30 March 2014

Movie Review: Hot Young Bloods (2014)


"Put your hand in my hand baby, don't ever look back."

Cinta dapat menjadi liar, ia dapat datang kapan saja, dapat pula pergi tanpa permisi. Cinta dapat membuat anda melintasi ribuan kilometer untuk mendapatkannya, tapi bisa pula hanya berjarak puluhan langkah dari anda, karena terkadang sifat manusia yang tidak pernah puaslah yang kerap menjadi penghalang bagi cupid untuk melepaskan panahnya. Hal klasik tentang cinta itu yang dibawa oleh film ini, sebuah sistem dari kisah percintaan remaja yang standard dikemas secara cukup efektif, Hot Young Bloods (Pikkeulneun Chungchoon).

Young-Sook (Park Bo-Young) dapat dikatakan merupakan gambaran dari sisi lain remaja tahun 80-an. Kemudahan memperoleh informasi yang masih terbatas menjadikan wanita berperawakan keras dengan status sebagai ketua geng sekolah wanita paling ditakuti di Heongseong ini punya pemikiran yang sempit dan terlalu sederhana, ia harus dan akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Celakanya ada satu hal yang tidak bisa ia dapatkan dengan mudah, hal yang sensitif, cinta seorang pria cassanova penggoda yang dapat membuat wanita terpikat dalam sekejap bernama Joong-Gil (Lee Jong-Suk).

Sama halnya seperti Young-Sook, Joong-Gil dapat memperoleh apa yang ia inginkan dalam konteks cinta. Namun suatu ketika kehadiran seorang gadis pindahan dari Seoul bernama So-Hee (Lee Se-Young) berhasil merubah Young-Sook, yang selama ini selalu menjadikan cinta sebagai permainan belaka. Kondisi tersebut terbaca oleh Young-Sook, yang merasa kesempatannya akan semakin kecil dan mulai berupaya lebih jauh untuk mendapatkan Joong-Gil. Namun ada satu masalah yang menjadi penghalang, status Young-Sook yang telah di klaim sebagai pacar oleh pemimpin geng dari sekolah rival mereka, Gwang-Sik (Kim Young-Kwang).


Sepertinya tema past culture sedang menjadi topik menarik di industri perfilman Korea, ada Sunny, Architecture 101, bahkan jika sedikit menyimpang ada Reply 1997, dan juga Reply 1994 yang cukup hits di dua tahun terakhir ini. Tentu saja itu menarik, siapa yang tidak ingin menyaksikan kembali penggambaran kondisi masa lalu lengkap dengan segala keterbatasan yang ada, menghabiskan malam berkumpul bersama minum alkohol ketimbang duduk di depan layar komputer, hingga saling mengungkapkan cinta yang masih terbatas menggunakan surat tulis tangan. Hal tersebut yang tampaknya menjadi bagian utama dari misi yang diusung Lee Yeon-Woo, menggambarkan energi kaum muda pada masa lalu.

Pendekatan Lee Yeon-Woo mungkin menjadi salah satu kekuatan utama. Sejak awal kita dapat melihat bahwa ini dibentuk tanpa sekalipun mencoba untuk tampil megah, ia bermain dalam berbagai cara standard yang dapat menjadikan beberapa orang menilai ia klasik dan klise, dan mencoba untuk membentuk sebuah kisah yang juga tidak kalah konvensional. Oke, ada cinta tak berbalas, rasa takut, rasa penasaran, percintaan segi banyak yang menciptakan situasi rumit, hanya disana, dan kita tidak akan dibawa untuk bergerak lebih jauh. Dangkal? Tepat, tapi uniknya Hot Young Bloods terasa dangkal karena sejak awal ia memang hanya ingin menjadi sebuah kemasan dangkal yang cukup menyenangkan.

Ya, cukup menyenangkan. Mengejutkan memang karena jika menilik cerita yang ia miliki Hot Young Bloods sebenarnya berada dalam level yang lemah, kasar malah, ia tidak seperti berjalan tapi terkesan seperti di seret, namun yang menjadi masalah adalah Lee Yeon-Woo seperti juga paham bagaimana membentuk sebuah cerita dengan ciri khas Korea, dramatisasi. Ada satu inti yang kuat, terletak pada sosok Young-Sook, dan dari sana ia mulai bermain-main dengan berbagai hal yang anehnya meskipun tidak sampai level meluluh lantakkan namun cukup mampu bersentuhan dengan emosi penontonnya. Hadir empati, hadir simpati, proses pencairan jati diri bersama sakit dan pengorbanan, gairah dan masalah. Efektif dan pas.


Benar, tema cinta yang diusung dibentuk dengan pas, sama halnya dengan elemen-elemen pendukung lainnya. Sebut saja musik yang menarik dan terkadang punya peran dalam menyokong cerita yang lemah, begitupula dengan sisi komedi yang bermain aman tapi klik dengan tema yang dibawa, bahkan paruh pertama terasa hidup ketika mereka masih mendominasi. Ya, Hot Young Bloods akan menawarkan dua fase kepada penontonnya, pertama membangun cerita dan karakter bersama nafas ringan penuh tingkah konyol, kemudian di paruh kedua mulai mempersempit gerak dengan nada yang lebih gelap. Dibagian pertama ia berhasil, di bagian kedua terasa lemah.

Hal semacam ini memang sebuah formula ampuh, terang di awal dan kemudian serius dibagian akhir. Yang menjadi masalah bagi Hot Young Bloods adalah ia sejak awal hanya berputar pada level cukup, tidak ada ikatan emosi dan karakterisasi yang benar-benar kokoh, hasilnya ketika proses peralihan itu muncul ia kehilangan pesonanya, mulai terasa lambat ketika cerita yang pada awalnya hanya sebatas isu insecure sudah mulai dilingkupi dengan situasi rumit, serta kehilangan irama dapat menjadikan perhatian penonton ikut teralihkan. Feel dari drama yang sengaja dihadirkan untuk menunjukkan pertumbuhan remaja menjadi dewasa itu terasa kurang kuat, terlebih dengan tempo yang menurun dan kehilangan sisi cekatan yang ia miliki sebelumnya.

Untung saja ini tidak runtuh karena inti yang ia bentuk sejak awal mampu berdiri hingga akhir. Penyebabnya adalah divisi akting, dan statusnya sebagai salah satu pusat cerita dijalankan dengan baik oleh Park Bo-Young, ekspresi wajah yang mumpuni untuk menggambarkan perasaan karakternya, berhasil ketika harus menjadi sosok kuat atau penuh rasa kesal dan benci, sorot matanya punya transisi apik dari marah menjadi penuh rasa cinta, berhasil mengundang simpati terlebih dengan latar yang ia punya. Lee Jong-Suk seperti hitam dan putih, ketika menjadi cassanova ia sangat baik, komedi yang ia bawa juga mencapai sasaran, tapi ketika mulai bermain dengan emosi ia kurang kuat. Sedangkan Lee Se-Young dan Kim Young-Kwang mampu menjadi penyeimbang dan pembuka jalan yang cukup mumpuni.


Overall, Hot Young Bloods (Pikkeulneun Chungchoon) adalah film yang cukup memuaskan. Disposable movie, mungkin sederhananya seperti itu, sebagai hiburan sesaat ini terasa efektif, namun tidak sebagai sebuah film yang dapat dikenang lama. Ceritanya lemah, terkadang sering terasa terputus di beberapa bagian, namun komedi dangkal yang berhasil mencapai sasaran mampu menutupinya, terlebih dengan bekerjanya dramatisasi terhadap kadar emosi yang cukup mumpuni pada kisah cinta super klasik yang ia bawa. It's okay.








0 komentar :

Post a Comment