18 April 2016

Review: Demolition (2016)


"Repairing the human heart is like repairing an automobile."

Setiap orang punya cara mereka masing-masing dalam menjalani masa berduka, ada yang benar-benar tenggelam dalam rasa sakit, adapula yang mencoba bangkit dengan meyakinkan dirinya bahwa kemalangan yang menimpanya adalah sebuah jalan agar dirinya dapat menghargai hal-hal baik yang ia peroleh. Film ini bercerita tentang rasa bersalah dan kesedihan melalui sebuah metafora yang mencoba untuk tidak “mudah” dengan mencampur materi serius bersama sentuhan komedi. From the director of Dallas Buyers Club and Wild, here comes Demolition, a confused comedy-drama.

Davis Mitchell (Jake Gyllenhaal), pria yang bekerja di sebuah perusahaan keuangan milik ayah mertuanya Phil (Chris Cooper), harus menghadapi momen sulit dalam hidupnya. Istrinya, Julia (Heather Lind), meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil yang membuat kondisi mental Davis terganggu. Suatu ketika Davis mengirimkan surat kepada produsen mesin penjual otomatis karena ia merasa mesin tersebut telah “mencuri” uangnya. Surat tersebut ternyata menarik perhatian customer service bernama Karen Moreno (Naomi Watts) yang juga sedang memiliki masalah keuangan dan emosi. Dibantu anak Karen, Chris Moreno (Judah Lewis), Davis mulai mencoba membongkar dan membangun kembali kehidupannya. 



Jean-Marc Vallee punya kemampuan membuat koneksi antara karakter di dalam cerita dengan penontonnya, dari The Young Victoria, Café de Flore, Dallas Buyers Club, hingga Wild semuanya berhasil melakukan hal tersebut. Karakter diberi konflik dengan fokus yang kuat tapi koneksi antara dirinya dengan penonton yang membuat konflik familiar jadi terasa lebih manis karena kita sebagai penonton mengerti dan mencoba merasakan masalah yang dihadapi karakter. Demolition melakukan itu dengan sangat baik, di bagian awal. Davis Mitchell adalah karakter yang menarik diamati, cara menunjukkan dunianya membuat berhasil membuat penonton merasa ingin tahu tentang karakter. Reaksinya mungkin biasa tapi Davis Mitchell seperti punya obsesi antara baik dan buruk yang akan membuatmu tertarik untuk menanti apa yang akan terjadi.




Sinopsis Demolition jujur saja tidak istimewa dan bicara tentang kadar menjanjikan juga tidak besar, tapi setup dasar cerita membuat premis jadi tampak menjanjikan. Bagian terbaik dari Demolition di bagian cerita adalah Jean-Marc Vallee (tidak menjadi editor di sini) ingin agar koneksi yang telah terbangun antara karakter dengan penonton tadi tidak berjalan “mudah”. Proses pengembangan karakter Davis beserta masalahnya terasa nyaman, ia seperti pria yang haus akan perhatian penonton tapi mampu membuat penonton rela untuk memberikan perhatian padanya. Skenario juga bagus dalam membuat komunikasi emosi antara dua pihak berjalan menarik. Tapi seperti yang telah saya singgung sebelumnya hal-hal manis ini terjadi di awal cerita, dengan durasi 100 menit sayangnya Demolition berakhir sebagai sebuah drama dan komedi dalam babak yang berbeda.



Seperti ada sesuatu yang hilang di dalam Demolition, masalah karakter sudah menetap di dalam pikiran penonton tapi metamorfosis agar cerita berkembang menjadi lebih menarik dan lebih tajam tidak terasa nyaman. Karena berusaha menjadi sajian yang tidak “mudah” Demolition mengandung banyak hal-hal “aneh” yang membuat penonton bertanya kenapa dan mungkin. Apakah Davis tidak pernah mencintai mantan istrinya? Apakah kondisi berduka Davis benar-benar “legit”? Apakah Davis pria gila? Apa alasan di balik aksi-aksi aneh yang ia lakukan? Pertanyaan-pertanyaan seperti tadi mulai muncul, Demolition seperti mencoba membuat penonton menaruh simpati pada masalah Davis akan ketidakmampuannya dalam hal emosi tapi sayangnya hal tersebut lebih terasa seperti tameng untuk berlindung dari cerita yang mulai stuck. Dan yang lebih disayangkan lagi karakter Davis perlahan kehilangan pesona yang ia punya di awal tadi.



Tidak heran seiring pergeseran nada cerita Demolition yang awalnya menarik berubah menjadi sebuah studi karakter yang, well, terlalu biasa. Ketika telah berhasil mengajak penonton untuk mengamati Davis cerita perlahan mulai terlalu sering bermain di hal-hal sepele yang tidak mencerahkan fokus utama. Setelah menaruh simpati penonton seharusnya mulai khawatir pada Davis, sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Nada cerita yang tidak stabil jadi penyebab utama Demolition perlahan jadi roboh, tidak stabil. Kombinasi drama dan komedi terasa liar dan menggerus kekuatan fokus utama yaitu karakter Davis itu sendiri. Demolition punya konflik utama yang serius tapi cara ia mencoba memasukkan komedi kedalamnya terasa kurang padu, penonton jadi sulit peduli dengan Davis yang di awal bahkan tampak seperti punya potensi untuk bunuh diri.



Fokus pada usaha Davis mempertahankan hidupnya yang perlahan mulai kurang menarik sayangnya tidak bisa ditolong sepenuhnya oleh kinerja cast. Jake Gyllenhaal memberikan satu lagi kinerja memikat dalam karirnya, Davis Mitchell ia bentuk menjadi pria bermasalah yang seolah punya daya magnet, penonton tertarik pada apa yang akan terjadi padanya meskipun cara main cerita perlahan cukup menggerus rasa peduli penonton padanya. Chemistry Gyllenhaal dengan Judah Lewis juga baik, persahabatan mereka menarik meskipun hadir di bagian di mana karakter Davis mulai kurang berkembang. Yang sangat disayangkan di sini adalah Naomi Watts, interaksinya antara Davis dan Karen punya emosi yang oke tapi sayangnya ia kurang dilibatkan lebih dalam, cerita kurang baik dalam memanfaatkan karakter Karen.



Demolition bukan film yang buruk, cara ia membentuk ide tentang kesedihan dan rasa bersalah terasa baik, ia juga mampu menjaga penonton untuk tetap berada di samping karakter utama, dan beberapa momen komedi juga tidak buruk. Tapi ini terlalu biasa untuk sebuah film yang ditangani oleh Jean-Marc Vallee terlebih apa yang ingin dicapai oleh Demolition merupakan “keahlian” dari Vallee. Menampilkan kinerja yang kuat dari Jake Gyllenhaal film ini punya nada cerita yang kurang stabil, tampil begitu baik di awal perlahan Demolition tampak bingung dan kewalahan, berusaha mencoba tampil "tidak mudah” namun sayangnya berakhir terlalu “mudah”. Segmented. 






















Thanks to rory pinem

0 komentar :

Post a Comment