21 March 2013

Movie Review: The Girl Who Played with Fire (2009)

 

Seperti yang kita ketahui, The Girl with the Dragon Tattoo tidak diakhiri dengan cara yang biasa. Ia memang sukses membongkar semua misteri yang dengan rapi telah dibangun sejak awal, dan menghadirkan sebuah penyelesaian yang solid dan jelas. Namun ada sebuah adegan yang sangat memorable di akhir cerita, ketika terjadi sebuah kasus dengan bukti berupa gambar cctv seorang wanita menggunakan wig blonde yang diduga menjadi dalang dari kasus tersebut. Dia adalah Lisbeth Salander, wanita yang ternyata bukan hanya memiliki tattoo, melainkan juga gemar bermain dengan api, bermain dengan masalah.

Setelah setahun berlibur dan menikmati uang yang ia peroleh, Lisbeth (Noomi Rapace) memutuskan kembali ke Stockholm untuk memulai kehidupan yang lebih damai, menyewa apartemen dan tinggal bersama kekasih wanitanya, Miriam Wu (Yasmine Garbi). Tapi, ketika ia mencoba melakukan hacking ke akun bank miliknya, Lisbeth menemukan bahwa Bjurman (Peter Andersson), guardian-nya, telah menggunakan uang miliknya untuk melakukan operasi menghapus tattoo yang Lisbeth ciptakan di perut nya. Tidak tinggal diam, Lisbeth memutuskan untuk memberikan peringatan kepada Bjurman. Ya, hanya peringatan, namun anehnya Bjurman justru tewas dengan peluru di kepalanya.

Di sisi lain Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist) yang tidak tahu Lisbeth berada dimana, mendapatkan seorang partner baru bernama Dag Svensson (Hans Christian Thulin), jurnalis muda yang bersama kekasihnya Mia sedang melakukan sebuah research yang mereka beri nama "From Russia with Love". Research tersebut membahas mengenai sex trafficking serta kekerasan pada gadis di bawah umur di Swedia. Celakanya, nyawa mereka hilang ketika hendak berlibur, dan meninggalkan Mikael dengan petunjuk seorang bernama Zala. Tidak semudah itu, karena jenis peluru pada insiden Dag dan Bjurman ternyata sama, yang mengakibatkan sasaran utama yang langsung terkunci, Lisbeth Salander.


Berganti nahkoda ke dalam kendali Daniel Alfredson, begitupula dengan screenplay yang kali ini ditulis oleh Ulf Rydberg, cita rasa film adaptasi kedua dari novel karya Stieg Larsson ini juga mengalami perubahan dalam skala minor. Cerita justru terasa berjalan lebih cepat bagi saya jika dibandingkan dengan pendahulunya, namun dengan tempo yang tetap stabil serta tensi cerita yang diatur dengan baik. Namun sebuah resiko yang sejak awal telah diantisipasi akhirnya terjadi, yang secara garis besar langsung mempengaruhi keseluruhan film.

Ya, tidak ada yang salah dalam teknik penceritaan yang digunakan oleh Alfredson, dimana ia mampu mengkontrol film ini menjauhi potensi menjadi rusak karena statusnya sebagai lanjutan dari kisah yang sebelumnya pernah dibangun. Hubungan sebab akibat tertata dengan rapi, berhasil mengulas kembali kisah di film pertama yang mampu kembali mengingatkan penontonnya secara garis besar. Misterinya juga tetap berhasil terjaga, dengan beberapa clue yang cantik dan mungkin akan berhasil terus menghadirkan pertanyaan bagi penonton yang tidak membaca novelnya.

Yang menjadi kekurangan film ini, sesuatu yang memang tidak bisa di ubah bagaimanapun caranya, adalah terpisahnya dua karakter utama sepanjang cerita. Tidak seperti film pertama dimana mereka bekerja secara tim yang sering bersama, kali ini Lisbeth dan Mikael terpisah sepanjang film, dan bekerja secara individu. Alfredson tidak berhasil menjadikan ikatan antar dua karakter ini tetap terjalin meskipun mereka terpisah, kondisi dimana anda mengingat Lisbeth, ketika sedang menyaksikan Mikael, dan vice versa. Mereka memang sangat baik secara individu, menjadikan masalah yang mereka selidiki menjadi menarik, sulit ditebak, dan tetap mampu menciptakan ruang bagi anda untuk seolah ikut berjalan bersama mereka.

Hal tersebut berdampak pada semakin kuatnya citra film ini sebagai lanjutan dari film pertamanya. The Girl Who Played with Fire secara utuh layaknya sebuah jembatan yang menghubungkan dua pulau, film pertama dan film terakhirnya. Cukup kecewa, karena ketika membaca novelnya saya masih dapat merasakan sebuah cerita yang mampu berdiri sendiri meskipun tetap mengandung berbagai unsur dari novel pertama, dan itu tidak tampak dari film ini. Ya ya, film adalah film, dan novel adalah novel, namun bukan sebuah dosa jika setiap orang punya sebuah keinginan yang berbeda-beda, termasuk saya yang diawal mengharapkan The Girl Who Played with Fire dapat berdiri dengan kokoh.

Tidak buruk memang, dimana unsur crime dan misteri tetap mampu berpadu meskipun dua karakternya tidak bersama. Screenplay yang ia punya juga baik, dimana selalu menghadirkan bagian cerita yang efektif dan berfungsi pada keseluruhan cerita. The Girl Who Played with Fire punya nilai yang tidak dapat sejajar dengan pendahulunya, namun di film ini saya justru merasa karakter Lisbeth mengalami perkembangan yang sangat signifikan, mampu menaikkan daya tarik yang telah ia ciptakan di awal. Dampak dari terpisahnya mereka, Nyqvist jatuh ke posisi kedua, akibat penampilan apik dari  Noomi Rapace dimana ia lebih berhasil dalam menarik minat penonton kepada misteri yang ia emban.


Overall, The Girl Who Played with Fire (Flickan som lekte med elden) adalah film yang memuaskan. Mungkin semua penjelasan saya tadi memberikan kesan bahwa film ini tidaklah begitu menarik, namun itu hanyalah bentuk kekesalan saya karena ia justru tampil benar-benar layaknya jembatan penghubung antara film pertama dan ketiga. Memang mengalami penurunan jika dibandingkan film pertamanya, namun jika ditilik sebagai sebuah paket film ini tetap mampu menerjemahkan semua cerita novel tersebut dengan baik, jelas, dengan kadar misteri yang tetap memikat. Noomi Rapace tampil lebih ringan dan lebih baik serta lebih menarik dari film pertamanya.


0 komentar :

Post a Comment