18 April 2016

Review: The Jungle Book (2016)


"The jungle is no longer safe for you."

The Jungle Book merupakan kumpulan cerita yang timeless, cerita yang ketika kamu baca kembali masih akan terasa menarik dan semakin tinggi jenjang usia ketika kamu membacanya maka akan semakin luas pula kerangka acuan serta perspektif yang akan kamu temukan dan rasakan, dari tradisi, ketekunan, kesetiaan, keberanian, kehormatan, hingga integritas. From the director who brought you Iron Man eight years ago film ini berhasil melakukan reimagining The Jungle Book kedalam presentasi yang tidak hanya hanya sekedar proporsional dalam konteks cerita namun juga menjadi sebuah petualangan gelap dan terang yang thrilling serta eye candy.

Ditemukan oleh Bagheera (Ben Kingsley) ketika masih bayi, anak manusia bernama Mowgli (Neel Sethi) tumbuh besar diasuh oleh serigala bernama Raksha (Lupita Nyong'o) bersama gerombolannya yang dipimpin oleh Akela (Giancarlo Esposito). Mowgli tumbuh bahagia di alam liar hingga suatu ketika di saat gencatan senjata akibat kekeringan air minum berlangsung harimau bernama Shere Khan (Idris Elba) muncul dengan sebuah ancaman terhadap Mowgli. Sadar akan bahaya yang mengancam Bagheera memilih untuk mengantar Mowgli kembali ke dunia manusia. Celakanya jalan mereka tidak mudah, dari bertemu python Kaa (Scarlett Johansson), Gigantopithecus King Louie (Christopher Walken), hingga beruang bernama Baloo (Bill Murray). 



Meskipun membawa banyak isu The Jungle Book mencampur itu semua menjadi sebuah pertunjukkan yang nyaman untuk ditonton bersama keluarga. Ya, nyaman, apakah juga aman? Tidak sepenuhnya. Banyak karakter menarik, banyak kombinasi warna yang menyenangkan, sulit rasanya untuk sepenuh hati memberikan lampu hijau sepenuhnya bahwa film ini merupakan family movie yang ramah. Di tangan Jon Favreau serta naskah yang ditulis oleh Justin Marks berdasarkan kumpulan cerita karya Rudyard Kipling film ini mencoba menghadirkan pendekatan dengan kombinasi gelap dan terang. The Jungle Book punya momen yang dapat terasa menakutkan bagi penonton anak-anak meskipun Jon Favreau berhasil menjaga agar cerita tidak tampil kelam begitu frontal, salah satunya dengan memanfaatkan visual yang menyenangkan.



Hal terbaik dari The Jungle Book adalah presentasi visual yang pretty damn good! Potensi “menakutkan” juga lahir dari tampilan visual yang terasa nyata, tampil begitu impresif sampai-sampai terasa sedikit sulit untuk menerima bahwa hewan-hewan yang tampil anthropomorphic itu merupakan hasil olahan komputer menggunakan teknik motion capture. Para animator melakukan pekerjaan yang memukau di sini, live action tidak cuma terasa mulus saja tapi pesona dari masing-masing karakter berhasil memikat penonton. Semua tampak menakjubkan, reimage karakter terasa manis dari detail hingga emosi sehingga kehadiran mereka di layar meninggalkan kesan yang kuat, penyajian 3D juga oke dalam memberikan kedalaman. Tapi sayangnya elemen yang benar-benar kuat dari The Jungle Book hanya ini, hanya visual, karena selebihnya tampil seperti pendekatan yang coba ia berikan, ada yang terang namun ada pula yang gelap.



Di awal perlu waktu untuk membentuk reimagining petualangan di alam rimba ini, skenario masih duduk manis menggunakan sinopsis dasar tapi terdapat usaha untuk membuat  “jalan” baru. Cerita seperti ingin membuat Mowgli menjadi pahlawan dengan menciptakan koneksi dengan kerajaan hewan. Dampaknya cerita mondar-mandir untuk mengembangkan konflik, sesekali terasa santai namun memiliki pula bagian yang mampu memompa adrenalin penontonnya. Masalahnya bukan di situ, tapi terletak pada kombinasi antar nada cerita yang variatif. Seperti Mowgli yang bergerak liar di hutan nada cerita The Jungle Book juga terasa liar, walaupun fokus utama kuat tapi transisi tidak selalu halus, dan tampil dengan menggunakan chapter yang tersirat membuat petualangan seperti kurang solid, terkadang cepat dan sangat halus, terkadang kaku dan sedikit draggy.



Apakah minus tadi mengganggu? Sulit pula untuk memberi lampu hijau pada masalah ini. Jon Favreau kembali berhasil menyajikan struktur bercerita yang cermat sehingga kekurangan mampu ia tutup dan potensi mengganggu tidak meledak. Ambil contoh ketika sedikit terlalu tenang ia memanfaatkan dengan sangat baik interaksi antara Mowgli dan Baloo, bagian paling menghibur dari film ini. Bagian awal film yang sedikit terlalu tenang juga punya momen intens menggunakan Shere Khan. Thrill yang naik dan turun berhasil Jon Favreau kontrol dengan proporsi yang cermat, meskipun sayangnya karena terombang-ambing di titik tengah ketika di satu sisi ia berhasil selamat dari kemungkinan menjadi petualangan membosankan di sisi lain The Jungle Book juga tidak berhasil menjadi petualangan thrilling dan hangat yang membuat kata  “wow” muncul ketika ia telah berakhir.



Kualitas kinerja cast juga mixed, dan minus ada di Neel Sethi. Ketika tampil loncat dan berlari Mowgli tampil baik namun ketika ia dituntut untuk menyampaikan emosi lewat ekspresi ia kurang berhasil. Emosi Mowgli datar!  Itu pula alasan kenapa yang paling memorable dari bagian akting justru para pengisi suara yang tidak hadir secara fisik di layar. Ben Kingsley memberikan kedalaman yang oke pada Bagheera, kesan peduli dan melindunginya tampil kuat. Idris Elba memberikan pesona menakutkan yang kuat pada Shere Khan, Christopher Walken di sini tampil sebagai Christopher Walken, dan Scarlett Johansson menyuntikkan hembusan “angin” yang begitu chilling ketika Kaa muncul. Dan Bill Murray adalah bintang di bagian pengisi suara, meskipun ia membuat lagu terasa canggung tapi Baloo benar-benar terasa “hidup” di dalam cerita berkat suara dari Murray yang begitu klik dengan karakteristik Baloo yang fun.



The Jungle Book merupakan petualangan energik dengan balutan visual yang menawan, sebuah prestasi teknis penuh warna yang impresif. Naik dan turun dengan pergeseran nada antara gelap dan terang The Jungle Book berhasil menjadi sebuah reimagining materi lama dengan proporsi cerita yang baik, tidak sekedar menjadi eye candy yang manis namun juga sama manisnya ketika mencampur komedi bersama dengan tragedi. Namun karena terlalu stabil bermain di titik tengah dan fokus yang besar pada action menyebabkan The Jungle Book kurang mampu menciptakan rasa “hangat” yang kuat dari petualangan tersebut ketika ia telah berakhir. Good proportion, engaging, fancy in visual terms, The Jungle Book is good, but sadly overall not a "wow".






















Cowritten with rory pinem

1 comment :