28 April 2014

Movie Review: In Fear (2013)


"It's just your imagination playing tricks."

Tersesat ketika sedang menuju suatu tempat karena kehilangan arah tentu bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi jika hal tersebut telah didahului dengan rencana indah yang telah disusun dan sedang menanti untuk diraih. Kasus sederhana itu yang coba ditawarkan oleh Jeremy Lovering kedalam sebuah hiburan dangkal yang cukup menarik, debut layar lebar dari sosok yang pernah ambil bagian di tv-series Sherlock, In Fear, when horror becomes psychological mindplay thriller. Good chiller.

Lucy (Alice Englert) sedang berada di dalam toilet sembari memperhatikan sebuah kalimat yang tertulis di dinding yang menjadi awal kehadiran naluri jahil yang ia miliki. Lucy menambahkan sebuah kalimat singkat tepat dibawah kalimat yang berisikan sebuah peringatan secara tidak langsung itu, yang celakanya tanpa ia sadari dari sebuah lubang kecil ada bola mata yang sedang mengintipnya. Setelah itu ia kembali menuju Tom (Iain De Caestecker), cintanya yang baru berusia dua minggu, untuk bersama menuju festival musik.

Namun ternyata Tom telah menyusun rencana lain. Tom telah menyewa sebuah kamar hotel untuk menghabiskan malam mereka dengan romantis, berada ditengah hutan, dan mereka menuju kesana dengan iringan sebuah mobil. Yang menjadi masalah adalah mobil itu tidak mengantar mereka sampai menuju hotel, hanya sebatas tepat di pintu masuk menuju area hotel, pintu yang juga menjadi awal malapetaka bagi Tom dan Lucy, sebuah labirin yang terus membawa mereka berputar-putar dan mengubah suasana dari romantis menjadi tekanan psikologis.


Super dangkal, super tipis, dan mungkin dapat pula digunakan berbagai kalimat dengan bumbu super untuk menggambarkan betapa sederhananya isi yang dimiliki oleh In Fear. Super tradisional, konsep minimalis dalam ruang gerak yang sempit, kemudian ditemani dengan perputaran berulang dengan set yang sama, potensi yang diawal berupa sebuah horror klasik yang gelap justru perlahan berubah menjadi sebuah rasa ragu bahwa ini akan menjadi sebuah horror murahan yang monoton. Sayangnya hal tersebut justru tidak terjadi sama sekali karena sebuah keputusan dari Jeremy Lovering untuk merubah haluan In Fear setelah semua karakter terjebak dan mencari jalan keluar.

“Is it horror?” Yes, tapi ketimbang menyebutnya sebagai sebuah horror murni saya justru lebih memilih untuk memberikan label thriller psikologis pada In Fear, karena pada elemen ini ia bekerja dengan baik. Terjebak dan kemudian berteman bersama hal-hal buruk yang secara silih berganti hadir, menghadirkan rasa panik yang mengubah cinta menjadi sebuah paranoia untuk menemani tingkatan frustasi yang semakin tinggi, dan itu semua dilengkapi dengan iringan suasana mencekam yang dibangun oleh score yang seolah terus terpompa bersama pemanfaatan latar yang sangat efektif, seperti gubuk penuh misteri hingga hal super klise dalam bentuk bayangan dari sosok misterius. Ada gerak cekatan dalam membungkus mereka semua, dan itu berhasil mengalihkan perhatian dari beberapa plothole yang juga eksis.



Materi yang sejak awal telah terasa minimalis dapat membawa kesan stuck pada cerita. Akan muncul kesan Jeremy Lovering tidak tahu lagi akan membawa cerita kearah mana, narasi tipis yang selalu membawa rasa tidak nyaman dari penontonnya dalam aksi mondar-mandir liar tanpa motivasi dalam aksi menebak dikelilingi gelapnya hutan. Momentum juga kerap terasa kendor, tapi dari sana pula hadir kesan bahwa In Fear memang sengaja dibiarkan bergerak liar karena sejak awal sepertinya strategi yang digunakan oleh Jeremy Lovering untuk menakuti-nakuti penontonnya adalah dengan mengandalkan sisi emosi di posisi utama. Yap, it’s a mindplay, ketegangan yang terjaga dengan baik untuk menuntun pikiran kedalam ruang isolasi penuh rasa frustasi yang dimanipulasi. Itu manis.

Bukan hanya manis, namun hal tersebut pula yang berhasil menyelamatkan In Fear dari nilai negatif pada mereka yang mampu klik dengan elemen yang sesungguhnya secara implisit mendapat posisi utama dalam cerita itu. Tidak dapat dipungkiri ekspektasi akan meningkat setelah adegan pembuka, dan mungkin saja akan ada sebuah kekecewaan bagi mereka yang terus mempertahankan horror sebagai menu utama (faktanya ini memang tidak kuat jika hanya berdiri sebagai horror) dan tidak mencoba untuk memberi ruang bagi permainan psikologis yang justru ikut menambah nilai plus dari elemen horror tadi, kepanikan yang terasa nyata, dan itu juga berkat kinerja aktor yang efektif.

Mereka tidak brilliant, namun performa dari Alice Englert (Beautiful Creatures) dan Iain De Caestecker berhasil menciptakan sebuah perpaduan yang manis. Mereka berhasil memanfaatkan materi yang dimiliki oleh karakter mereka, Alice Englert sebagai wanita yang bermain dengan perasaan, dan Iain De Caestecker sebagai pria yang lebih menggunakan logika. Mereka juga berhasil menciptakan sebuah tahapan pada perkembangan dari karakter, dari hal manis di awal, kemudian rasa ragu, berganti dengan rasa cemas yang semakin tinggi dan mulai menggerus keindahan diawal tadi, hingga akhirnya terjebak dan menjadi panik serta frustasi.


Overall, In Fear adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah thriller kuno bersama sentuhan horror minimalis dan manis yang hadir dengan nada suram serta materi yang juga minimalis diberbagai area, mampu memberikan cengkeraman yang cukup nikmat pada rasa waspada dengan tingkat ketegangan yang juga terasa mumpuni, meskipun hanya berisikan aksi mondar-mandir yang berpotensi besar menggerus rasa nikmat bagi penonton yang melihat aksi karakter sebagai sebuah tindakan tanpa motivasi. It’s a mindplay. Good chiller.






0 komentar :

Post a Comment