16 August 2015

Review: The Man from U.N.C.L.E. (2015)


"And remember, take it like a pussy."

Setelah Kingsman: The Secret Service memberikan petualangan energik yang mempesona penonton dengan aksi “kurang ajar” yang ia miliki, Spy dengan segala kekonyolannya yang mampu memberikan tawa konstan, serta Mission: Impossible – Rogue Nation yang terus mencoba membawa penontonnya ke dalam ketegangan, mari sambut satu lagi film bertemakan mata-mata di tahun 2015 sebelum akhirnya di tutup oleh film James Bond terbaru, Spectre, di akhir tahun nanti. The Man from U.N.C.L.E., punya action dalam visual menyenangkan yang coba ia gabungkan bersama komedi, kombinasi antara James Bond dan Austin Powers yang, tidak buruk.

Pada perang dingin di awal 1960-an, Napoleon Solo (Henry Cavill), mata-mata pemerintah Amerika, serta Illya Kuryakin (Armie Hammer), mata-mata Uni Soviet, tergabung didalam sebuah joint mission U.N.C.L.E. (United Network Command for Law and Enforcement) dimana mereka berupaya untuk mengambil kembali Gaby (Alicia Vikander) dari Berlin Timur. Gaby adalah putri seorang ilmuwan nuklir yang merupakan sosok penting karena ia dapat membawa mereka menemukan Victoria (Elizabeth Debicki), pemimpin sebuah organisasi kriminal internasional yang berencana membangun senjata nuklir yang mampu menghadirkan bencana besar bagi dunia. 




Sinopsis diatas tampak menjanjikan, bukan? Tapi ketika ia membawa ekspektasi penonton terbang cukup tinggi pada sebuah film spy ala Bond disertai komedi yang membuatnya tampak lebih ringan The Man from U.N.C.L.E. justru terasa seperti sebuah petualangan stylish yang "kering". Iya, kering, dan ketika selesai menyaksikan film ini saya sedikit merasa terkejut karena harapan yang saya gantungkan sejak pertama kali menyaksikan trailer miliknya itu persis seperti yang saya katakan sebelumnya tadi. Bukan berarti sangat buruk atau jelek memang, Guy Ritchie kembali berhasil memberikan presentasi yang menarik pada bagaimana ia menyajikan hiburan di sektor visual, seperti yang ia lakukan pada Sherlock Holmes mayoritas terasa stylish bahkan terkadang menakjubkan, tapi ketika kembali ke cerita, kembali ke karakter, hasilnya bertolak belakang.



Salah satu hal yang saya harapkan dari film spy itu bagaimana ia membuat karakter tampak menarik yang lalu akan membawa saya ikut terperangkap didalam masalah dan petualangan yang ia lakukan. The Man from U.N.C.L.E. terasa lemah di bagian ini, skenario untuk menghidupkan kembali aksi spy retro justru sering terbentur dengan karakter yang, well, sejak awal seperti kesulitan untuk mengikat atensi penonton dengan pesona mereka. Henry Cavill dan Armie Hammer memang oke secara tampilan fisik tapi mereka kurang berhasil menggambarkan sosok tangguh yang membuat penonton yakin sepenuhnya bahwa mereka merupakan orang yang tepat dalam menjalankan misi tersebut, dan hasilnya The Man from U.N.C.L.E. seperti kekurangan pesona bahkan karisma dari bagian karakter yang notabene menjadi salah satu faktor paling penting dari sebuah film spy.



Pada akhirnya ketimbang menjadi sebuah film spy penuh intrik menarik The Man from U.N.C.L.E. lebih terasa seperti menyaksikan sebuah kompetisi adu lari dengan pakaian yang menawan, terkadang ia mencoba memacu cerita dengan cepat tapi tidak jarang ia juga mencoba mengurangi kecepatannya untuk menyimpan tenaga, berjalan sedikit lamban lalu sedikit melaju, kembali sedikit lamban lalu kemudian kembali sedikit melaju. Kondisi tadi sebenarnya bukan sesuatu yang salah namun Guy Ritchie mengemudikan The Man from U.N.C.L.E. seperti supir yang berkendara di larut malam, ketika masih segar ia santai dan bersenang-senang tapi ketika semakin kantuk yang ia lakukan menekan gas untuk buru-buru sampai di tempat tujuan. Karakter, plot, bahkan atmosfir dari sebuah film spy memang berhasil di bentuk di awal tapi pengembangannya itu yang terasa kaku dan kurang menarik.



Dan The Man from U.N.C.L.E. tambah menjengkelkan karena ia membuang percuma apa yang telah dilakukan bagian action yang tampil bagus, tentu saja selain penggunaan Alicia Vikander yang kurang on itu. Editing dan soundtrack cukup menarik, penggunaan efek pada permainan screen yang efektif “menyerang” penonton ketika mereka masuk kedalam mode pengejaran, dan harus di akui ini mampu memberikan nilai positif bagi film bahkan dalam kuantitas yang besar pada beberapa penonton. Tapi seperti perumpamaan tadi itu adalah bagian dimana The Man from U.N.C.L.E. melaju, The Man from U.N.C.L.E. dalam kondisi on, namun ketika action sequence itu berlalu The Man from U.N.C.L.E. mulai menjauh dari kondisi on. Apa yang terjadi setelah action sequence? Permusuhan tersembunyi dengan mondar-mandir yang terkadang terlalu santai tidak lupa dilengkapi aksi olok-olok atau saling sindir yang terasa kikuk dan kurang bernyawa. 



Masalah utama dari The Man from U.N.C.L.E.: excitement, tampil dengan irama yang kurang pas, terkadang ketat dan menyenangkan tapi sering juga terasa longgar sehingga terasa monoton. Di awal The Man from U.N.C.L.E. sudah oke untuk menghidupkan kembali film spy retro dengan sentuhan modern yang stylish dan energik, tapi setelah itu ia sangat bergantung pada performa visual untuk hidup, bagian yang punya potensi besar untuk memuaskan penonton. Tapi selain visual yang menyenangkan itu The Man from U.N.C.L.E. adalah kombinasi antara James Bond dan Austin Powers dengan nada yang terlalu santai, dipenuhi karisma yang kurang tangguh serta lelucon setengah matang. Pesona Mission Impossible : Rogue Nation masih mampu terasa menarik untuk diperbincangkan satu minggu sejak ia rilis, sedangkan pesona film ini mungkin hanya mampu bertahan selama dua hari. Tidak buruk tapi juga tidak memukau. Sekuel? Hell yes!













Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment