18 June 2013

Movie Review: A Wedding Invitation (2013)


“Because your smile is the sweetest thing in the world.”

Cinta, adalah salah satu ciptaan Tuhan yang absurd. Berawal dari perasaan pribadi, muncul rasa kagum, menyatukan berbagai perbedaan, cinta akan berakhir pada banyak makna yang subjektif. Ada yang menyebut cinta adalah perjuangan, cinta adalah petualangan yang menyenangkan, cinta adalah sebuah pengorbanan, bahkan ada yang menyebut cinta sebagai sebuah rasa manis ditengah perjalanan penuh siksaan. A Wedding Invitation, sebuah rangkuman kecil pada makna cinta lewat kisah yang klasik, efektif, dan cengeng.

Li Xing (Eddie Peng), mencoba mendekati seorang siswi yang gemar menyendiri di kala istirahat, He Qiao Qiao (Bai Baihe), bahkan melakukan upaya yang cukup berani dengan menukar bekal makanan mereka. Li Xing seperti tahu betul apa yang di inginkan oleh semua wanita, perhatian serta rasa nyaman. Terbukti lima tahun berikutnya mereka berdua telah resmi menjalin hubungan asmara, yang sayangnya mengalami sebuah belokan yang cukup tragis akibat ambisi dari mereka berdua untuk mengejar impian mereka.

Qiao Qiao ingin menjadi desainer, dan Li Xing ingin menjadi seorang koki di sebuah restoran besar. Beijing dan Shanghai, QiaoQiao dan Li Xing mulai membangun impian mereka, dimana Li Xing bahkan mengikuti sebuah kontes memasak. Namun ada sebuah perjanjian yang mereka buat sebelum berpisah, dimana lima tahun berikutnya tepat dihari yang sama, mereka harus menikah jika masih belum mempunyai pasangan. Qiao Qiao masih menyimpan asa tersebut, sayangnya harus hancur dalam sekejap ketika Li Xing menelponnya, bukan untuk menanyai kabar, melainkan untuk mengundangnya hadir di acara pernikahannya.


Sebagai penonton anda sebaiknya tidak mengharapkan akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari premis yang disajikan oleh Qin Hai Yan. Meskipun lupa judulnya, namun “cara” seperti ini sudah pernah ditampilkan oleh beberapa film sebelumya, dengan mengangkat tema cinta yang terhalang, bersama sebuah kunci berupa kalimat “let's meet bla bla years from now.” Namun disini keunggulan dari sebuah drama romantic, dimana anda sudah tahu formula yang akan ia hadirkan, berbagai opsi sempit yang predictable, tapi tetap mampu memberikan sebuah rasa penasaran dengan fokus utama pada bagaimana kemampuan mereka mengaduk-aduk sisi emosional para penontonnya.

Ya, klasik, namun Oh Ki-hwan berhasil. Tidak megah memang namun tetap mampu menghadirkan elemen utama yang mungkin menjadi harapan utama mayoritas penonton ketika menyaksikan film ini. Sebenarnya cerita yang film ini miliki cukup sempit, dan di beberapa bagian bahkan terasa sedikit berlebihan dan terasa sangat kaku, namun Oh Ki-hwan sanggup menutupi kelemahan tersebut di sektor teknis yang mampu menciptakan sebuah arena bermain yang tepat guna. Kisah cinta yang modern dibentuk dalam sebuah kemasan yang mellow khas Korea, klise, semua berada di level yang baik dalam eksekusi yang ia terima, sehingga suasana senang dan sedih dapat dengan sangat mudah diterima oleh penontonnya (ya, sebaiknya anda sediakan tissue).

Sayang memang, karena A Wedding Invitation punya potensi yang lebih besar ketimbang apa yang ia sajikan. Dibagian awal anda seperti dijanjikan sesuatu yang menarik dengan pergerakan cerita yang cukup cepat, terkesan efisien meskipun tidak begitu kuat. Sebenarnya ini adalah bagian yang paling menarik dari film ini, paruh pertama dimana karakter wanita masuk kedalam kehidupan baru pria yang ia cintai, yang kini telah didampingi wanita lain. Kondisi strange hingga awkward berhasil digambarkan dengan baik, terlebih dengan kesuksesannya membangun tiang dari cerita utama.

Namun Qin Hai Yan sepertinya bukan tipe orang yang suka bermain aman, dimana ia tampaknya ingin berupaya sangat kuat untuk menjadikan paket klise ini menjadi sebuah suguhan yang besar, contohnya dengan menghadirkan sebuah twist besar setelah film berjalan kurang lebih satu jam. Tidak tampak seperti sebuah tipuan, namun belokan itu yang justru merusak kisah dan ekspektasi yang telah ia bangun dengan sangat baik sebelumnya. Beberapa cerita seperti di paksakan untuk hadir sebagai upaya untuk menjadikan film ini semakin padat, yang celakanya beberapa diantara mereka menjadi sumber hal-hal konyol menggelikan, seperti penilaian juri kontes memasak tanpa menyentuh makanan? Joke? Garing. 

Keputusan kurang tepat lainnya adalah merubah warna cerita dalam seketika menjadi sangat mellow, meskipun mampu menghadirkan permainan emosi yang menarik namun itu justru lebih di dasarkan pada rasa empati anda kepada karakter berkaitan dengan cerita yang telah dibentuk, bukan karena anda merasakan kekuatan cinta skala besar yang dua karakter tersebut miliki. Perpindahannya memang halus, namun tidak sanggup menjaga daya tarik kisah cinta ini sama baiknya ketika ia sedang dibangun. Paruh akhir seperti menyaksikan sebuah basa-basi yang cukup gila untuk di labeli buruk, tapi tidak dapat dipungkiri sedikit membosankan.

Keberhasilan Oh Ki-hwan membentuk berbagai elemen film ini ditengah kekurangan yang ia miliki ikut terbantu berkat kinerja dari pemeran utamanya. Eddie Peng dan Bai Baihe sama-sama tampil menarik ketika mata mereka dipenuhi air mata, namun Bai Baihe mutlak menjadi pemenang, dari tugasnya sebagai pusat cerita, hingga bagaimana ia menjadi sumber utama sisi gelap dan terang, serta suka dan duka yang dimiliki film ini. Eddie Peng punya tugas yang sama namun berada satu level dibawahnya. Sedangkan dua karakter lainnya, Zhou Rei (Pace Wu) dan MaoMao (Jiang Jin Fu) tidak buruk sebagai pion yang bertugas membuka jalan.


Overall, A Wedding Invitation adalah film yang cukup memuaskan. Tampil baik dan dibentuk dengan menarik dibagian awal, A Wedding Invitation mendadak berubah menjadi menjengkelkan ketika ia menghadirkan sebuah twist yang mengejutkan. Bukan karena ceritanya yang hancur, namun eksekusi yang kurang apik sehingga feel dari tiap adegan kurang maksimal, cerita dibagian akhir juga kurang mampu mengaduk sisi emosional. Tentu saja anda akan dapat merasakan kekuatan cinta dari film ini, namun sayangnya tidak menjadikannya sebagai memorable movie, hanya sebatas disposable movie.



2 comments :

  1. I completely disagree with you.. It's definitely not a disposable movie.. It's a movie who taught you about unconditional love...

    ReplyDelete
  2. @annedarmawan.com: I can see the "unconditional love" thing, unchanging love, and great commitment. But for me movie not just about the main message, and as a "movie package" AWI not that great, not memorable with a great things, just a disposable movie. Everybody has their own standard and pov, that’s good. :)

    Thanks btw Anne.

    ReplyDelete