11 June 2014

Movie Review: 22 Jump Street (2014)


"So, they want the same shit, here we go."

Ketimbang menyebutnya sebagai penerus kesuksesan film pertama yang rilis dua tahun lalu, 22 Jump Street mungkin terasa lebih layak menyandang status sebagai silliness recycle yang berhasil menjalankan tugas beratnya tanpa harus mengorbankan “image” yang ia punya. Dengan budget hampir dua kali lebih besar tidak ada hal baru yang menonjol disini, tapi apakah itu sebuah keharusan dari sebuah sekuel? Tidak, karena hal tadi mampu ia tutup dengan sebuah hiburan identik yang masih sama menyenangkannya. 22 Jump Street, real-world version of The Lego Movie, random fun.

Setelah gagal menangkap drug dealers yang dipimpin Ghost (Peter Stormare), Deputy Chief Hardy (Nick Offerman) menempatkan kembali duo mispaired police, Morton Schmidt (Jonah Hill) dan Greg Jenko (Channing Tatum) untuk melakukan misi yang lebih mudah dan pernah mereka berhasil laksanakan dengan baik, melakukan aksi penyamaran untuk memecahkan sebuah misteri. Mereka kembali berada di bawah komando Captain Dickson (Ice Cube), yang kini sudah memindahkan tempat kerjanya ke 22 Jump Street, bahkan telah melakukan update pada Korean Jesus.

Schmidt dan Jenko naik level, masuk ke sebuah college bernama MC State dan menyamar sebagai saudara, bertugas untuk mencari WhyPhy, distributor dari narkoba mematikan yang diduga menjadi penyebab kematian seorang mahasiswi. Tapi ternyata aksi membaur mereka dengan para mahasiswa, Jenko yang langsung menjadi BFF pria bernama Zook (Wyatt Russell) karena keahliannya di football, dan Schmidt dengan wanita muda, Maya (Amber Stevens) lengkap dengan roommate yang selalu cemberut bernama Mercedes (Jillian Bell), ternyata menjadi penghalang bagi misi utama mereka.


Dibuka dengan kilas balik singkat film pertamanya, ada sebuah adegan menarik di bagian pembuka yang berasal dari percakapan antara Hardy, Schmidt,dan Jenko, sebuah kalimat dengan inti bahwa usaha mempertahankan lebih sulit dibandingkan dengan usaha ketika hendak meraih. Ya, terasa implisit memang tapi bagian tersebut menjadi menarik kerena disamping sedikit ucapan syukur atas keberhasilan film pertamanya ia juga mengatakan bahwa percobaan kedua selalu lebih sulit dibandingkan dengan percobaan pertama terlebih jika ia sebelumnya mampu meraih kesuksesan. Itu seperti sebuah alarm yang akan membuat penontonnya secara spontan menarik mundur ekspektasi yang telah mereka pasang di level manapun.

Cerdik, mereka seperti memberikan kejutan berupa sedikit rasa pesimis di bagian awal untuk menjadikan penontonnya “siap” dengan hal negatif dari sebuah sekuel sebelum masuk kedalam pesta sesungguhnya, seperti sedikit mencuci otak kita untuk tidak berharap terlalu banyak namun kemudian memberikan kejutan lainnya yang akhirnya membuat kita keluar dari pesta tersebut dengan rasa puas yang sama dengan pendahulunya. Yap, strategi diawal itu ternyata berhasil karena pengulangan plot pada film pertama yang muncul pada naskah yang disusun oleh Michael Bacall, Oren Uziel, dan Rodney Rothman, begitupula pada cara Phil Lord dan Christopher Miller memadukan mereka yang juga masih bermain pada formula default film pertamanya berhasil bersatu menjadi sebuah komedi bodoh yang menyenangkan.


Tidak banyak yang berubah disini, Phil Lord dan Christopher Miller masih menggunakan rumus yang sama: plot yang ringan, dangkal, dan standard, alur yang dominan berisikan hal-hal gimmick disengaja, hal-hal konyol, bodoh, apapun itu sebutannya yang silih berganti hadir dengan liar dalam gerak cepat yang terkendali, hingga sedikit drama pada dua karakter utamanya dengan tema persahabatan. Yang menjadikan tumpukan materi tadi bekerja dengan baik adalah kemampuan dari Phil Lord dan Christopher Miller memberikan mereka waktu untuk beraksi dan mencuri atensi tanpa harus saling merusak satu sama lain, meskipun banyak diantaranya tampil dengan membawa kesan klise bahkan beberapa terasa hambar.

Ini yang aneh, kita tahu ini klise, kita tahu ini bodoh, kita juga tahu ini dangkal, tapi mereka tidak mengganggu kenikmatan petualangan yang mencoba tampil sedikit satir dan kini sedikit menggeser fokusnya itu. 22 Jump Street bukan sekedar berisikan aksi prosedurial polisi namun kini mencoba untuk menggambarkan persahabatan diantara dua senjata utamanya yang kini diputar posisinya itu, selalu diwarnai dengan aksi ejek baik menggunakan fisik maupun verbal dengan mengandalkan perbedaan diantara mereka dilengkapi dengan penggunaan split-screen yang kreatif, hadir dengan komposisi yang pas sehingga tidak terlalu lembek serta tidak menguras energi sektor fun lainnya, seperti adegan aksi.


Keseimbangan mungkin kata sederhana yang dapat mewakili alasan mengapa 22 Jump Street masih mampu menjadi sebuah komedi menyenangkan dibalik segala hal standard yang ia tawarkan. Tidak tampak rasa ragu pada eksekusi yang dilakukan oleh Phil Lord dan Christopher Miller pada materi yang mereka punya, sama halnya seperti The Lego Movie dimana mereka berhasil mencampur elemen kekanak-kanakan dengan lelucon cerewet, elemen yang bertugas sedikit memompa adrenalin, dan kemudian membungkusnya dengan sedikit unsur drama, saling bantu dalam struktur yang tertata dengan baik sehingga fokus penonton tidak pernah menghadap kembali kearah belakang untuk mencari hal-hal minus yang ia punya, terus menatap kedepan hingga kredit penutup yang ambisius itu hadir di layar.

Duet antara Channing Tatum dan Jonah Hill juga menjadi kunci lainnya. Chemistry mereka terasa kuat, seperti telah paham untuk saling mengisi dan membantu untuk menciptakan hubungan bromance yang lucu, gila, tapi juga hangat. Jonah Hill kembali tampil dengan standard yang ia punya, tapi yang menarik justru adalah Channing Tatum, aksi komik yang ia berikan tidak lagi kasar dan tampak mulai nyaman dengan peran yang ia miliki. Phil Lord dan Christopher Miller juga cerdik dalam memanfaatkan karakter pendukung, melekat di memori tanpa mengganggu karakter utama. Jawara nya adalah Ice Cube yang selalu mampu mencuri panggung utama ketika ia hadir, hal yang juga berhasil dilakukan oleh Jillian Bell dan Amber Stevens, begitupula dengan cameo dari Patton Oswalt dan Seth Rogen.


Overall, 22 Jump Street adalah film yang memuaskan. Apakah ini jauh lebih besar dari film pertamanya? Tidak. Ketimbang menyebut 22 Jump Street sebagai sebuah penerus yang mampu memberikan banyak pergerakan positif dari pendahulunya, lebih menarik untuk mengapresiasi kemampuan Phil Lord dan Christopher Miller beserta tim miliknya untuk menjauhkan film ini dari jeratan buruk sebuah sekuel jika menilik sikap yang mereka tunjukkan sejak awal, dari rumus yang sama, plot yang sama, hingga pengulangan dan materi yang mayoritas sama. Identik, dan masih sama menyenangkannya.







0 komentar :

Post a Comment