08 January 2015

Review: The Theory of Everything (2014)


"However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at."

Apakah kamu pernah mengikuti tantangan berantai yang tahun lalu sempat membuat kehebohan bernama Ice Bucket Challenge? Banyak orang pasti menilai itu sebagai aksi seru-seruan belaka tapi pada dasarnya tantangan tersebut punya tujuan yang menarik, meningkatkan kepedulian kita pada Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS), penyakit saraf yang dapat mengakibatkan disfungsi otot. Lantas apa hubungannya dengan film ini? Sosok yang coba digambarkan The Theory of Everything adalah penderita penyakit tersebut, dan perjuangan yang ia berikan dari akademi hingga kisah cinta menurut saya punya power yang bukan hanya lebih kuat dalam dari sekedar menuangkan seember es tadi, tapi juga meninggalkan kita penontonnya dengan inspirasi sederhana yang menyenangkan.

Stephen Hawking (Eddie Redmayne) merupakan mahasiswa pascasarjana di Cambridge, pria kurus dan canggung berusia 22 tahun yang punya ambisi besar dibalik sikap pemalas yang terkadang ia tunjukkan. Hawking sedang menyusun tesis tentang studi blackhole dan asal usul alam semesta yang hamper rampung, dan kebahagiaannya seolah hamper lengkap ketika ia jatuh cinta pada mahasiswi kesenian bernama Jane Wilde (Felicity Jones). Tapi sayangnya rasa bahagia itu tidak berlangsung lama karena setelah itu Hawking mendapati bahwa ia memiliki penyakit ALS, penyakit yang melemahkan kerja otot tubuhnya. 



Mungkin dikarenakan Stephen Hawking sendiri yang merupakan salah satu sosok terkenal dan dihormati di dunia sains jadi akhirnya film ini akan sulit untuk memuaskan banyak penontonnya. The Theory of Everything tidak berbicara secara terlalu mendalam tentang teori ilmiah dari kosmologi hingga waktu yang akan membawa kamu berjalan-jalan bersama mekanika kuantum hingga teori relatifitas, jualan utamanya adalah perjuangan dari seseorang yang hidup dengan segala keterbatasan untuk dapat sukses di dunia physics lengkap dengan bumbu asmara. Itu yang film ini coba sajikan, dan itu indah, pendekatan episodik yang dikemas dengan cekatan tapi tetap mengandalkan kelembutan sehingga cerita mampu menantang dalam rasa yang halus.



Tidak bisa dipungkiri memang kalau ini adalah hiburan yang predictable, James Marsh memakai banyak formula standard dari elemen yang coba ia usung, dari drama paling klasik, kemudian biografi dengan usaha meninggalkan pelajaran dari tokoh yang kita amati, komedi dalam kapasitas yang pas, hingga romance yang mengelilingi elemen-elemen tadi dalam kelembutan yang memikat. Ya, lembut, mungkin itu kata yang dapat saya gunakan untuk menggambarkan film ini, semua bagian dari itu yang bersifat ilmiah sampai dengan cinta saling berpotongan dengan manis didalam screenplay karya Anthony McCarten yang terasa aman itu. Ada kecermelangan dari seorang Hawking yang kita tangkap, ada sikap berani yang ia tonjolkan bergitu pula dengan Jane, ada kegigihan yang kuat, dan yang paling menarik ia tidak mencoba memaksakan semuanya untuk terus menerus terasa manis, keindahan juga hadir lewat tragedi.



Hal termanis dari The Theory of Everything adalah perjuangan dua karakter yang ia jual dengan tepat meskipun memang segmented, jika kamu klik dengannya maka kamu akan hanyut bersama permainan psikologi dan emosi yang menarik, tapi kalau sejak awal saja tidak klik semua yang ia berikan akan sulit bahkan saya jamin di pertengahan film kamu akan langsung menilai film ini sebagai sebuah miss buat kamu, bukan hit. Saya suka dengan intensitas yang diberikan oleh James Marsh dan itu semakin menarik karena sepanjang film cerita terkesan disampaikan secara straightforward, langsung menuju sasaran yang ia ingin sampaikan tanpa melibatkan dramatisasi yang berlebihan, jadi banyak hal-hal menarik terutama terkait pernikahan yang tersebar didalam alur yang lurus dan mulus itu.



Tentu saja ia menjadi salah satu film favorit di daftar film yang saya saksikan tahun lalu, tapi dengan begitu banyaknya film dengan kualitas yang sama dengannya sedikit sulit untuk mengatakan The Theory of Everything sebagai film terbaik tahun lalu, namun Eddy Redmayne yang tampil mengagumkan serta Felicity Jones yang sukses membawa perjuangan dan penderitaan untuk hadir sepanjang film jelas merupakan dua aktor dengan penampilan paling memikat tahun lalu. Bukan film yang benar-benar memukau dengan menghadirkan segala ledakan baik itu pada cerita dan juga karakter miliknya, tapi dengan segala kelembutan yang tajam dalam setiap pesan yang ia bawa jika kelak ada yang meminta saya untuk menyusun film bertemakan pernikahan yang paling menarik, The Theory of Everything pasti akan menjadi salah satu bagiannya.









0 komentar :

Post a Comment