Showing posts with label Felicity Jones. Show all posts
Showing posts with label Felicity Jones. Show all posts

Movie Review: The Last Letter from Your Lover (2021)

“There is never enough time, never enough of you. Let's meet tomorrow. B.”

Memilih pasangan hidup juga bisa salah. Tentu hal tersebut masuk kategori blunder besar jika terjadi dan seringkali akan meninggalkan pihak yang merasa salah tadi di dalam perasaan menyesal. Ada beberapa opsi, kamu bertahan dan menjalani hidup yang sudah kamu pilih, stuck in your disappointment, atau kamu mencoba “keluar” and attempting another shot at happiness, to try again, to feel again? Perselingkuhan adalah jawaban paling umum bagi opsi kedua tadi. Spontanitas merupakan inti dari banyak hal-hal indah namun juga merupakan akar dari banyak ketidakpuasan, dan bukankah hidup adalah tentang bagaimana menjadi bahagia tanpa rasa penyesalan? ‘The Last Letter from Your Lover’ : a safe and sound romantic drama.


Movie Review: Rogue One: A Star Wars Story [2016]


"This is our chance to make a real difference."

Pada 1970s dan 1980s ‘Star Wars’ hadir dengan original trilogy, kemudian pada akhir 1990s serta awal 2000s mereka mundur kebelakang dengan prequel trilogy. Terdapat jarak yang cukup besar di antara dua trilogy tersebut, sesuatu yang sejak tahun lalu untuk sementara tidak akan terjadi lagi. Dimulai dengan ‘The Force Awakens’ yang hadir tahun lalu sebagai titik awal bagi sequel trilogy hingga tahun 2020 nanti setiap tahunnya para fans Star Wars memiliki kesempatan untuk berkumpul bersama, melakukan toast sembari mengucapkan “May the Force be with you”. Rogue One: A Star Wars Story menjadi pembuka Star Wars saga kategori keempat, sebuah anthology films yang berisikan kumpulan spin-off dan stand-alone films. Apakah film pertama experiment dari George Lucas ini melakukan pekerjaan yang baik? It’s an “al dente” Star Wars movie.

Movie Review: A Monster Calls (2016)


"He called…for a monster."

Salah satu dari sekian banyak alasan mengapa hidup ini indah adalah karena kehidupan merupakan sebuah petualangan penuh warna, tidak sebatas hitam dan putih ia memiliki berbagai misteri dan tentu saja kejutan, terkadang itu menyenangkan namun tidak sedikit pula yang terasa menyakitkan. Selalu ada hal-hal yang menjadi “bumbu” di dalam kehidupan setiap manusia, dari yang positif, negatif, maupun yang terdapat di antara dua hal tersebut, mereka merupakan sesuatu yang harus setiap manusia hadapi dan lalui untuk dapat merasakan hal tadi, sebuah kehidupan yang indah. Hal tersebut yang coba digambarkan oleh film ini dalam perpaduan kisah coming-of-age, family, dan juga fantasy. A Monster Calls: a fantasy where glossy and gloomy coexist.

Movie Review: Inferno (2016)


"We're a minute to midnight."

Jika berbicara tentang petualangan Professor Robert Langdon baik itu di novel maupun dua film sebelumnya, ‘The Da Vinci Code’ serta ‘Angels & Demons’ maka lukisan dan kanvas kosong merupakan dua hal paling identik dengannya, dari misteri, simbol, dan tentu saja Langdon serta karakter lainnya, mereka ibarat kuas dan warna yang digunakan untuk mencoba memberi “kehidupan” pada kanvas yang kosong tadi. Hal tersebut kembali coba dilakukan Langdon di film ini, ‘Inferno’, sebuah usaha mewarnai kanvas kosong dengan berbagai misteri di mana kali ini dia dihadapkan pada sebuah problema yang dapat menciptakan sebuah malapetaka besar. Inferno: a floating, frenetic, plus fun seek and find.

Review: The Theory of Everything (2014)


"However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at."

Apakah kamu pernah mengikuti tantangan berantai yang tahun lalu sempat membuat kehebohan bernama Ice Bucket Challenge? Banyak orang pasti menilai itu sebagai aksi seru-seruan belaka tapi pada dasarnya tantangan tersebut punya tujuan yang menarik, meningkatkan kepedulian kita pada Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS), penyakit saraf yang dapat mengakibatkan disfungsi otot. Lantas apa hubungannya dengan film ini? Sosok yang coba digambarkan The Theory of Everything adalah penderita penyakit tersebut, dan perjuangan yang ia berikan dari akademi hingga kisah cinta menurut saya punya power yang bukan hanya lebih kuat dalam dari sekedar menuangkan seember es tadi, tapi juga meninggalkan kita penontonnya dengan inspirasi sederhana yang menyenangkan.

Movie Review: The Amazing Spider-Man 2 (2014)


I like to think Spider-Man gives people hope.

Di edisi pertama reboot miliknya dua tahun lalu itu superhero jenius dengan gerak cepat dan refleks yang memikat ini berhasil membuktikan bahwa ia tidak menjadi sesuatu yang totally useless ketika kembali beraksi bersama tubuh dibalut latex ketat itu hanya lima tahun setelah ia melakukan aksi terakhirnya. Sukses menampar sikap pesimis, beban yang sedikit berkurang, edisi kedua ini berhasil tampil lepas untuk menawarkan kembali cerita familiar itu dalam sebuah petualangan yang menyenangkan masih dengan aksi terbang dan melayang di antara gedung pencakar langit kota New York. The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro, when music and action sequence kill a bit draggy story minus. I'll simply say it's on again, it's on again. 

Movie Review: The Invisible Woman (2013)


“You have been the embodiment of every graceful fancy that my mind has ever become acquainted with.”

Jika suatu saat ketika kisah cinta yang anda miliki telah berjalan dalam hitungan dekade, namun perlahan mulai merasakan bahwa kekuatan cinta itu telah pudar, apa yang akan anda lakukan? Terus memaksakan diri sekalipun faktanya sudah tidak lagi merasakan bahagia, atau justru mengambil langkah berani dengan berlayar dan berlabuh pada sosok baru yang dapat memberikan rasa bahagia tersebut kepada anda. Simple system but seems complicated. Hal tersebut coba digambarkan oleh The Invisible Woman, film kedua Lord Voldemort sebagai sutradara, a sad love story in effective and elegant way. This is a tale of woe. This is a tale of sorrow.

Movie Review: Hysteria (2011)


Sebenarnya saya menonton film ini hanya untuk mengisi waktu luang. Tapi ketika film berakhir, tiba-tiba saya merasa bersalah jika saya tidak mereview film ini. Hysteria, film bergenre komedi dan drama yang disutradarai oleh Tanya Wexler ini bercerita tentang proses penemuan alat vibrator.