08 January 2015

Movie Review: Taken 3 (2015)


"He loves his family, but he has a lot of enemies." 

Bryan Mills merupakan pria dengan dua sosok yang ia cintai, seorang mantan istri dan seorang anak perempuan. Di film pertama ia menelusuri kota Paris untuk menemukan anak perempuannya yang di culik, di film kedua giliran mantan istrinya yang kini menghilang di kepadatan kota Istanbul. Nah, yang kemudian sedikit membingungkan adalah dengan konsep yang sama di dua film sebelumnya siapa lagi yang akan menghilang di film ketiganya ini? Siapa lagi yang akan Bryan coba selamatkan dengan genggaman pistol di tangannya? Uniknya ternyata rasa bingung itu juga dimiliki oleh film ini. Taken 3, trying to look thoughtful but ends dull, an impotent superdad goodbye.

Lenore Mills (Famke Janssen) ternyata masih belum bisa lepas dari ketergantungan kepada mantan suaminya, Bryan Mills (Liam Neeson), dan itu terbukti ketika ia memiliki sebuah masalah wanita dengan nama panggilan Lenny itu memilih untuk datang dan bercerita kepada Bryan. Lenny memiliki masalah dengan suaminya kini, Stuart St. John (Dougray Scott), pernikahan yang ia sebut tidak lagi memberikannya semangat untuk dijalani bersama. Mengerti akan masalah yang dialami mantan istrinya Bryan kemudian memberikan kunci rumah yang akan ia tinggalkan selama beberapa hari kedepan sebagai antisipasi jika Lenny memerlukan tempat untuk menyendiri. Namun Stuart menilai berbeda kedekatan diantara Bryan dan Lenny. 

Stuart meminta agar Bryan menjauhi Lenny sebagai upaya membantu agar pernikahannya kini dapat kembali pulih, permintaan yang keesokan harinya kembali bersambung dan kali ini berasal dari Lenny yang ingin bertemu dengan Bryan. Anehnya adalah Lenny yang meminta Bryan untuk membeli beberapa roti untuk mereka santap justru telah terbaring lemah di atas tempat tidur ketika Bryan tiba di rumahnya. Hal tersebut menjadikan emosi Bryan meledak dan memberontak ketika polisi hendak menangkapnya, melarikan diri untuk menemukan pelaku serta menyelamatkan satu lagi sosok yang sangat ia cintai Kim Mills (Maggie Grace) meskipun harus berhadapan dengan Inspector Franck Dotzler (Forest Whitaker) beserta tim miliknya.


Upaya untuk menjadikan Taken 3 berbeda dari dua pendahulunya pada dasarnya patut untuk di apresiasi, ya setidaknya ada niat untuk memberikan sedikit penyegaran dari konsep menghilang lalu search and rescue yang telah identik dengan Taken. Tapi yang menjadi masalah disini adalah Taken 3 tidak melakukan itu dalam kuantitas yang sedikit dimana ia menciptakan perubahan yang cukup besar, cukup signifikan, yang kemudian menghasilkan boomerang bagi film ini yang faktanya cukup menyakitkan. Kita tahu bagaimana Taken berjalan, kita tahu apa yang menjadi jualan utamanya dan bagaimana cara ia menjual daya tariknya, namun hal-hal yang sekalipun tetap bermain aman namun jika di modifikasi dengan tepat dapat memberikan sebuah penyegaran itu menghilang dari film ini, sebuah finale yang seharusnya menjadi sebuah puncak namun celakanya justru tampak seperti sebuah film yang terpisah dari pendahulunya.

Segala upaya klise pada premis dasar cerita mungkin tidak perlu di bahas lebih jauh terlebih jika anda sudah mengerti bagaimana cara Luc Besson menciptakan konflik, tapi bagaimana cerita tadi dikembangkan itu yang menjengkelkan. Ibarat jalan raya Taken memberikan kita tikungan dengan sudut yang sangat tajam tepat di titik terdalam turunan, setelah kita turun dengan cepat dari puncak dan harus berbelok dengan tajam untuk kemudian kembali berusaha melakukan pendakian. Melelahkan. Perubahan yang radikal menjadikan film ini sulit untuk dinikmati, dan semakin kacau karena ia sendiri dengan berani seperti menghapus identitas ikonik yang selama ini ia miliki dan menggantinya untuk menjadi sebuah penutup bersahaja. Salah? Tidak, jika di olah dengan tepat, tidak asal berantakan seperti yang dihasilkan Olivier Megaton berserta timnya, terkesan asal tempel dengan kesuksesan bergantung pada keberhasilan gimmick.


Ya, banyak sekali gimmick disini, dan tidak dapat dipungkiri beberapa dari mereka mungkin akan berhasil mengelabui perhatian dan membuat anda tertarik pada mereka. Sebut saja sebagai pembuka gerak kamera yang menampilkan pergeseran sangat cepat dari satu bagian ke bagian lain pada aksi pengejaran Bryan di tahap awal itu, ia berpotensi terlihat keren padahal itu merupakan aksi licik dari editing untuk menciptakan tensi bagi cerita. Kembali lagi, apakah itu salah? Tidak, tapi usaha itu tetap saja tidak menghasilkan tensi yang baik. Ya, irama menjadi masalah besar lainnya dari film ini dan semua dikarenakan keinginannya untuk berubah tadi, menyuntikkan sedikit momen melodrama yang celakanya menjadi tempat dimana thrill benar-benar menghilang. Hasilnya, kita tidak mendapatkan alur cerita yang terus memompa kita bersama usaha Bryan yang penuh semangat, sering kali terputus dibanyak bagian.

Jadi jangan heran jika anda akan sering bertemu dengan momen canggung bahkan hambar didalam film ini, karena sama seperti ekspresi Bryan sepanjang film ini merupakan sebuah penutup yang pada dasarnya sudah lelah dari segi cerita, ia eksis hanya sebagai usaha untuk memanfaatkan sisa-sisa potensi keuntungan finansial belaka. Kemarahan seorang ayah dan suami yang rela melakukan apa saja untuk sosok tidak ada disini, kebrutalan yang ia ciptakan tidak lagi mempesona karena posisinya dalam cerita yang juga telah di tukar, aksi menyiksa, aksi bersembunyi, aksi kejar-kejaran menggunakan mobil, mereka hadir dalam wujud potongan-potongan terpisah yang tidak berhasil Olivier Megaton gabung menjadi satu kesatuan, membuang percuma potensi dari karakter utama yang tersisa karena sibuk untuk menjadikan ini terlihat lebih thoughtful meskipun yang ia hasilkan justru sebuah petualangan yang tumpul.


Divisi acting tidak menghasilkan masalah yang begitu besar. Tidak ada masalah berarti yang dihasilkan oleh Liam Neeson disini, ia melakukan apa yang harus ia lakukan sebagai Bryan. Yang menjadi masalah adalah sinar dari karakter miliknya itu tidak lagi dijadikan tumpuan utama disini, bahkan sering kali seolah dijadikan sebagai poacher yang membawa kita menuju dua karakter lain di sekitarnya, Kim dan Dotzler. Performa dari Maggie Grace masih dalam batasan yang wajar dalam artian tugas yang ia bawa dapat ia tampilkan dengan tepat, dari rasa kehilangan hingga rasa takut pada potensi kehilangan selanjutnya, yang menjadi masalah adalah Forest Whitaker sebagai Franck Dotzler. Sejak awal saya mencoba untuk mengamati mau dijadikan seperti apa karakter Dotzler, polisi yang eksentrik ia gagal, polisi layaknya Sherlock Holmes ia juga gagal, dan sering kali kehadirannya menjadikan alur cerita stuck dan terasa canggung.


Overall, Taken 3 adalah film yang kurang memuaskan. Film ini ibarat mobil yang selama ini selalu melewati jalan bebas hambatan namun kali ini harus terjebak dalam sebuah kemacetan jalanan normal. Ia tidak malu untuk mencoba berubah tapi ia juga tidak malu untuk menghilangkan kekuatan utama yang menjadi andalannya selama ini. Melodrama sebagai upaya untuk tampak bersahaja, sayangnya hal tersebut menjadikan ini sebagai hiburan yang hambar, miskin semangat, miskin tensi, miskin momentum, trying to look thoughtful but ends dull. Yeah, it ends here, it ends dull. 








0 komentar :

Post a Comment