyedihkan, After Lucia sebenarnya adalah film yang menyedihkan. Seorang ayah dan anak perempuannya yang sudah di temani beban dari masa lalu mereka, justru mendapatkan permasalahan baru yang jelas bukan menjadi tujuan utama dari kepindahan mereka. Michael Franco cermat dalam membagi porsi dari konflik yang ingin ia berikan, dan menempatkannya dalam sebuah alur cerita yang sempit namun sangat efektif dalam menggambarkan kehancuran yang karakter alami. Keputusan yang paling menarik adalah bagaimana ia memberikan tekanan psikis terhadap Alejandra secara perlahan, sehingga memberikan waktu yang luas bagi para penontonnya untuk meresapi besarnya beban yang dialami Alejandra.

Tidak tahu faktor x apa yang tiba-tiba menghampiri, saya perlahan mulai merasa mellow dalam memberikan respon pada cerita yang dihadirkan oleh Franco. Ya, Franco sukses membawa saya seolah menjadi pihak yang punya ikatan kasih sayang dengan Alejandra, baik sebagai seorang ayah, saudara, sahabat, hingga pacar. Rasa sakit itu terasa sangat kentara, bagaimana ketika anda tidak mengetahui fakta bahwa anak/saudara/pacar anda di bully dengan sangat kejam tanpa memberikan respon apapun. Saya sendiri heran mengapa saya bisa begitu terjebak dengan karakter Alejandra, dimana pada beberapa bagian saya bahkan memalingkan wajah karena tidak mampu menyaksikan penyiksaan psikis yang ia alami.


Seperti yang saya singgung diawal, After Lucia seperti sebuah pertunjukkan yang menawarkan banyak ambiguitas pada pesan yang ingin ia sampaikan. Apakah ia ingin menunjukkan akibat dari hubungan orang tua dan anaknya yang tidak terjalin dengan baik? Apakah ia ingin menunjukkan hukuman yang merupakan dampak dari sebuah keputusan bodoh? Atau apakah ia ingin memberi tahu penontonnya bahwa mereka tidak mungkin bisa lari dari memori kelam di masa lalu? Hal-hal tadi terus berputar bersama penantian akan hal buruk yang bahkan sudah diantisipasi.

Franco punya cerita yang sempit namun kuat, dan ia juga tampak sangat percaya diri dalam mengontrol narasi dan membentuk elemen-elemen intimidasi tanpa terasa terlalu memaksakan agar para penontonnya harus mengerti apa yang ingin ia berikan. Ia seperti melemparkan masalah, hukuman, dan rasa putus asa dalam sebuah kesatuan dan mempersilahkan penontonnya untuk memberi penilaian mereka masing-masing. Banyak ruang yang tersedia buat penonton untuk melakukan itu, karena disamping penjelasan yang singkat dan padat, pilihannya dalam menggunakan kamera yang diam dan fokus juga ikut memberikan kontribusi yang signifikan. 

Kekecewaan yang saya rasakan dari film ini terletak pada cara ia menutup semua hal mengganggu yang telah ia hadirkan sebelumnya. Masih ambigu, dimana pertanyaan-pertanyaan tadi seperti tertinggal tanpa sebuah jawaban tunggal yang kuat. Mungkin terlihat bijaksana, dimana ia seperti ingin memutus rantai kekerasan dengan cara yang simple, namun simpati yang telah saya taruh pada Alejandra, dan semua penyiksaan psikis yang ia alami menjadikan saya menginginkan sesuatu yang lebih kejam sebagai bentuk pembalasan ketimbang apa yang Franco berikan.

Tessa Ía González adalah bintang baru yang menjanjikan. Tessa mampu membentuk Alejandra menjadi karakter yang dengan mudah menarik perhatian dan simpati penontonnya. Begitupula dengan ekspresi yang ia tampilkan dalam menghadapi bully, hingga ketegaran dalam menahan tekanan. Hernán Mendoza sukses menjalankan perannya sebagai tokoh pendamping yang menjadi sumber dari masalah utama. Sedangkan para pemeran teman dari Alejandra menjadi sebuah kelompok yang sanggup menghadirkan kekejaman dari sebuah tekanan psikis. 


Overall, After Lucia adalah film yang memuaskan. Jujur saja film ini tidak megah, namun Michael Franco sanggup menghadirkan sebuah kisah heartbreaking yang berani dan tegas dengan cara yang sederhana dan bekerja dengan efektif. Meskipun dipenuhi ambiguitas, dampak yang diberikan film ini sangat besar dan bahkan mungkin dapat bertahan lama di memori para penontonnya. After Lucia seperti sebuah alarm yang coba menyadarkan kembali anda betapa pentingnya komunikasi dalam kehidupan kita. Sayang ini adalah studi karakter yang segmented, love it or hate it.



0 komentar :

Post a Comment