21 May 2013

Movie Review: The Great Gatsby (2013)


“Reserving judgments is a matter of infinite hope”

Mari membuka review ini dengan tidak membahas betapa terkenalnya novel yang menjadi pondasi film ini, The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald, yang sudah menjadi sebuah informasi yang umum. Yang lebih menarik justru makna dari kalimat diatas, salah satu kutipan favorit saya dari novel tersebut yang juga menjadi pesan utama yang ingin disampaikan film ini, dimana berasal dari sebuah keraguan yang berpadu dengan kesabaran, lahirlah kesempatan yang memberikan ruang untuk hadirnya sebuah kebahagiaan.

Semua berawal dari Nick Carraway (Tobey Maguire), seorang pria lulusan Yale yang akibat diagnosis yang ia terima sebagai pecandu alkohol justru memperoleh sebuah aktifitas baru, menuliskan sebuah cerita yang berisikan pengalaman hidupnya yang ia anggap paling berkesan. Tapi, bukannya menuliskan kisah yang menceritakan dirinya sebagai tokoh utama, Nick justru menuliskan kisah ketika ia pindah ke New York, bertemu dengan sepupunya bernama Daisy Buchanan (Carey Mulligan), Tom Buchanan (Joel Edgerton), suami Daisy, yang juga mempertemukannya dengan sahabat Daisy, Jordan Baker (Elizabeth Debicki).

Menjual obligasi, bertemu kerabat, namun rasa ingin tahu Nick justru terperangkap pada sebuah rumah megah tepat disamping rumah yang baru ia beli. Pemiliknya adalah Jay Gatsby (Leonardo DiCaprio), pria kaya raya dan misterius, sosok yang diyakini punya harta melimpah yang dapat membeli seluruh kota. Suatu ketika Nick diundang ke pesta besar yang selalu diselenggarakan Gatsby, yang anehnya belum pernah memakai sistem undangan dimana semua orang bebas untuk hadir. Ternyata ada motif terselubung dibalik atensi Gatsby kepada Nick, membakar kembali api asmaranya yang pernah padam dengan cara yang elegan, yang celakanya terjadi dengan sepupu Nick.


Yang pertama harus anda waspadai adalah Baz Luhrmann, dimana bagi mereka yang pernah menyaksikan Moulin Rouge!, atau bahkan yang paling terkenal Romeo + Juliet, apa yang diberikan oleh Luhrmann mungkin tidak akan memberikan efek mengejutkan. Ya, Luhrmann masih hadir dengan “cara” yang ia punya, out of the box tanpa perduli dengan sinkronisasi jaman dan cerita pada elemen teknis, bergerak bebas dengan totalitas tinggi penuh rasa percaya diri. Mempermudah proses pengenalan Jazz Age dengan mengunakan musik hip-hop modern, setting pesta yang megah penuh warna-warni memanjakan mata, namun anehnya tidak menciptakan rasa terganggu pada penonton yang justru menjadikan proses pengenalan itu menjadi efektif.

Hal yang semakin menambah rasa kagum pada Luhrmann adalah meskipun ia mengubah cerita itu menjadi sebuah puisi teatrikal bernafaskan fantasi yang penuh warna, disisi lain Luhrmann  tidak mengkhianati dasar yang ia miliki, meskipun akan bersifat subjektif jika berbicara tentang keterkaitannya dengan esensi utama yang ingin disampaikan oleh F. Scott Fitzgerald dalam novelnya. Ada kisah cinta elegan dan terhormat yang dingin dan penuh rasa ragu, ada unsur ekonomi yang digambarkan dengan baik melalui visual antara si kaya dan si miskin, hingga konsekuensi atas harapan yang tidak dibungkus kokoh dengan sebuah ketegasan. Hal-hal tadi tersampaikan dengan baik, meskipun menggunakan cara implisit.

Yak, secara implisit namun mudah dimengerti, semua berkat keberhasilan Luhrmann membangun cerita ditahap awal. Pelan, sabar, dan disertai beberapa kejutan, ia seperti mencoba mengajak penontonnya untuk bersama-sama masuk kedalam proses penciptaan dunia Gatsby, sehingga anda seperti merasa menjadi salah satu karakter dalam cerita yang ikut mendampingi Nick mengamati perjuangan cinta tersebut. Ini berhasil, terlebih karena sosok Gatsby diawal cerita yang digambarkan penuh misteri, dibantu hiruk-pikuk pesta yang fantastis dan intens. The Great Gatsby seperti punya nilai positif yang lengkap, narasi yang baik, visual yang manis, dan keberhasilan Luhrmann dalam mengolah semua ide yang ia punya menjadi komponen yang membentuk satu kesatuan yang solid.


Tapi The Great Gatsby itu seperti dua dunia yang dalam satu cerita. Ketika pesta itu usai, anda kemudian akan masuk kedalam dunia cerita yang jauh lebih serius dan lebih gelap. Sebenarnya ini adalah keputusan yang menarik dari Luhrmann, seolah ia ingin membuat anda merasakan bahagia penuh tawa di paruh awal dengan tujuan utama agar anda dapat semakin merasakan dalamnya kesedihan yang akan ia hadirkan selanjutnya. Sayang sekali keputusan tersebut justru menodai kesuksesan yang telah ia ciptakan sebelumnya, karena keinginan tersebut tidak semua berhasil bekerja dengan baik.

Sumbernya adalah ketika misteri dari Gatsby telah terkuak, ia masuk kedalam cerita, namun celakanya DiCaprio gagal merebut posisi terdepan sebagai fokus utama cerita. Dampaknya sangat besar, terlebih pada kisah asmara yang coba ia bangun bersama Mulligan, dimana kisah tersebut tidak mampu menggeser daya tarik dari hubungan Gatsby dan Nick yang telah tercipta sejak awal, terlebih karena daya tarik Nick sendiri yang terjaga dengan baik. Dua karakter utama seperti mulai kehilangan nyawa mereka, hampa kekurangan energi, yang meskipun tidak menjadikan saya merasa sebal namun perlahan mulai merasa lelah karena ketidakmampuan mereka hadir menarik ditengah cerita yang memang sengaja dibuat berputar-putar.

Nilai minus tadi juga merupakan efek domino dari keputusan Luhrmann dan Craig Pearce untuk memberikan kesempatan pada narasi dari Nick untuk secara dominan hadir, menyampaikan kepada penontonnya apa yang karakter rasakan. Cukup membantu memang, namun itu menjadi rusak ketika ia muncul di momen penuh emosional. Jika dalam novel anda menyerap kata demi kata untuk mendapatkan feel maksimal, dalam film anda menggantinya dengan proses pengamatan visual. Narasi tadi merusak proses tersebut, dampaknya tentu pada tingkat kepedulian saya pada karakter. Unsur romance dapat saya rasakan, namun terasa terlalu dangkal jika dibandingkan kegigihan yang ditunjukkan oleh Tom.

Jajaran cast jika ditilik sebagai sebuah tim memberikan kinerja yang memuaskan. Ini hasil dari kemampuan mereka secara individu menaikkan daya tarik karakter mereka walau untuk sesaat. Duo karakter utama di menangkan oleh DiCaprio, dimana ia mampu menjaga rasa ragu itu tetap hidup hingga akhir. Mulligan bermain ciamik, menjadikan karakternya yang rapuh dan kosong menjadi objek yang menarik. Maguire dan Edgerton adalah yang paling stabil, Edgerton dalam menjaga daya tarik Tom, dan Maguire sukses menjalankan cerita yang bahkan dibeberapa bagian mampu hadir diposisi terdepan. Jason Clarke dan Isla Fisher berhasil memanfaatkan durasi singkat yang mereka punya. Dan, Elizabeth Debicki, scene stealer yang selalu menarik perhatian, sangat hidup ketika pesta namun mampu menciptakan keheningan ketika ia diam.   


Overall, The Great Gatsby adalah film yang memuaskan. Luhrmann menciptakan dua dunia, sedikit free diawal, dan serius diakhir. Sebuah misteri berjalan bersama pesta penuh warna dengan tampilan visual 3D yang mengasyikkan diawal, full of fun, berhasil. Kisah asmara di paruh kedua, menarik namun tidak maksimal. Pesan utamanya tersampaikan dengan baik, namun perjuangan cinta itu terasa kurang intens akibat permainan emosi yang terasa terlalu dangkal. A satisfied movie, not bad, not great. Well done old sport.












0 komentar :

Post a Comment