10 February 2014

Movie Review: The Lego Movie (2014)


“Everything is awesome. Everything is cool when you’re part of a team.”

The easiest way to make yourself become a king: playing with Lego. Hal tersebut pernah saya rasakan dahulu, bermain dengan banyak balok kecil untuk menciptakan bentuk-bentuk unik, permainan penuh eksperimen yang menuntut kreatifitas dan imajinasi untuk membangun fantasi yang kita miliki, semua dilakukan dengan bebas karena mereka berada dibawah kendali kita. Sangat menyenangkan, dan semakin menyenangkan ketika bagian dari memori itu kini hidup dan bergerak, menyaksikan apa yang dahulu pernah kita lakukan. The Lego Movie, a very entertaining random satire parade in Lego World.

Emmet Brickowski (Chris Pratt) adalah contoh dari sosok yang banyak dialami oleh banyak orang sekarang ini, pekerja tanpa kemampuan special, berada di pekerjaan yang tidak begitu terjamin sebagai seorang pekerja konstruksi, kemudian setiap harinya berteman dengan siklus kegiatan yang monoton dan membosankan. Namun suatu ketika disaat hendak pulang Emmet melihat seorang wanita bergaya aneh yang sedang mencari sesuatu di lokasi konstruksi tempat ia bekerja, Wyldstyle (Elizabeth Banks), sosok yang kemudian mengundang rasa penasaran Emmet namun celakanya membawa ia kedalam sebuah tanggung jawab besar.

Ketika hendak menyelidiki Emmet justru terdampar di suatu ruangan yang menjadi tempat ia bertemu Piece of Resistance, dan seketika itu pula merubah statusnya sebagai orang biasa menjadi sosok terpilih. Celakanya adalah ia menjadi sosok terpilih dari nubuat seorang Master Builder bernama Vitruvius (Morgan Freeman) untuk menyelamatkan Lego world dari bahaya besar dengan menemukan sebuah senjata rahasia bernama Kragle. Misi Emmet semakin berat, karena sosok yang ia hadapi tidak mudah, President Business (Will Ferrell), penguasa Lego Universe.


Hal utama yang menarik untuk dibahas sebenarnya bukan kemampuan dari The Lego Movies untuk memenuhi ekspektasi, namun bagaimana ia dengan sangat mudah mementahkan komentar negatif dari beberapa pihak yang diawal menilai bahwa ini hanya akan menjadi sebuah upaya (kembali) dari perusahaan asal Denmark itu untuk semakin memperkokoh kerajaan mainan yang mereka punya. Tidak dapat dipungkiri hal itu tidak akan hilang di 100 menit durasinya, namun yang menarik ternyata ada simbiosis mutualisme yang tercipta di dalamnya karena dibalik kisah random yang dihadirkan oleh kumpulan balok itu penonton akan memperoleh hal utama yang menjadi kewajiban sebuah film animasi, tontonan menyenangkan, pesan yang ringan, sederhana, namun kuat. The Lego Movies punya itu.

The Lego Movies bukannya tampil tanpa masalah, dibalik petualangan menyenangkan yang ia berikan hanya terdapat urgensi skala kecil pada konflik utama, sehingga kerap kali apa yang mereka tampilkan justru lebih tampak seperti sebuah sketsa komedi yang melakukan parodi dari berbagai karakter terkenal (yang tidak akan saya bahas karena akan mengurangi kejutan) dalam upaya memperlebar cerita. Sangat minor memang, terlebih jika menilik segala kekacauan yang terbentuk manis itu sesungguhnya merupakan sebuah proses menuju finale yang menyimpan sepenuhnya misi yang ia usung. Namun hal tersebut sangat riskan bagi mereka yang mungkin kurang begitu sabar, terlebih ketika sudah terlanjur jengkel dengan beberapa pengulangan yang harus diakui tidak semuanya bekerja dengan baik.

Ya, tidak semuanya bekerja, beberapa mungkin monoton, tapi untungnya The Lego Movies berhasil selamat dari kehancuran berkat kemampuan Phil Lord dan Chris Miller menyuntikkan kejutan demi kejutan dengan mengikut sertakan salah satu hal penting dari timbunan narasi seperti ini, timing yang tepat. Dari perubahan bentuk layaknya Transformers, hingga perpindahan setting tempat yang lembut, kesuksesan terbesar film ini sesungguhnya terletak pada kemampuan Phil dan Chris dengan langkah yang cerdik mempertahankan daya tarik dari setiap detail kecil yang mereka punya, kombinasi nafas Toy Story terkait cinta terhadap mainan bersama lelucon South Parks dalam skala lebih ringan, dari luar ia tampak ringan namun tersimpan sebuah misi yang sangat kuat dibagian dalamnya.


Petualangan yang bebas dan cenderung terkesan abstrak, tampilan eye candy yang cermat dalam potongan Lego yang kaku, cerita yang mengalir dengan lembut dan penuh energi tanpa pernah kehilangan nafas ceria, narasi yang berkembang seiring kehadiran kejutan demi kejutan dari sisi karakter, secara stabil senyuman dan atensi kita akan terus tercuri pada kisah yang sangat mampu menjangkau berbagai usia ini. Namun dibalik itu ada sebuah unsur satir yang coba dibawa The Lego Movies, yang hebatnya dikemas dengan stylish. Diawal saja kita sudah disindir pada isu sosial terkait kehidupan yang monoton penuh aturan dengan siklus yang kaku, dari minum overpriced coffee di pagi hari, hingga menonton komedi monoton Where Are My Pants?, dari sana ia mulai membangun jalan untuk menjangkau penonton yang lebih muda.

Sangat suka pada cara Phil Lord dan Chris Miller menerapkan pola pendekatan terhadap isu utama, efektif dan seimbang. Ide yang dikemas secara padat dalam gerak mondar-mandir dinamis, konsep yang mereka usung tidak cerdas bahkan cenderung sangat sederhana, ciptakan petualangan menyenangkan diawal dan berikan konklusi dibagian akhir. Untungnya hal tersebut bekerja dengan baik berkat kemampuan mereka menyeimbangkan tiap elemen sehingga tidak ada yang menjadi korban, unsur fun dapat, unsur thoughtful yang ia emban juga mencapai sasaran, dari bagaimana kerja sama dapat mengatasi masalah, tidak ada batasan dalam imajinasi dan eksperimen, hingga sikap out of the box yang belakangan ini mulai langka.

Hal diatas tadi uniknya tidak disampaikan dengan cara yang menggurui, tampil implisit, namun powerfull. Cerita menjadi kokoh juga merupakan dampak dari kinerja pengisi suara yang energik, mampu memberikan nyawa kedalam karakter walaupun lebih sering tampil konyol dalam gerak liar. Chris Pratt sanggup menghadirkan sisi kikuk dari Emmet, Will Ferrell sebagai sisi gelap cerita, serta ada spirit dari suara Elizabeth Banks ada karakter Wyldstyle. Selain mereka ada Cobie Smulders, Jonah Hill, Will Arnett, dan Channing Tatum di sektor superhero, serta Charlie Day, Alison Brie, Nick Offerman, Liam Neeson, Will Forte, Dave Franco, Jake Johnson, hingga Shaquille O'Neal yang mengisi berbagai karakter random lainnya.


Overall, The Lego Movie adalah film yang memuaskan. Random, ringan, ricuh, ada sebuah materi serius dibalik cara ia berjalan yang sangat jauh dari kesan serius, keputusan yang justru menjadikan The Lego Movie sebagai salah satu film animasi yang sesungguhnya: petualangan penuh visual yang menyenangkan tanpa harus kehilangan fokus pada pesan utama, yang bahkan terasa sangat universal sehingga mampu bekerja di segala usia. Lucu, cerdas, dan kreatif, if you one of people who's not only know but ever to play with them, this random stuff will hit you. Sadly, segmented. 









0 komentar :

Post a Comment