28 September 2013

Movie Review: The Broken Circle Breakdown (2012)


"I would swim the seas for to ease your pain."

Hal ini jelas tidak bersifat umum dan tidak mencerminkan sebuah fakta yang belum tentu terjadi pada semua orang, namun ketika anak-anaknya telah dewasa, orang tua punya tugas yang begitu besar sebagai pemersatu, dan dapat menggoyahkan kapal bernama keluarga itu jika salah satu dari mereka menghadapi masalah. Tapi tidak sedikit pula hal tersebut berlaku sebaliknya, dimana anak sering kali mengalahkan janji suci “till death do us apart” itu untuk menjadi alasan orang tua untuk tetap bersama. Ini akan membuat anda tertawa bahagia, menari penuh suka cita, hingga menyajikan sebuah kesedihan yang ekstrim. The Broken Circle Breakdown, solid, lucu, sangat menyedihkan, sebuah kemasan emas yang mengejutkan, heartbreaker.  

Elise Vandevelde (Veerle Baetens), seorang wanita pemilik salon tato, memiliki sebuah ritual untuk menaruh nama setiap kekasihnya di tubuhnya walaupun kemudian akan ia tutup kembali ketika mereka nantinya putus. Suatu ketika ia bertemu dengan Didier Bontinck (Johan Heldenbergh), seorang pemain banjo di sebuah band dengan aliran musik bluegrass, yang berniat untuk membuat tato. Berawal dari perdebatan Elvis Presley dan Bill Monroe, cinta pada pandangan pertama itu mekar dengan luas, Elise bergabung dengan band milik Didier, dan kemudian mereka menikah.

Kemudian hadir Maybelle (Nell Cattrysse), anak perempuan yang diawal berita kemunculannya sempat mengejutkan Didier yang tidak pernah mengharapkan seorang anak. Namun perlahan semua berubah, menjadikan Maybelle ibarat pelengkap kebahagiaan Didier dan Elise yang sebenarnya sebelumnya sudah besar. Semua rusak ketika Maybelle kemudian diketahui mengidap kanker, harus menjalani kemoterapi, bahkan mungkin saja akan mati dalam waktu dekat. Realitas baru itu yang kemudian memaksa Didier dan Elise untuk menyesuaikan diri yang kemudian disertai berbagai gesekan kecil yang punya potensi menghancurkan.


Sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa penjabaran sinopsis diatas tadi mengandung banyak sekali spoiler, yang bahkan bagi saya tidak memberikan dampak yang begitu signifikan pada kenikmatan film ini. Pertama, The Broken Circle Breakdown bukan tipe film yang menyimpan misteri dan kemudian akan membukanya diakhir cerita, karena ia lebih layak disebut sebagai sebuah media sepanjang 111 menit yang bertumpu pada permainan emosional untuk mencapai tingkat kepuasan. Kedua, sinopsis tadi telah di susun secara urut, karena faktanya Felix Van Groeningen membentuk kisah yang ia dan Carl Joos adaptasi dari drama panggung karya Johan Heldenbergh dan Mieke Dobbels ini dengan cara non-linear.

Yap, non-linear, bergerak maju dan mundur dalam kurun waktu tujuh tahun, anda akan menemukan sebuah roller-coaster emosi yang mengasyikkan, berisikan kombinasi situasi baik dan buruk yang sama kuat, menyaksikan sebuah petualangan dari hubungan yang awalnya sangat bergairah dan kemudian harus hancur akibat terjerat kesedihan. Benar, dinamika cerita terasa sangat menyenangkan, berjalan secara bertahap dan sabar, berhasil menjadikan setiap elemen kunci yang ia punya tampil kuat, dan ikut menjadikan karakter mengalami perkembangan yang mampu menarik perhatian anda.

Memiliki narasi yang mumpuni, ini adalah sebuah drama bertemakan pernikahan yang mampu menyeimbangkan setiap unsur yang ia punya. Drama yang pas dengan menghadirkan permainan emosional yang kuat dan melelahkan, anda menyaksikan kebahagian yang kemudian dengan cepat diganti dengan kesedihan, dibangun dengan baik sehingga berhasil menjadikan penonton ikut merasakan apa yang karakter rasakan, salah satu kunci utama untuk tipe film seperti ini, seimbang, natural dan tidak terkesan dipaksakan, yang kemudian meninggalkan after effect yang begitu kuat.

Sedikit mengejutkan memang ketika mengetahui dibalik polemik sederhana yang ia tawarkan diawal itu ternyata The Broken Circle Breakdown kemudian berubah menjadi cukup berat, menghadirkan beberapa adegan yang menguras energi kemudian disertai permainan emosional yang fokus pada karakter baik itu pada saat past dan present, dikemas dengan intens dan cantik. Tapi The Broken Circle Breakdown punya senjata rahasia yang membedakan ia dengan film tipe serupa yang sering kali menerima keluhan karena pergerakan cerita yang monoton. The Broken Circle Breakdown punya komedi, ya, itu mungkin biasa, namun kemudian bergabung bersama musik yang menawan.


Menawan, bukan hanya sebagai tempelan belaka untuk membantu visual mumpuni karya Ruben Impens, musik karya Bjorn Eriksson juga punya power dan tugas yang cukup besar pada pergerakan cerita, dan itu dibentuk dengan apik. Ia tidak hanya memperhalus setiap perpindahan cerita bahkan untuk warna cerita dengan tingkat perbedaan ekstrim sekalipun, score juga punya andil dalam membangun suasana, menghidupkan gairah cinta dan romantisme, membawa nafas sukacita, kemudian menghantam anda setiap kali konflik gelap muncul, dan berkat perpindahan non-linear tadi ia tidak menimbulkan kerusakan yang mengganggu.

Saya suka cara Felix Van Groeningen membangun lingkaran yang akan ia hancurkan ini, intens di banyak bagian. Walaupun sempat sedikit kedodoran ketika Didier mulai berbicara penolakan tentang agama hingga Amerika, kaku dan seperti memutuskan tempo yang sudah terbentuk tanpa materi mengganggu sejak awal, namun ia mampu menjaga keseimbangan antara unsur melodrama yang hadir tanpa materi bodoh, suntikan komedi yang selalu tepat guna dan berada di momen yang pas, romantisme yang tidak berlebihan, kemudian musik yang tidak tenggelam dan juga tidak menghancurkan.

Itu belum menghitung editing yang cerdik sehingga mampu mempermainkan penonton, dan juga mempermulus jalan bagi pertarungan antara logika dan ilmu pengetahuan, dengan perasaan serta sedikit sentuhan agama, yang faktanya kerap kita temukan pada setiap pribadi yang sedang menghadapi masalah. Sayangnya, semua kelebihan tadi yang justru menjadikan film ini sedikit segmented, karena ia pada akhirnya tidak menawarkan kepada anda sebuah hiburan yang ringan untuk mengisi waktu luang.

Dari divisi akting chemistry yang dibangun oleh Johan Heldenbergh dan Veerle Baetens berhasil menjadikan anda merasa peduli dengan permasalahan yang mereka hadapi. Heldenbergh berhasil menjaga karakternya agar tidak kehilangan potensi untuk menjaga api dari masalah kecil yang sempat muncul diawal agar tetap menyala sembari terus menonjolkan sikap maskulin yang sensitif. Sedangkan Baetens dengan rapi menunjukkan bagaimana sebenarnya dibalik tato yang membalut tubuhnya itu ternyata Elise adalah sosok yang rentan.


Overall, The Broken Circle Breakdown adalah film yang memuaskan. Ia mampu membawa penontonnya masuk kedalam petualangan emosional yang mengasyikkan, dikemas dengan rapi dan intens, berhasil menggambarkan suka dan duka dengan sama baiknya. Ini adalah kekacauan emosional dalam konteks yang sangat positif, sebuah drama pernikahan yang menyayat hati, dengan salah satu adegan penutup terbaik yang pernah saya saksikan. Jika anda suka Blue Valentine, semakin mudah bagi semua materi film ini untuk dapat membuat anda jatuh cinta padanya. One of my favorite films this year.



0 komentar :

Post a Comment