04 September 2015

Review: Z for Zachariah (2015)


Karena kiamat belum terjadi maka apa yang terjadi pada hari tersebut selalu menarik, selalu saja ada fantasi menarik yang bisa diciptakan dengan memakai beberapa pertanyaan simple seperti: apa yang kamu lakukan ketika kiamat tiba, bersama siapa kamu ketika kiamat tiba, sampai pakaian apa yang kamu kenakan ketika kiamat tiba? Tapi ada satu hal yang menurut saya paling menarik, dan ini yang coba Z for Zachariah gambarkan. Seandainya kiamat telah terjadi, semua manusia telah musnah namun bumi tidak hancur, dan ternyata  kamu menjadi satu dari beberapa manusia yang selamat, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?

Setelah perang nuklir pecah manusia kini berada diambang kepunahan dan menyisakan seorang wanita bernama Ann Burden (Margot Robbie), putri pendeta yang selamat karena puncak gunung tempat ia berada dikelilingi oleh lembah misterius yang melindungi Ann dari bencana radioaktif. Suatu ketika Ann bertemu Loomis (Chiwetel Ejiofor), seorang kontraktor sipil yang menuai hasil dari usahanya menghindari dari serangan radiasi. Diselimuti rasa ragu untuk saling menaruh rasa percaya “masalah” mulai muncul diantara Ann dan Loomis, namun celakanya setelah itu muncul Caleb (Chris Pine) diantara mereka, seorang pengembara yang seolah mengerti cara mendapatkan apa yang ia inginkan. 



Oke, sinopsis diatas mungkin terkesan terlalu simple dan menimbulkan pertanyaan di benak kamu: lalu Z for Zachariah ini film tentang apa? Saya sendiri sedikit kurang yakin untuk menaruh satu label kepada film ini, setting yang ia punya tentu akan membuat kamu memikirkan sci-fi karena latar yang ia gunakan adalah apa yang terjadi pada manusia di ambang kepunahan, namun teman saya menyebut ini merupakan drama dengan sedikit thriller, dan saya menariknya justru merasa romance sebagai genre terkuat dari film ini dengan beberapa isu menarik. Tidak seperti sinematografi dengan gambar-gambar menarik yang mampu tampil mencolok dan mencuri perhatian penonton, Z for Zachariah dari segi cerita berada di zona ambigu, dan sayangnya ternyata itu pula yang ia lakukan sejak awal hingga akhir.



Sang sutradara, Craig Zobel, merupakan sosok yang mengendalikan Compliance, drama thriller dengan ruang gerak yang sempit namun berhasil memutar-mutar penonton dengan mengasyikkan. Nah, itu pula yang coba Craig Zobel lakukan disini, Z for Zachariah seperti Compliance dengan ruang yang lebih besar serta latar yang jauh lebih mengerikan, tapi sayangnya ketika lebih luas yang notabene juga memberikan keleluasaan kepada Craig Zobel untuk memutar-mutar penonton mengapa Z for Zachariah justru lebih lemah ketimbang Compliance. Bukan berarti Z for Zachariah sebuah kemasan yang buruk, contohnya dari alur cerita saja terasa mengalir dengan baik hingga akhir dibantu dengan gambar-gambar yang menambah kedekatan penonton dengan cerita dan karakter, tapi hasil akhirnya itu terasa kurang nendang.



Z for Zachariah ibarat sedang hangout dengan tiga sahabat di tepian danau pada malam hari, mendengarkan cerita tentang kehidupan mereka dengan ditemani secangkir kopi atau teh hangat, ada kisah yang akan membuat kamu bersemangat mendengarkannya tapi ada pula yang terasa menjemukan. Bagian awal film ini sebenarnya menarik bahkan dapat dikatakan berhasil membuat ekspektasi penontonnya naik tapi setelah babak pertama yang oke kita masuk ke babak kedua yang terasa cukup stagnan. Script yang ditulis ulang oleh Nissar Modi dari novel karya Robert C. O'Brien itu awalnya menarik tapi semakin jauh ia semakin terasa tipis. Ini sebenarnya bisa jadi ekplorasi pada manusia yang terisolasi tapi Craig Zobel menciptakan boomerang yang balik menyerangnya, ia kembali mengurung karakter seolah ingin menggoda penonton tapi ia terjebak dalam usaha manipulasi yang ia ciptakan sendiri ketika mencoba mencari jalan keluar.



Ketika Margot Robbie dan Chiwetel Ejiofor masih jadi dua karakter yang mengisi layar Z for Zachariah terasa oke, saya suka suasana yang mereka ciptakan, menyaksikan pria dengan masa lalu yang misterius mencoba membangun kepercayaan dua arah dengan wanita yang rindu akan sebuah intimitas, tapi ketika Chris Pine masuk, boom, semua menjadi kisah cinta segitiga yang aneh. Hubungan antara Ann dan Loomis sebenarnya bisa jadi lebih menarik seandainya Caleb tidak datang dan  membuat motivasi masing-masing karakter jadi samar. Z for Zachariah terlalu berambisi untuk tampak kompleks dan itu ia lakukan dengan mencoba memanipulasi penonton dalam dengan cerita yang bergerak lambat serta di bantu ketegangan yang tidak semuanya bekerja dengan baik.



Saya suka babak pertamanya, iramanya tepat dan nikmat untuk di ikuti serta tidak pernah ada rasa monoton ketika mengamati Ann dan Loomis, tapi saya kurang suka dengan babak kedua. Yang tidak dapat disangkal adalah Z for Zachariah punya sinematografi oke, kemudian chemistry antara Margot Robbie dan Chiwetel Ejiofor yang walaupun tidak istimewa tapi mampu membuat Ann dan Loomis menarik, tapi masalahnya adalah mereka hidup didalam naskah yang predictable serta tidak begitu kuat yang coba menghadirkan berbagai pertanyaan provokatif, kemudian coba di jadikan oleh sutradara untuk tampak misterius dan menggoda dengan urgensi yang lesu. Seperti kesan ambigu yang ia berikan saya meninggalkan Z for Zachariah dengan perasaan ambigu pula, ia tidak buruk tapi jelas terasa underwhelming. Kurang nendang.







1 comment :

  1. saya setuju gan. lieur saya nonton nya, gara" ada si Caleb.

    ReplyDelete