24 July 2013

Movie Review: The Wolverine (2013)


"What they did to me, what I am, can't be undone."

Mungkin popularitasnya belakangan ini mulai terusik oleh beberapa superhero yang mampu tampil memikat, namun jika berbicara karakter superhero yang punya karakterisitik yang kuat, serta leadership paling mumpuni dan memikat, jawabnya adalah Wolverine. Bukan tindakan yang salah memberikan kesempatan kedua pada Wolverine, namun yang menjadi pertanyaan adalah apa misi yang diusung oleh Marvel pada The Wolverine, padahal mereka tahu bahwa empat tahun lalu aksi solo Logan tanpa bantuan rekan-rekannya secara penuh tidak berakhir manis.  

Setelah X-Men: The Last Stand, Logan (Hugh Jackman) memutuskan untuk menghindar dari segala hiruk pikuk dunia, memilih tinggal disebuah pegunungan dan menjadi pertapa sembari terus dihantui bayangan masa lalu kelamnya dalam bentuk mimpi dengan kehadiran wanita yang ia cintai Jean Grey (Famke Janssen). Namun suatu ketika ia bertemu dengan Yukio (Rila Fukushima), wanita Jepang berambut merah yang mengemban tugas untuk membawa Logan ke Tokyo atas permintaan Yashida (Hal Yamanouchi), pria tua yang pernah Logan selamatkan saat Perang Dunia II, untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan.

Celakanya Logan harus masuk kedalam konflik yang tidak sesederhana yang ia bayangkan, dimana Yashida ternyata menginginkan sesuatu yang ia miliki, dengan imbalan hal yang selama ini Logan inginkan. Logan juga harus masuk kedalam pertarungan memperebutkan tahta yang melibatkan Yakuza serta Samurai, diminta untuk melindungi cucu perempuan kesayangan Yashida, Mariko Yashida (Tao Okamoto), yang merupakan calon pewaris tahta Shingen, sembari terus berupaya untuk lepas dari tekanan batin yang masih menghantuinya.


Sejak bagian pembuka The Wolverine telah melakukan satu kesuksesan, ia mampu menjadikan penontonnya untuk sejenak melupakan memori kelam dari kekacauan yang pernah ia tampilkan empat tahun lalu. Ditengah gempuran film superhero dengan pattern yang sama, The Wolverine justru mampu menghadirkan sebuah presentasi yang dapat dikatakan cukup segar. James Mangold berhasil menjalankan misinya untuk menjadikan film ini terasa lebih dalam, dimana ia mampu menghadirkan sebuah keseimbangan pada sosok Wolverine, karakter yang tangguh serta sosok yang sedang berada dalam penderitaan batin berhasil menarik atensi sama baiknya.

Tampil sederhana dan terkesan bermain aman, mungkin tampak kurang ambisius, namun keputusan untuk menahan segala kemewahan yang dimiliki sosok seorang superhero dan lebih memilih bermain dengan materi bernafaskan personal yang justru menjadikan The Wolverine tampak menarik, pada awalnya. Konflik emosional yang menjadi nafas utama dikemas dengan efektif, tidak dibentuk menjadi rumit yang menjadikan cerita serta karakter mengalami sebuah perkembangan yang harus diakui bergerak kearah positif. Namun memasukkan sebuah cerita sempit kedalam ruang bermain yang sangat luas jelas sebuah keputusan yang penuh resiko, dan film ini menerima dampaknya.

The Wolverine punya cerita yang sederhana, dan berhasil Christopher McQuarrie, Mark Bomback, dan Scott Frank transfer kedalam script sederhana yang terasa rapi dan solid dibagian awal. Sayangnya, semakin jauh ia berjalan kekuatan tersebut perlahan sirna dimana ia mulai tampak bingung, stuck. Cerita terasa seperti dikebut dengan aksi mondar-mandir tanpa sebuah tujuan yang menarik, seperti sebuah upaya yang dipaksakan agar dapat tampil lebih kompleks tapi celakanya tidak disertai dengan kehadiran materi baru yang mumpuni. Mengecewakan, tanpa kehadiran shocking moment segala kenikmatan diawal mulai menghilang, dan pada akhirnya harus berakhir dengan omong kosong yang konyol tanpa klimaks yang menarik.


Permasalahan utama dari The Wolverine yang begitu mengganggu adalah sebuah rasa bingung yang ia miliki pada apa identitas utama yang ingin ia tampilkan. Ada dua buah warna cerita pada film ini, sebuah studi karakter yang mencoba menggali jauh lebih dalam sosok seorang Logan dengan berlandaskan materi penyesalan yang ia alami akibat membunuh wanita yang ia cintai bersama kutukan yang ia miliki, namun dilain sisi ia seperti mengemban sebuah tekanan besar agar tidak melupakan statusnya sebagai sebuah film blockbuster, yang berdampak pada banyak sekali kehadiran materi-materi dangkal dan merusak yang seperti disengaja untuk menghadirkan sisi teknis yang harus di akui tampil baik.

Nilai minus lainnya adalah The Wolverine terlalu terlena pada apa yang telah ia hadirkan tanpa mencoba membawa nafas baru kedalam cerita, sehingga harus menjadikan banyak ruang di durasi 126 menit yang ia miliki terasa sia-sia. Hanya adegan diatas kereta peluru yang memikat, dan materi lain diluar itu sulit untuk membekas lama di memori. Camera works yang menghadirkan beberapa gambar menarik justru tampak seperti sebuah upaya untuk menjadikan penontonnya terkesan dengan sedikit nuansa hipnotis berkedok pengalihan dari cerita yang mulai melemah, ketimbang menjadi bagian untuk memperdalam cerita yang ia tampilkan. Yap, bahkan kualitas 3D yang ia miliki terasa miskin, tidak memberikan kenikmatan yang menjadikan ia berbeda dengan versi regular.

Dari jajaran aktor, yang paling berhasil memberikan kejutan adalah Tao Okamoto, dimana ia tampil memikat sebagai pion yang menuntun karakter Logan untuk bertumbuh bersama konfliknya. Hugh Jackman jelas tidak perlu diragukan lagi, ia mampu mengeksekusi dengan baik dua konflik yang ia miliki secara seimbang. Rika Fukushima berhasil memberikan warna ceria meskipun bahasa inggris yang ia tampilkan sedikit mengganggu, sedangkan Famke Janssen memberikan dampak seperti yang dilakukan Tao Okamoto, namun dalam volume yang lebih kecil. Masalah yang dimiliki The Wolverine adalah ia tidak punya villain yang mumpuni. Hiroyuki Sanada seperti kesulitan membangun karakternya, sedangkan Svetlana Khodchenkova (Viper) dibentuk secara berlebihan padahal tidak diberikan tugas yang mumpuni.


Overall, The Wolverine adalah film yang cukup memuaskan. Walaupun menghadirkan sebuah kemasan yang bergerak positif dari apa yang dihasilkan pendahulunya, film ini terasa kurang matang yang tampak lewat rasa bimbang pada identitas utama yang ingin ia tampilkan. Terkadang intens, terkadang datar, The Wolverine punya momen fun dan boredom yang sama besarnya. Ketimbang dilabeli sebagai film superhero yang berdiri mandiri, The Wolverine lebih layak disebut sebagai upaya lain dari Marvel untuk memperkuat sosok kunci yang mereka miliki sebagai persiapan film X-Men berikutnya, tahun depan.



0 komentar :

Post a Comment