21 December 2013

Movie Review: 47 Ronin (2013)


Film ini sesungguhnya telah dijadwalkan akan dirilis pada akhir november tahun lalu. Ya, bukan november tahun ini melainkan tahun lalu, didorong sedikit kebelakang menuju awal bulan februari 2013 dengan alasan terkait efek visual, namun kemudian kembali ditunda hingga akhir bulan desember dengan alasan reshoots. Kemungkinannya cuma dua, upaya untuk menjadikannya tampak semakin megah, atau upaya menyelamatkan ia dari jurang kehancuran. 47 Ronin, cukup rapi, stabil, namun monoton dan kurang bernyawa.    

Karena statusnya sebagai pria berdarah campuran antara British dan Jepang, Kai (Keanu Reeves) harus rela dipandang sebelah mata oleh para samurai di kerajaan tempat ia bermukim, Ako. Ia dianggap seperti sebuah masalah, namun celakanya sebuah tindakan licik dari seorang wanita bernama Mizuki (Rinko Kikuchi) kemudian membawa Kai kedalam sebuah masalah yang jauh lebih besar, menyebabkan pemimpin mereka Lord Asano (Min Tanaka) memutuskan untuk menebus kesalahan dengan memilih melakukan seppuku, dan Ako berada dibawah kendali Lord Kira (Tadanobu Asano).

Namun walaupun kini hanya menyandang status ronin, serta dihalangi sebuah perintah dari pemimpin tertinggi, Kuranosuke Oishi (Hiroyuki Sanada) tetap berniat untuk membalaskan dendamnya kepada Lord Kira sebagai upaya untuk mengembalikan kehormatan mantan pemimpinnya. Ia kemudian mengajak Kai untuk bergabung, bukan hanya karena Oishi tahu kemampuan yang dimiliki Kai, namun ikut melibatkan nasib seorang wanita bernama Mika (Kou Shibasaki) yang akan dinikahi paksa oleh Kira, wanita pujaan hati Kai.


Jika dijabarkan dalam sebuah kalimat sederhana, 47 Ronin adalah film yang sejak awal sudah tampak sangat cemas. Sumbernya adalah dana melimpah yang ia miliki, kemudian memberikan dampak domino pada cerita yang ditulis oleh Walter Hamada, Chris Morgan, dan Hossein Amini, hingga merembes pada kinerja Carl Erik Rinsch dibangku sutradara. Ya, mereka tampak terbebani tentu saja oleh tuntutan agar film ini dapat menjadi sebuah kemasan yang mewah dan megah, tapi celakanya hal tersebut pula yang ternyata kemudian menyebabkan Rinsch dan rekan-rekannya justru memilih bermain aman, bahkan cenderung setengah hati di tiap elemen film.

Ini tidak total. Dari segi cerita memang terasa rapi, kita seperti dibawa kedalam sebuah urutan petualangan yang terangkai dengan baik, berhasil menghidupkan kembali salah satu legenda masyarakat Jepang ini. Namun jika mencoba menilik sedikit lebih kedalam anda dapat dengan mudah menemukan sebuah rasa bingung yang dimiliki oleh 47 Ronin. Film ini tidak berani, beban diawal tadi seperti menghalangi ia untuk bergerak lebih jauh dan lebih bebas, unsur sejarah ia kemas secara umum tanpa pendalaman yang berarti, kemudian melakukan kombinasi bersama sentuhan Hollywood.

Benar, tema kehormatan dan pengorbanan itu memang berhasil tersampaikan, namun dengan cara yang sangat biasa, standard dibanyak bagian, cerita terbangun dengan cara yang biasa, begitupula dengan karakter, hingga berakhir pada permainan CGI. Ini terlalu sederhana untuk sebuah legenda potensial yang kompleks, dan pada akhirnya penonton hanya akan berpegang pada warna balas dendam ketimbang hal-hal rumit yang tersimpan dibalik itu. Screenwriter seperti sangat terbebani agar dapat menyusun sebuah kisah yang di satu sisi tampil serius namun juga harus menciptakan ruang bagi “hiburan” yang menyenangkan, memang rapi, namun ini monoton dan kaku.

Sumber utama yang menyebabkan ia tampil monoton dan kaku adalah keputusan yang diambil oleh Carl Erik Rinsch sejak awal, 47 Ronin sudah ditekan sejak ia dimulai, diatur sedemikian rupa agar dapat tampil seimbang di semua elemen. Berhasil, namun gerak mondar-mandir yang ia hadirkan itu berada di level medium, jauh dari mengesankan. Kurang bernyawa, sulit untuk menaruh simpati pada cerita dan karakter yang sejak awal tidak diberikan karakterisasi dan kedalaman yang mumpuni, padahal petualangan ini didominasi permainan dialog dalam gerak yang sabar dan stabil. Penggunaan english juga memberi dampak berarti, sulit untuk melakukan sinkronisasi pada karakter fiktif tersebut dengan kisah nyata, menghadirkan sebuah rintangan untuk dapat terjerat lebih dalam.

Yang unik dari 47 Ronin adalah ia menghadirkan sebuah proses panjang untuk mencapai finale di dua bagian, sisi emosional dari pesan dan karakter, dan juga sisi tampilan visual. Visual berhasil, set yang mengesankan, kostum yang memikat, efek visual yang cukup oke, ada nafas kuno dalam sentuhan modern yang ia tampilkan. Namun dari segi emosional: kurang memuaskan, kurang mencekam, daya tarik yang kurang kokoh dengan mudah tergerus ketika hiburan visual mulai hadir menemani. Itu juga sering menjadikan Keanu Reeves terasa kurang berharga, terlebih dengan kemampuan pemeran Jepang seperti Hiroyuki Sanada, Tadanobu Asano, dan Rinko Kikuchi memanfaatkan kesempatan yang mereka miliki dengan baik.


Overall, 47 Ronin adalah film yang cukup memuaskan. Ini menarik jika menilik struktur cerita yang ia tampilkan, walaupun beberapa materi terasa kurang pas ia masih mampu untuk tampil cukup rapi, bahkan berhasil menggambarkan kembali secara garis besar informasi terkait perjuangan dan keberanian dari para Ronin. Yang menjadi masalah adalah ia tidak punya dinamika cerita yang bernyawa, yang hidup, yang menyenangkan, ini terlalu stabil di level yang sayangnya juga tidak tinggi, terasa kaku dan kerap kali monoton.











0 komentar :

Post a Comment