07 March 2013

Movie Review: The Girl with the Dragon Tattoo (2009)


Millenium Series adalah sebuah kesuksesan dari Stieg Larsson, dan itu pula yang menjadikan Yellow Bird langsung mengadaptasi tiga novel tersebut kedalam bentuk film yang bahkan dirilis ditahun yang sama, 2009. Ini adalah bagian pertamanya, The Girl with the Dragon Tattoo, yang dibawah kendali Niels Arden Oplev berhasil membuat saya menyadari mengapa film adaptasinya itu akhirnya berhasil mendapatkan lima nominasi Oscar.

Mikael (Michael Nyqvist), seorang jurnalis di majalah Millennium, tersandung masalah yang bahkan ia yakini tidak pernah ia lakukan. Kasus tersebut dengan cepat merusak reputasi Mikael yang dianggap sebagai salah satu jurnalis paling berani dalam menulis artikel, terancam denda hingga hukuman tiga bulan penjara. Bak sebuah celah yang dapat dimanfaatkan, Henrik Vanger (Sven-Bertil Taube), seorang pensiunan kaya raya yang merupakan CEO dari Vanger Corporation, mengundang Mikael secara khusus ke kediamannya.

Jelas ada sebuah alasan dibalik undangan mendadak tersebut, dimana Mikael diminta oleh Henry untuk menyelidiki kasus menyangkut salah satu keponakan yang paling ia cintai, Harriet, yang hilang secara misterius ketika sebuah kecelakaan menutup jalur akses utama menuju pulau itu. MIkael dijanjikan sebuah bantuan besar dalam tuduhan yang sedang menimpanya jika ia mau menerima tawaran tersebut. Terdengar mudah, namun kasus tersebut terjadi ditahun 1966, lebih dari tiga dekade yang lalu. Hal tersebut semakin runyam dengan keterlibatan Lisbeth Salander (Noomi Rapace), wanita dengan gaya gelap, akrab dengan tindik dan tatto, seorang hacker yang awalnya ditugasi oleh Milton Security untuk menyelidiki Mikael, namun justru ikut terjebak dalam sebuah serial killer bersama Mikael.


Akhirnya sebuah keinginan yang telah sejak lama saya tetapkan itu mendapatkan kesempatan untuk terwujud. Millenium Series, mungkin tidak semegah Harry Potter, namun merupakan salah satu trilogi yang sangat saya gemari. Membaca tiga buku karya Steig Larsson itu ibarat berada dialam nyata dengan saya sebagai Mikael. Ya, trilogi ini memiliki kekuatan untuk membawa pembacanya ikut berfantasi bersamanya. Tentu saja itu tidak mudah karena ia punya cerita yang kompleks, bahkan jauh lebih kompleks dibandingkan The Hunger Games trilogi.

Premis diawal tadi memang sengaja saya tulis agar terkesan simple, karena saya justru merasa terlalu sayang untuk mengumbar terlalu jauh detail yang film ini miliki. Yep, kerumitan yang ia punya justru menjadi daya tarik novel pertama ini. Niels Arden Opley yang bertugas sebagai sutradara harus berterima kasih pada Nikolaj Arcel dan Rasmus Heisterberg. Dua jempol untuk mereka berdua karena mampu menciptakan screenplay yang terasa sangat ringan, mampu membangun konflik dengan jelas, solid, dan efektif. Tentu tidak mudah untuk menerjemahkan ratusan lembar itu menjadi naskah solid dengan durasi 152 menit. Ya, saya bahkan dengan mudah kembali mengingat apa yang pernah saya baca lebih dari setahun yang lalu.

Apa yang menjadi kekuatan utama film ini adalah atmosfir thriller yang ia miliki. Sejak awal, dimana konflik masih terasa kecil, film ini sudah memiliki nuansa gelap pada cerita. Semua semakin menyenangkan ketika ia secara perlahan mulai menyuntikkan konflik-konflik lainnya yang semakin mempertebal atmosfir thriller yang ia miliki. Tidak tahu apakah unsur thriller itu terbentuk dengan sendirinya atau tidak, namun Niels Arden Opley terasa lebih memfokuskan diri pada alur cerita film ini. Jika anda telah membaca novelnya, anda kan merasa puas dengan screenplay yang film ini miliki, dan cara screenplay itu diolah. Tidak banyak momen yang terbuang sia-sia, masing-masing punya tanggung jawab, dan berhasil dihantarkan dengan baik.


Tempo yang terjaga dengan baik, misteri yang tetap ditutup dengan apik (ya, meskipun saya sudah tahu jalan ceritanya dari novel dan juga film adaptasinya itu), mampu menciptakan lingkungan cerita yang seolah membuka pintu lebar kepada penontonnya untuk masuk kedalam dan bergabung bersama mereka, berjalan bersama memecahkan misteri layaknya detektif. Tanpa disadari anda akan ikut mencoba memecahkan masalah yang ia tebar melalui clue-clue yang ditempatkan dengan baik.

Memang, selalu ada konflik apakah sebaiknya menyaksikan terlebih dahulu filmnya, atau membaca novelnya. Itu adalah pilihan yang harus dipilih dengan resiko akan kurang memuaskan pada opsi yang tidak terpilih, karena anda sudah tahu jalan ceritanya. Namun The Girl with the Dragon Tattoo ternyata tetap mampu mengunci saya untuk 152 menit walaupun saya sudah tahu elemen ceritanya. Sulit untuk menentukan apa sebab pastinya, karena diawal saya hanya ingin menyaksikan film ini sebagai pembanding dengan adaptasinya itu, tapi pada akhirnya justru semakin menaruh perhatian secara intens padanya.

The Girl with the Dragon Tattoo ibarat sebuah proses yang dibangun dengan penuh perasaan. Ceritanya fokus, tidak terkesan dipaksakan, elemen misteri, thriller, dan crime juga berhasil diberikan komposisi yang berimbang. Semua dibungkus dengan cinematography yang apik, disuntikkan secara perlahan sehingga memberikan penontonnya momen untuk mencerna cerita, terus menumpuk hingga berakhir dengan sebuah rasa puas dengan kadar yang pas.

Niels Arden Opley bekerja dengan efektif, Nikolaj Arcel dan Rasmus Heisterberg juga sukses menerjemahkan novel kedalam layar dengan apik,namun Michael Nyqvist dan Noomi Rapace adalah kunci utamanya. Kedua karakter yang mereka mainkan memang kurang begitu memiliki waktu untuk menunjukkan chemistry mereka, namun secara individual keduanya sukses membangun karakter mereka sehingga punya daya tarik yang kuat, namun tidak saling menjatuhkan. Ketika tampil masing-masing, keduanya mampu menjadikan cerita yang mereka emban terasa hidup, dan jika kesempatan bersatu itu tiba mereka mampu menyatu dengan baik.


Overall, The Girl with the Dragon Tattoo (Män som hatar kvinnor) adalah film yang memuaskan. Sudah membaca novelnya? Sudah menontonnya film adaptasinya yang berbahasa Inggris? Tenang, film ini tetap mampu menghipnotis anda unutk berjalan bersamanya meskipun anda sudah tahu semua informasi yang ia miliki. The Girl with the Dragon Tattoo tetap bertumpu pada novel yang menjadi pondasinya, sehingga apa yang hasilkan adalah sebuah film yang ceritanya dibangun dengan rapid an solid.



0 komentar :

Post a Comment