Dalam the list yang dirilis oleh Forbes selain Apple, Google, Coca-Cola, dan Facebook, terdapat nama McDonald's di bagian sepuluh teratas terkait status "The World's Most Valuable Brands". Tidak heran memang, restoran cepat saji yang akrab dengan singkatan McD itu seolah telah menjadi bagian dari budaya di bidang makanan. Proses berdirinya McD coba diceritakan oleh film ini, The Founder, ditangani oleh John Lee Hancock (The Blind Side, Snow White and the Huntsman) coba menunjukkan sisi kompleks dan kontroversial yang terdapat dari kisah sukses yang “didirikan” oleh Ray Kroc itu. It’s extra crispy good biography drama.
Showing posts with label Nick Offerman. Show all posts
Showing posts with label Nick Offerman. Show all posts
Movie Review: Sing [2016]
Pada film kedua mereka di tahun ini Illumination Entertainment kembali bermain dengan formula andalan mereka, yang jika meminjam salah satu kalimat dari Agnes di 'Despicable Me' Illumination Entertainment selalu berusaha agar animasi yang mereka produksi terasa so fluffy. Being a bit complex bukan ciri khas Illumination Entertainment, sama seperti para minions mengandalkan segala kekonyolan klasik a la Looney Tunes seperti menjadi hal paling penting di dalam buku pedoman Illumination Entertainment yang harus para sutradara mereka baca. Hal tersebut kembali dilakukan oleh film ini, Sing, kombinasi antara talking animals bersama talent show. Playing like citizens of Zootopia doing a karaoke it feels like The Voice rather than Idol.
Movie Review: Ice Age: Collision Course [2016]
Secara logika jika kamu
masih berhasil memperoleh keuntungan dari produk atau jasa yang kamu hasilkan
atau lakukan sebenarnya wajar jika kamu tidak berniat untuk melakukan sebuah
perubahan. Mencoba menjadi lebih baik tapi dengan risiko merugi atau
meneruskan formula yang sama dan telah terbukti menguntungkan? Sudah sejak film
kedua Blue Sky Studios menerapkan
cara opsi pertama, recycling terhadap
Ice Age dengan mengandalkan pesona
karakter dengan aksi hyperactive mereka. Tiga film penerus Ice Age sebelumnya tidak semuanya terasa kurang menyenangkan, namun
mayoritas dari mereka tidak berhasil berada di level yang sama dengan Ice Age. Ice Age: Collision Course?
Review: Knight of Cups (2016)
"Dreams are nice, but you can't live in them."
Sejauh ini telah
menyutradarai delapan buah film dalam 46 tahun karirnya di industri film, Terrence Malick secara mengejutkan
menghadirkan tiga di antaranya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Apakah
Terrence Malick sedang memiliki banyak ide? Sepertinya begitu dengan dua film
lain dijadwalkan rilis tahun ini. Di film terbarunya ini Terrence Malick kembali memberikan apa yang penonton inginkan dari
“film Terrence Malick”, namun sebagai penonton yang masih belum lulus dari Malick's School for Gifted Youngsters
selalu ada perasaan waspada terhadap karya Terrence Malick karena, well, it's gonna be forever, or it's gonna
go down in flames. So, bagaimana dengan Knight
of Cups? Keindahan yang hampa, atau kehampaan yang indah.
Review: Me and Earl and the Dying Girl (2015)
"One last thing. Hot girls destroy your life. That's just a fact."
Judulnya memang terkesan mencoba untuk meninggalkan kesan lucu, faktanya film ini memang sebuah kisah coming-of-age yang lucu, tapi di balik itu Me and Earl and the Dying Girl memiliki sesuatu yang menjadikannya tidak sama seperti film drama komedi bertemakan romance dan persahabatan kelas standar. Ini seperti menyaksikan film Wes Anderson tanpa keterlibatan Wes Anderson di dalamnya, mencampur sedih dan tawa bahagia, sebuah petualangan visual dan emosi yang meninggalkan penonton dengan perasaan campur aduk yang segar dan menyenangkan.
Greg Gaines (Thomas Mann) merupakan pelajar SMA yang gemar membuat parodi dari film-film terkenal bersama sahabatnya Earl (RJ Cyler), dengan lebih dari 40 buah film parodi telah berada di filmografi mereka. Greg punya konsep menarik dalam kehidupan di sekolahnya, ia tidak pernah mencoba terlalu akrab dengan siswa lain di luar Earl dan guru mereka Mr. McCarthy (Jon Bernthal). Hasilnya, remaja yang dalam tekanan untuk memutuskan kemana ia akan melanjutkan studi itu menjadi anggota dari banyak kegiatan ekstrakurikuler. Namun kehidupan Greg suatu ketika berubah, sang ibu (Connie Britton) meminta Greg untuk “menghibur” Rachel Kushner (Olivia Cooke), teman sekelas yang terasa asing bagi Greg, remaja yang telah didiagnosis mengidap leukemia.
Pada awalnya ini terkesan predictable, mungkin banyak disebabkan oleh cerita yang memang masih sangat sederhana, tapi secara perlahan-lahan dan penuh percaya diri Alfonso Gomez-Rejon membuat cerita dan karakter bukan cuma sekedar mencuri perhatian penonton tapi membuat mereka jatuh hati serta kemudian mencintai cerita dan juga karakter. Sulit untuk tidak mengikut sertakan nama Wes Anderson dalam pembahasan karena Me and Earl and the Dying Girl sangat kental dengan rasa unik khas Wes Anderson, baik itu dari presentasi visual hingga bagaimana Alfonso Gomez-Rejon memainkan unsur drama, komedi, persahabatan, hingga romance secara seimbang dan juga sangat sopan.
Iya, Me and Earl and the Dying Girl terasa mempesona karena ia tidak mencoba mengikat kamu pada satu dari empat bagian tadi, justru mencampur mereka dengan nikmat. Me and Earl and the Dying Girl punya kisah persahabatan sebagai pondasi utama tapi tidak dipoles secara berlebihan, penonton dengan cepat merasakan kehangatan dari hubungan antara Greg dan Earl. Setelah itu eksis lalu muncul Rachel, dan koneksi antara tiga karakter utama juga dengan cepat dan efektif terbangun. Itu mengejutkan jika melihat dua karakter utama pada dasarnya merupakan remaja yang seolah terlalu santai dalam menghadapi masa depan dan tenggelam dalam hobby mereka. Greg dan Earl mencuri simpati dan empati, lalu Rachel masuk menjadi jembatan menuju kisah menemukan "jalan pulang".
Me and Earl and the Dying Girl pada dasarnya merupakan kisah dari tiga remaja yang “hilang” dalam kehidupan mereka, lalu menciptakan simbiosis sehingga saling membantu untuk menemukan jalan pulang. Sama seperti drama dengan emosi yang tidak mencoba terlalu keras menjadi sebuah tearjerker, proses bertumbuhnya karakter juga tampil natural, Me and Earl and the Dying Girl bercerita secara tenang dan hangat dengan mengandalkan keintiman dan rasa relatable yang telah terbangun antara cerita, karakter, dan penonton sebagai senjata utama. Memiliki animasi stop-motion, memiliki lelucon yang beberapa di antara mereka berhasil menciptakan momen lol, tapi hati selalu teguh berdiri sebagai pusat utama Me and Earl and the Dying Girl meskipun ia selalu berpindah dari gelap dan terang dengan gerak cepat.
Selain eksekusi Alfonso Gomez-Rejon yang oke, skenario yang asyik, editing yang manis, kinerja cast juga punya andil besar dalam kesuksesan yang dicapai Me and Earl and the Dying Girl. Thomas Mann menjadikan Greg sebagai remaja norak yang charming, punya karisma tersembunyi yang manis. RJ Cyler membuat Earl sebagai penyeimbang bagi Greg dengan cara yang tepat, saya suka cara ia menjadi penggambaran sisi “I don’t give a” dari dunia remaja. Dan Olivia Crooke menjadi pelengkap yang cantik, berperan sebagai gadis yang sedang sekarat ia mencuri simpati dan empati tapi memiliki kehangatan yang membuat Rachel begitu mudah untuk dicintai karena pertolongan secara tidak langsung yang juga ia berikan kepada Greg dan Earl. Pemeran pendukung seperti Molly Shannon dan Nick Offerman juga menjalankan tugas mereka dengan baik.
Me and Earl and the Dying Girl merupakan sebuah prestasi sinematik yang cantik, membawa penonton menyaksikan kisah coming-of-age berisikan persahabatan di mana tiga remaja saling menyembuhkan satu sama lain. Tidak hanya menarik tapi cerita dan karakter begitu mudah untuk dicintai, dengan nada yang ringan dan ritme yang tepat menjadi sebuah petualangan visual dan emosi yang menggambarkan “kehidupan” sebagai sebuah renungan yang serius tanpa mencoba terlihat dan terasa terlalu serius dan kaku. Hasilnya, energi yang konsisten sejak awal hingga akhir menjadikan finale terasa begitu menyayat hati. An "authentic" emotional journey.
Cowritten with rory pinem
Movie Review: 22 Jump Street (2014)
"So, they want the same shit, here we go."
Ketimbang menyebutnya sebagai penerus kesuksesan film pertama yang rilis dua tahun lalu, 22
Jump Street mungkin terasa lebih layak menyandang status sebagai silliness recycle yang berhasil
menjalankan tugas beratnya tanpa harus mengorbankan “image” yang ia punya. Dengan
budget hampir dua kali lebih besar tidak ada hal baru yang menonjol disini,
tapi apakah itu sebuah keharusan dari sebuah sekuel? Tidak, karena hal tadi
mampu ia tutup dengan sebuah hiburan identik yang masih sama menyenangkannya. 22 Jump Street, real-world version of The Lego Movie, random fun.
Movie Review: The Lego Movie (2014)
“Everything is awesome. Everything is cool when you’re
part of a team.”
The easiest way
to make yourself become a king: playing with Lego. Hal tersebut pernah saya rasakan dahulu, bermain dengan banyak balok
kecil untuk menciptakan bentuk-bentuk unik, permainan penuh eksperimen yang
menuntut kreatifitas dan imajinasi untuk membangun fantasi yang kita miliki,
semua dilakukan dengan bebas karena mereka berada dibawah kendali kita. Sangat
menyenangkan, dan semakin menyenangkan ketika bagian dari memori itu kini hidup
dan bergerak, menyaksikan apa yang dahulu pernah kita lakukan. The Lego Movie, a very entertaining random
satire parade in Lego World.
Movie Review: In a World... (2013)
"Winning isn't everything. Family is."
Apakah anda merupakan tipe penonton yang selalu
mencoba mencari tahu informasi dari calon film yang kelak akan anda tonton?
Banyak cara, salah satu yang termudah dan paling simple adalah melalui trailer,
sebuah klip yang sesungguhnya punya peran penting untuk menarik minat para
calon penontonnya lewat penjabaran singkat film tersebut. Film ini mencoba
menggambarkan peran artis sulih suara dibalik trailer sebuah film, sebuah
penghormatan kepada Don LaFontaine,
komedi indie yang santai dan cerdas, In a
World...
Movie Review: The Kings of Summer (2013)
Menjelang
berakhirnya usia remaja, mayoritas dari anda pasti pernah mengalami hal ini,
meningkatnya rasa ingin tahu pada sesuatu yang baru, dan menjadikan aturan yang
orang tua anda telah terapkan semakin mengikat, menyiksa, dan mengganggu. The Kings of Summer adalah contoh
sederhana, coming-of-age yang
menyatukan komedi dan drama, menyajikan sebuah proses bertumbuh dan menemukan
dari remaja dan orang dewasa, kemasan absurd yang mencoba membuktikan selalu
ada batasan dalam segala hal.
Movie Review: We're the Millers (2013)
"You never really
know until you know."
Tentu saja ada
alasan mengapa manusia dijuluki sebagai makhluk sosial, karena mereka perlu
orang lain disekitarnya untuk menjadikan hidup mereka bertumbuh, salah satunya
mungkin membuka jalan untuk menemukan apa yang selama ini tidak mereka
dapatkan. We're the Millers coba
membawa hal tersebut dalam petualangan bodoh, bagaimana hal palsu yang justru
menuntun empat orang menuju kebahagiaan. Yap, sekali lagi, ini bodoh, klasik,
standard, predictable, namun secara mengejutkan tampil menghibur dan
menyenangkan.
Movie Review: Smashed (2012)
Meskipun dapat mengandung arti yang positif tergantung dari
objeknya, addict akan lebih mudah untuk dikaitkan dengan hal negatif. Jika
label addict hadir dan telah melekat
pada sebuah kebiasaan yang anda lakukan, maka tingkat kesulitan untuk
melepaskan diri dari jeratan yang ia miliki akan semakin sulit. Smashed mencoba memaparkan kepada anda
bahaya dari sesuatu bernama addict, menggunakan sesosok wanita cantik yang
mencoba untuk berhenti menjadi alcoholic, seorang wanita yang bahkan pernah di
juluki sebagai drunk angel.