20 January 2014

Movie Review: Inside Llewyn Davis (2013)


"I thought singing was a joyous expression of the soul."

Setiap manusia pasti punya mental dalam bersikap, optimis dan pesimis, idealis dan pragmatis. Namun ada satu hal yang eksis diantara mereka, sikap realistis, karena tidak perduli betapa besar skill, usaha, bahkan keraguan yang kita miliki, terkadang kehidupan akan membawa sebuah kejutan yang tak pernah kita harapkan dan kita duga hanya karena sesuatu sederhana yang berasal dari diri kita sendiri. Itu yang coba dibawa oleh film ini, dengan dominasi nada melankolis hangat dan lembut dipenuhi transisi antara sedih, lucu, sedih, dan kembali lucu, Inside Llewyn Davis, another solid classic package with a new taste from Coen Brothers.   

Pada tahun 1961, setelah kehilangan rekan musiknya, Llewyn Davis (Oscar Isaac) mencoba untuk terus mempertahankan eksistensinya sebagai seorang penyanyi musik folks di kota New York. Ya, Llewyn adalah tipikal pria yang dipenuhi dengan rasa percaya diri, ambisi, dan sikap optimis yang tinggi, meskipun dibalik itu sesunguhnya ia hanyalah seorang pria yang telah gagal, ia bahkan tidak punya tempat tinggal, terus berpindah hanya untuk mencari tempat beristirahat, dari saudara hingga apartemen milik mantan kekasihnya, Jean Berkey (Carey Mulligan), yang sesungguhnya sudah membuka sebuah peluang bagi Llewyn.

Peluang itu berasal dari Jim (Justin Timberlake) yang mengajak Llewyn untuk bergabung bersama dirinya dan juga Al Cody (Adam Driver) menyanyikan lagu ciptaannya, Please Mr. Kennedy. Namun ternyata kesempatan tersebut hanya dimanfaatkan oleh Llewyn untuk meraih keuntungan jangka pendek, karena ia punya ambisi yang lebih besar dan ia yakin dapat meraihnya, dari bertemu manajernya, hingga perjsalanan bersama Roland Turner (John Goodman) dan Johnny Five (Garrett Hesdlund), meskipun sikap overconfidence miliknya itu terus menghalangi nasib baik mendekati Llewyn.


Coen Brothers will always bring you a new taste. Ya, itu yang selalu menjadi kekuatan mereka dan mungkin juga hal utama yang dicari para penonton dari karya terbaru Joel Coen dan Ethan Coen. Inside Llewyn Davis hadir dengan ciri khas Coen Brothers, sikap berani bermain dengan resiko, masuk kedalam sebuah petualangan dengan pacing yang rapi, secara implisit terus memaksa penontonnya untuk berjalan lebih jauh ke dalam isu klasik yang telah mereka modifikasi sedemikian rupa sehingga dalam penyajiannya tetap mampu menghadirkan sesuatu yang terasa berbeda dan tidak begitu familiar, dan kemudian dibalut bersama konsistensi pada menyuntikkan berbagai kejutan tanpa pernah kehilangan kendali pada sentuhan dark comedy bernada satir andalan mereka.

Ini akan menjadi panjang jika harus membahas secara detail kehandalan dua bersaudara ini, dari memasukkan Jeff Bridges dan John Goodman kedalam kekacauan di The Big Lebowski, George Clooney melarikan diri dari penjara pada O Brother, Where Art Thou?, aksi kejar bergaya kucing dan tikus klasik di No Country for Old Men, hingga membangun kemasan menarik dari sesuatu yang sederhana seperti proses menemukan ayah serta bencana beruntun pada True Grit dan A Serious Man. Kesederhanaan tersebut kembali hadir pada Inside Llewyn Davis, sedikit mirip A Serious Man dimana personal crisis bergabung dengan survival story lewat perjuangan seorang pria yang keras kepala dengan sikap optimistisnya namun kemudian harus masuk kedalam kondisi kelam karena tidak mau bersikap realistis. Sederhana.

Ya, sederhana, bahkan ini mungkin merupakan film paling ringan dari Coen Brothers yang pernah saya tonton. Kisah muram penuh kemalangan yang terinspirasi dari Dave Van Ronk, kental dengan situasi dark mood dan melankolis, fokus yang terpaku begitu kuat pada pergerakan karakter, berjalan penuh nada sendu dalam dinamika cerita mengasyikkan yang tenang tanpa kehadiran momen megah, secara luas ini mungkin akan tampak seperti sebuah petualangan dari perjuangan hidup menggunakan evolusi dan musik folk sebagai materi utama yang terus bergerak tanpa tujuan. Tapi, dibalik itu ada sesuatu yang menarik jika penontonnya mampu melakukan apa yang telah ia sebut pada judul yang diusung, melihat kedalam sosok Llewyn, karena pada aksi yang ia lakukan banyak terkandung kritik menggelitik.


Menggelitik, sama seperti rasa yang timbul dari kehadiran seekor kucing yang sesungguhnya membawa makna lain terkait Llewyn ketimbang hanya sebagai pemanis yang mengganggu. Lewat karakter utama seorang losers dan anti-hero (yang juga mungkin menjadi alasan dibalik tidak hadirnya cinta dari AMPAS bagi mereka) ada misi tersendiri dari Coen Brothers untuk menunjukkan bahwa kalimat “yang kuat akan bertahan dan yang lemah berantakan” tidak lagi berlaku pada konteks kualitas, ego yang berpotensi menghancurkan, pentingnya peran orang lain bagi pertumbuhan kita, dan disisi lain mereka juga terus berupaya menggambarkan salah satu faktor penting kesuksesan yakni tak pernah berhenti berjuang untuk mencapai keberhasilan tidak peduli seberapa besar rasa putus asa yang melanda.

Ini unik, bagaimana perlahan kita akan masuk kedalam kondisi yang sama seperti Llewyn alami, terisolasi pada posisi netral bersama musik yang catchy dan lelucon implisit yang kuat, namun disisi lain terus dihantui nafas muram, kemudian mengamati pertarungan mencari keseimbangan antara semangat dan rasa kecewa. Bersama kinerja memikat dari aransemen musik yang punya peran penting pada irama cerita, cinematography yang kokoh, narasi yang ditulis dengan baik ini mungkin akan terlihat sedikit kelelahan, offbeat, bahkan absurd, namun kisah sederhana dari pecundang yang selalu mengalami kegagalan ini tidak pernah berhenti membuat penontonnya menebak dan menanti apa yang akan hadir berikutnya, karena telah tergoda dengan kisah hidup Llewyn atau bahkan menaruh simpati.

Ya, simpati, karena penggambaran karakter Llewyn sangat mewakili beberapa nilai minus dalam kehidupan yang dimiliki manusia, dari mengambil tindakan yang salah, hingga sikap keras kepala hanya dikarenakan pride. Bukan hanya karena kepiawaian Coen Brothers, namun hal tersebut berhasil tercapai juga berkat kinerja seorang Oscar Isaac yang berhasil menyuntikkan sikap dingin dalam karakter cerdas yang tak pernah menjauh dari semangat, percaya diri, dan juga tekanan serta tragedi. Beberapa pemeran pembantu juga memanfaatkan dengan baik waktu mereka untuk menggerakkan cerita, dari Carey Mulligan dan Justin Timberlake sebagai titik awal, dan diteruskan John Goodman dan Garrett Hedlund dalam sebuah perjalanan singkat.


Overall, Inside Llewyn Davis adalah film yang memuaskan. Coenesque, itu kembali hadir, masih dengan sikap perfeksionis Coen Brothers kali ini kembali tampil berani dengan melemparkan sebuah drama berisikan kegagalan yang mengusung misi utama dengan bertumpukan pada tema self-control dan maturity, dibalut bersama sentuhan modifikasi manis pada warna mumblecore dan studi karakter dalam sebuah gerak cekatan narasi cerdas yang tak pernah berhenti bermain-main diantara drama dan komedi. Petualangan melankolis yang manis.




0 komentar :

Post a Comment