09 February 2016

Review: All Roads Lead to Rome (2016)


"A woman takes what she wants when she wants it."

Sama seperti belajar tidak ada kata terlambat pula untuk cinta, tidak ada kata terlambat untuk mencintai dan dicintai. Tidak peduli seberapa sering cinta telah menyakiti kamu, tidak peduli pula di usia berapa cinta yang sesungguhnya datang menghampirimu, jika kamu yakin bahwa he or she merupakan the one maka hal yang harus kamu lakukan adalah kejar dan dapatkan. All Roads Lead to Rome berniat menggambarkan hal tersebut, bagaimana cinta yang hilang kini kembali lewat masalah yang juga berawal dari cinta. Sayangnya romance comedy ini menyelesaikan masalah dengan masalah.

Maggie (Sarah Jessica Parker), seorang single mother, mengajak anak perempuannya Summer (Rosie Day) untuk berlibur ke Italia. Niat utama Maggie mengajak putrinya yang memiliki penampilan berjiwa bebas itu adalah untuk menghindarkan Summer dari pengaruh buruk sang pacar, usaha yang dianggap oleh Summer sebagai sebuah aksi “penculikan.” Maggie sendiri punya misi lain datang ke Italia, ia ingin melupakan perceraian dengan mantan suaminya dan mencoba menemukan kembali cinta di Italia, di mana ia bertemu dengan seorang pria bernama Luca (Raoul Bova). 



Jika berbicara tentang niat All Roads Lead to Rome sebenarnya bukan sebuah romance comedy yang buruk, at least penulis naskah Josh Appignanesi dan Cindy Myers punya konsep yang oke di mana karakter keluar sejenak dari rutinitas untuk “menyembuhkan” atau “menyegarkan” kehidupannya yang terasa jenuh. Yang menjadi masalah adalah sejak sinopsis saja film ini ternyata sudah gagal untuk membentuk ide tadi, ketimbang menjadi petualangan menemukan cinta yang hilang di mana cinta itu, kemudian membungkus segala permasalahan dan membawa karakter meraih jalan keluar yang indah, di tangan Ella Lemhagen film ini justru menjadi sebuah rom-com dengan rasa hangout yang monoton dan menjemukan.



Tentu saja terasa kurang tepat jika mengharapkan cerita dengan alur penuh urgensi dari sebuah rom-com, caranya memainkan penonton dengan segala isu klasik tentang cinta justru lebih menarik untuk diantisipasi. All Roads Lead to Rome tidak berhasil melakukan hal tersebut, ia terlalu santai dengan gerak cerita yang perlahan justru terasa monoton, dan yang paling menjengkelkan adalah inti cerita yang berdasar dari sebuah kesalahpahaman kecil justru asyik dimainkan dengan cara menunda. Akhirnya bukan hanya cerita tapi daya tarik karakter yang sejak awal sudah begitu standar itu juga perlahan terasa basi, Maggie ditemani dengan rasa bingung yang berlarut-larut dan Summer, ia dipersilahkan menikmati pesona Italia.



Terasa aneh memang karena tugas yang harus ditangani oleh Ella Lemhagen sebenarnya tidak banyak apalagi rumit, hubungan antara Maggie dan Summer, hubungan antara Maggie dengan Luca, tapi cara All Roads Lead to Rome bercerita konsisten terasa kasar dan terbata-bata. All Roads Lead to Rome dapat menjadi rom-com yang di mana setiap karakter bertemu dengan kekuatan cinta dalam hubungan mereka dan kemudian bergeser ke dalam jalur yang tepat, tapi ini justru terperangkap dalam berbagai kesalahpahaman sederhana dengan dialog basi dan set-up canggung bersama plot dan lelucon yang kacau, datar, dan hambar. Hal terbaik dari All Roads Lead to Rome tampilan romantic Italia, yang sayangnya tetap tidak berhasil dimanfaatkan untuk membuat pesona cerita menjadi lebih hidup.



Menemukan film dengan genre horror atau mungkin drama yang membuat kamu para penontonnya merasa waktu seperti berjalan begitu lama merupakan hal yang mudah, namun film dengan genre romance apalagi dikombinasi bersama komedi yang melakukan hal serupa, itu sulit. Dan All Roads Lead to Rome resmi menjadi anggota list romance komedi yang kurang berhasil mempermainkan penonton bersama cinta namun justru mejadi panggung penuh sandiwara yang monoton, usaha menemukan kembali cinta yang hilang namun sepanjang 90 menit durasinya cinta itu hadir sangat tipis di dalam cerita dan juga karakter, sama seperti tipisnya pesona naskah dan pengarahan yang film ini miliki. Segmented. 












Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment